Mohon tunggu...
No Name
No Name Mohon Tunggu... -

Seorang pria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

2XLove (I) 2: Gadis Cantik

21 Maret 2012   02:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:41 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sambungan dari: Kota Kecil

Langit masih gelap saat kokok ayam jantan pertama terdengar di sekitar jalan kecil itu. Lampu-lampu di beranda setiap rumah masih sama terang sejak tadi malam. Sunyi sekali sepanjang jalan ini. Kecuali itu tadi, suara kokok ayam yang kini sahut-sahutan dari beberapa rumah.

Jerry masih terbaring di atas ranjang. Di dalam kamarnya masih terasa dingin meskipun AC sudah tidak menyala. Sepertinya baru dimatikan. Tangan kanannya bergerak mengusap matanya. Bukan gerakan wajar orang yang masih tidur. Dia, sebelum kokok ayam jantan pertama terdengar sebenarnya sudah tersadar. Dia, yang biasanya susah bangun tanpa omelan Ibunya, kini membuka mata dengan segarnya.

Ditendangnya selimut yang membungkusnya sepanjang malam. Lalu beranjak berdiri di samping ranjang. Matanya yang sudah nyaman dengan gelap cukup jelas menangkap seluruh isi kamarnya. Pintu lemari dibuka dan dipilihnya seragam yang tergantung rapi di sebelah kiri. Kini dia mendorong pintu kamar mandi. Gelap, lalu lampu mulai berkedap-kedip dan menyala.

Tak lama kemudian Ibunya mendatangi kamarnya. Suatu kunjungan rutin setiap paginya. Meski kamar masih gelap, Ibunya sadar betul Jerry sudah tidak di atas ranjang. Suara air mengguyur tubuh terdengar dari kamar mandi. Ibunya pun berlalu pergi.

Jerry menjejakkan kakinya di atas keset kaki. Mengusap-ngusap kakinya pada kain yang sudah usang itu biar cepat kering. Setelah itu dia berdiri di depan cermin, mengelus-ngelus rambutnya yang tampak basah dan kaku. Dia berjalan keluar kamar dan berhenti beberapa saat di ruang belajar, di samping tangga. Memeriksa isi tasnya sejenak lalu berjalan menuruni tangga.

Suara bunyi anak tangga diinjak rupanya menarik perhatian Willy yang baru akan masuk ke kamar mandi. Jerry turun sudah lengkap dengan seragam putih abunya. Willy menoleh ke arah Ibunya – wajah penasarannya seolah meminta jawaban Ibunya. Namun Ibunya hanya tersenyum. Ini membuat Willy semakin tak mengerti. Kenapa Jerry bisa bangun pagi? Malah sangat pagi.

Jerry tampak tak peduli meski jelas-jelas dia menangkap kesan tak percaya di wajah Willy. Hampir sepanjang hidupnya, Willy selalu bagun lebih pagi darinya. Tapi hari ini berbeda. Dia sudah susah tidur dua malam ini. Banyak pikiran. Gundah dan gelisah. Ah, gadis itu cantik sekali. Sebentar lagi dia akan bertemu dengannya. Tiba-tiba khayalnya membumbung tinggi. Namun segera dia sadar diri. Tidak, tidak! Dia tidak boleh melamun terlalu jauh.

Jerry memperhatikan Willy yang keluar dari kamar mandi. Menarik kursi di sebelahnya kini. Sebel betul rasanya diperhatikan terus. Seperti habis ketahuan mencuri coklat potongan terakhir adiknya.

Kenapa?” tanya Jerry.

Pura-pura tidak dengar. Malah adiknya meneguk susu di atas meja. Jerry melakukan hal serupa. Meski hatinya sedikit jengkel dengan tingkah adiknya, dia memilih diam saja. Dia dan adiknya, punya hubungan yang aneh. Terkadang begitu akrab, terkadang seperti orang baru kenal. Biasanya adiknya sangat usil hingga Jerry harus menonjolkan urat-urat hijau di keningnya. Atau suaranya yang pecah memenuhi seluruh rumah. Mungkin karena itu juga Willy terkadang berhati-hati membaca gelagat tak baik di hati Jerry. Seperti pagi ini, daripada menjawab pertanyaannya dia memilih diam. Biasanya pagi hari perasaan Jerry sangatlah tidak baik. Mau bagaimana lagi, tiap pagi dia turut berperan mengusik tidur nyenyak Jerry.

Sudah jam tujuh lebih lima menit. Jerry meneguk susu terakhir di dalam gelasnya. Menelan sisa roti di dalam mulutnya. Dia meraih tasnya lalu berjalan ke luar. Tak lama kemudian Willy menyusulnya. Jerry menatap adiknya, tapi tak bicara apapun. Sementara Willy membuka pintu pagar, Jerry menyalakan mesin motornya. Seorang gadis berseragam SLTP lewat dan Willy menyapanya. Jerry tetap diam menyaksikan adiknya bertegur sapa dengan beberapa anak yang lewat. Terkadang dia merasa heran dengan dirinya sendiri. Kakaknya, Mitha, terkenal kesupelannya. Dan Willy, seperti yang dia tahu dan disaksikannya, juga memiliki banyak teman. Hanya dia sendiri yang susah menyapa orang. Tersenyum juga jarang.

Ibunya berdiri diam di depan pintu memperhatikan anak-anaknya dengan wajah cerah. Willy segera mendekati Ibunya saat Jerry sudah siap dengan motornya.

Cepat naik, Wil!”

Jerry menahan motornya agar tidak jatuh saat tubuh Willy yang semakin gemuk menaiki motornya.

Pergi dulu, Ma!”

Pergi dulu, Ma!”

Hati-hati. Jangan kencang-kencang”

Masih sedikit sepi. Meskipun beberapa becak tampak sedang menunggu penumpang di pinggir jalan. Para tukang becak kalau tidak duduk di sepeda kayuhnya di samping tempat duduk penumpang, maka mereka duduk di kursi penumpang sambil mengangkat kaki. Asap rokok keluar melalui sela-sela jari mereka.

Jerry menurunkan Willy beberapa meter dari pintu gerbang. Dan, dia tidak menunggu hingga Willy hilang di balik gerbang. Motornya bergerak menjauhi gerbang yang sebetulnya bisa dimasukinya. Gerbang itu, yang kini mulai dimasuki murid-murid SLTP, pernah dilewatinya hampir setiap hari selama tiga tahun. Kalau dia mau, dia bisa masuk melalui gerbang ini dan jalan terus hingga lapangan parkir SMU. Sekolah mereka masih satu lokasi. Satu yayasan. Tapi ya, seperti kebanyakan murid SMU, Jerry pun begitu. Mereka enggan melewati gerbang ini. Mungkin mereka sudah bosan tiga tahun pernah melewatinya. Atau, malas bertatap muka dengan mantan guru yang pernah menimbulkan rasa kesal dan benci di hati mereka. Tapi, bagaimanapun masih tetap ada murid SMU yang lewat gerbang ini.

Di depan gerbang SMU kini berjalan masuk beberapa murid. Kali ini satpam penjaga gerbang kembali dikejutkan Jerry. Bukan suara meminta menahan pintu seperti biasa. Tapi karena suara klakson yang berkali-kali. Tubuh satpam itu menghalangi jalan. Dia sedang tetunduk membersihkan sepatu kulitnya berwarna hitam. Mungkin karena terinjak murid yang datang. Satpam itu tampak sedikit heran tapi tetap diam. Jerry pura-pura tidak memperhatikan dan motornya melaju dengan pelan.

Begitu selesai memarkir motornya, dia menyandang tas di pundak sebelah kanan. Dan dengan tenang berjalan menuju tangga bertuliskan “tangga laki-laki”. Dia sempat melirik sekilas ke arah gerbang, tapi satpam itu tidak menyadarinya. Dengan langkah ringan, dia sampai di lantai dua. Lalu berjalan perlahan menaiki tangga menuju lantai tiga. Hmm, beberapa murid sedang berdiri di sudut gedung. Angin laut pagi memang tidak bertiup tapi pemandangannya tetap asyik dinikmati. Dia bertukar sapa dengan beberapa murid yang sudah lebih dulu di dalam kelas. Segera perhatiannya teralihkan pada suara teman-teman sekelasnya.

Sudah tau? Murid baru itu namanya Julia.”

Tahu dari mana?”

Aku tahu dari Vera. Dia ikut Mamanya ke rumah Julia hari Sabtu lalu,” Ujar Andre.

Hmm. Namanya bagus. Entah dengan wajahnya.”

Vera bilang cantik. Cuma aku tak tahu secantik apa.”

Dia masuk hari ini?

Ya.”

Di kelas ini?”

Ya.”

Jadi tak sabar.”

Mereka saling terdiam sebentar. Lalu meneruskan pembicaraan lain yang sama sekali berbeda.

Bunyi bel menghentikan percakapan teman-teman di sekitarnya. Mereka semua berjalan keluar untuk mengikuti upacara bendera. Dan setelah selesai upacara bendera, perlahan seluruh kelas penuh kembali. Sebagian murid tampak segar, sebagian lagi lesu atau masih lekat dengan wajah mengantuk. Perhatian semua murid segera tertuju pada seorang guru wanita yang masuk. Dia adalah wali kelas mereka, ibu Farida. Tapi bukan itu yang lantas memicu hiruk pikuk di dalam kelas. Seorang gadis dengan seragam yang ikut masuk ke dalam kelas bersamanya benar-benar membuat seluruh murid di dalam kelas tak bisa menahan suara mereka.

Perhatian semuanya! Tolong berhenti bicara!”

Mata bu Farida menatap tajam menyapu pandangan dari sudut ke sudut kelas. Perlahan, suara mulai mereda. Setelah hening, dia melanjutkan kembali.

Hari ini, kalian mendapat teman belajar baru. Ibu harap kalian bisa saling bekerja sama dan dapat berteman dengannya.”

Seluruh kelas masih tetap diam meskipun beberapa murid mulai berbisik lagi.

Ayo Julia, sekarang kamu perkenalkan diri.”

Gadis yang baru disebut namanya itu berjalan satu langkah ke depan. Lalu setelah memandang ke seluruh kelas, dia memerlihatkan senyumnya yang merontokkan hati. Murid-murid laki-laki mulai hilang kontrol diri dan bersiul menggoda. Ibu Farida harus kembali berseru hingga semuanya kembali terdiam.

Tolong ya! Kalian sudah SMU jangan seperti anak kecil! Kalau mau bicara angkat tangan.”

Semua diam lagi. Ibu Farida menghela napas tanda mulai kesal. Lalu, setelah yakin semua muridnya diam, dia berpaling kembali pada Julia.

Ayo, sekarang kamu bisa memperkenalkan diri.”

Semua murid kini diam memperhatikan gadis itu.

Halo semuanya! Nama saya Julia. Mulai hari ini saya akan belajar bersama kalian. Mohon bantuannya.”

Sebelum terjadi keriuhan seperti sebelumnya, Ibu Farida segera mengingatkan kembali.

Kalau ada yang mau bertanya pada Julia, tolong angkat tangan lalu sebut nama. Tapi ingat ya, satu persatu!”

Perkataan ini langsung disambut dengan belasan tangan yang teracung ke atas.

Halo Julia, aku Lini. Mau tanya, kamu pindahan dari mana?”

Halo juga, Lini. Aku pindahan dari Bandung.”

Tangan yang lain kembali teracung dan dipersilahkan bertanya oleh ibu Farida.

Hei, aku Andre. Boleh tahu alamat kamu di mana?”

Pertanyaan ini ternyata menimbulkan dukungan dari sesama murid laki-laki. Jempol-jempol diacungkan padanya.

Maaf ya, aku hanya ingat nomornya. Nomor lima. Nama jalannya kalau tidak salah, jalan Imam Bonjol.”

Melihat pertanyaan tak kunjung reda, Ibu Farida segara angkat bicara.

Baiklah semuanya, bertanyanya sampai di sini saja. Nanti kalian bisa bertanya lagi pada jam istirahat.”

Banyak suara keluhan dan kekecewaan yang terdengar. Tiba-tiba sebuah tangan teracung lagi.

Bu, satu pertanyaan lagi boleh? Terakhir!”

Ya sudah. Cepat!”

Halo, Julia. Namaku Hendrik. Oh ya, kamu cantik sekali....”

Belum selesai dia bicara, suara-suara ejekan segera ditujukan padanya. Sementara wajah Julia tampak tersipu dan senyumnya semakin manis.

Diam dulu,” ujar Hendrik kemudian. “Eh, boleh tahu tidak, kamu sudah punya pacar belum?”

Lagi-lagi, kelas kembali dipenuhi suara riuh rendah. Sebetulnya ibu Farida sudah emosi, tapi tetap geli mendengar pertanyaan berani seperti ini. Julia menjadi malu, lantas dia menatap bu Farida. Bu Farida hanya tersenyum, menyerahkan pertanyan itu kepada Julia. Hendrik duduk tepat di belakang Jerry. Dan saat melihat ke arah Hendrik itulah dia bertatapan dengan Jerry. Jerry buru-buru mengalihkan pandangannya. Dia ketahuan sedang memperhatikan Julia. Sedangkan Julia semakin merona, semakin cantik. Meski sayup-sayup, Jerry masih bisa mendengar dia berkata, “Belum….”

****

Jerry berjalan keluar begitu bel tanda Istirahat berbunyi. Dia harus berdesakan dengan murid-murid dari kelas lain yang berhamburan ke dalam. Semuanya menuju ke tempat duduk Julia. Itu sebenarnya tempat duduk Wennendy yang tak masuk hari ini. Sebelah kanan satu bangku ke belakang dari tempat duduk Jerry. Sepanjang pagi ini dia masih belum mengajaknya bicara, padahal teman-teman di sekitarnya sudah mulai mencuri hati Julia.

Dia berjalan hingga ujung bangunan. Sepi. Hanya beberapa murid yang berdiri di sana. Masing-masing larut dengan keasyikan sendiri. Jerry melihat ke bawah. Kantin masih terlihat cukup ramai. Tapi tetap tidak seramai biasanya. Sekitar dua puluh murid lebih memilih berada dalam kelas bersama murid baru itu. Dia menoleh ke arah laut dan memperhatikan dermaga kecil yang terlihat cukup jelas dari tempatnya berdiri. Biasanya ada penduduk yang buang air besar di sana. Dan murid-murid yang melihatnya akan tertawa geli. Hari ini tidak ada seorang pun di sepanjang dermaga yang terbuat dari kayu itu. Anak-anak yang biasanya berenang juga tidak kelihatan.

Jerry menoleh ke belakang. Melihat depan kelasnya. Beberapa murid yang masih berdiri dan mengintip-ngintip lewat celah pintu dan jendela memberitahunya kalau kelas masih ramai. Ah, sungguh memalukan tingkah murid-murid sekolah ini, ujarnya dalam hati. Melihat gadis cantik dengan cara seperti ini. Dan tampaknya ini akan berlangsung beberapa hari.

Bel masuk berbunyi dan Jerry harus kembali berdesakan untuk masuk ke dalam kelas. Masih ada beberapa murid di sekitar meja Julia. Senior-senior kelas tiga. Ah, memang sudah tradisi sekolah ini. Senior-senior pasti mengambil alih bila ada murid baru perempuan yang cantik.

Begitu seorang guru masuk ke dalam kelas, seluruh kelas kembali tenang. Jerry tetap diam tanpa sekalipun menoleh ke arah Julia. Kemudian saat rasa kantuk menyerang, dia merasa sebal dengan Wennendy yang tidak datang hari ini. Kalau bukan Julia yang kini duduk di kursi Wennendy, dia tak perlu malu kedapatan mengantuk seperti ini. Tempat duduk mereka; Wennendy, Andre, Hendrik dan tempatnya, sangat strategis untuk tidur dan tidak ketahuan guru. Bahkan Wennendy terkenal sebagai raja tidur di sekolahnya.

****

Jerry sudah beberapa jam duduk termenung bersandar di sofa. Kepalanya menengadah ke atas, tampak seperti tidur kalau dilihat dari jauh. Sedang mengingat kejadian sore tadi, saat ekstrakurikuler. Memang bebas mau melakukan apa. Mau main basket, volley, tenis meja atau bulu tangkis tak ada yang melarang. Tapi buat apa dia duduk-duduk di depan orang, tersenyum dan menarik orang datang. Sudah begitu, suara tawa teman-temannya yang terdengar berisik lagi tolol, sangat mengganggunya menembakkan bola ke dalam ring basket. Dan akhirnya, dia memilih menyengsarakan diri berjemur di bawah terik matahari bermain volley. Tapi kemudian gadis itu datang lagi, dan makin banyak yang mengekorinya. Ah, suara tawa tak terkendali yang sesungguhnya paling tidak dia sukai. Gombal-gombal temannya sungguh memuakkan. Tapi, ah. Dia tersenyum. Senyum yang persis sama dengan senyum saat dia menggedor hatinya dua malam yang lalu. Bagaimana hatinya kini bisa tidak kacau? Seluruh kelasnya, atau mungkin sekolahnya sibuk karena murid baru itu. Memang dia sangat cantik, tapi kenapa begitu suka perhatian? Perlahan Jerry sedikit sebal dengan gadis itu. Kenapa perempuan begitu senang diperhatikan? Dan kenapa harus oleh begitu banyak orang? Ah, memikirkannya hanya membuat hati berang.

Willy yang baru datang segera mengambil remote tv dari pangkuan Jerry. Suara cekikikan adiknya menertawakan wajahnya yang penuh lamunan membuatnya malu.

Kau melamun atau nonton tv?”

Diamlah.”

Willy tersenyum lagi. Lalu tertawa-tawa sendiri.

Apa kau tertawa-tertawa? Sini remote-nya! Mau main game aku.”

Apa? Main game? Bukannya mau melamun? Tampangmu galau benar.”

Pantat besar! Tak usah banyak omong, mau kuhajar ya? Sini remote-nya. Siniii...!”

Willy lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan suara tawa yang mengusik telinga Jerry.

****

Jerry benar-benar kesal saat menyadari Wennendy tak datang lagi hari ini. Dan Julia masih duduk dengan tenang di kursi itu. Hendrik yang selalu merayu Julia membuat kuping Jerry panas, belum lagi tawa-tawa teman yang lainnya. Kini, entah kenapa dia lebih berharap murid baru yang masuk adalah gadis yang dilihatnya di depan gerbang beberapa hari yang lalu. Mungkin gadis itu akan lebih pendiam dan tidak suka cari perhatian. Tapi, yah, mereka kan orang yang sama. Jerry menghela napasnya.

Begitu bel istirahat berbunyi, dia segera keluar dari kelas. Berdiri menatap laut dalam keheningan. Hari ini murid-murid yang berdiri di sini lebih banyak lagi. Meskipun pengunjung di kelasnya tampak tak berkurang.

Dalam kesenewenan yang entah dari mana asalnya, dia terus bolak-balik wc sepanjang hari ini. Setiap kembali dari wc, rambutnya selalu tampak basah dan berdiri kaku. Wajahnya jauh dari kesan segar meski dibasuh dengan air. Akhirnya Hendrik menyadari ketidaknyamanan Jerry dan diam terus pada akhir pelajaran.

Kau kenapa hari ini?”

Jerry tidak menjawab. Hanya melirik sekilas ke arahnya. Dan segera meninggalkan kelas begitu bel pelajaran hari ini berakhir.

Saat mengendarai motornya melewati gerbang dia sempat melihat Julia bersama beberapa murid yang lain. Julia memperhatikannya dalam diam. Wajahnya tampak sedikit lesu dan muram.

Kenapa, Jer?” tanya Adrian saat dia mendekati Jerry.

Jerry hanya menggeleng-geleng lesu.

Oh ya, Jer. Julia .... Dia sedang melihat kau.”

Apa? Jerry segera menoleh dan begitu dia melihat ke arah yang ditunjuk Adrian, Julia sudah memalingkan wajahnya. Jerry terdiam dan tak berkata apa-apa.

Ehm, kau sudah kenalan sama dia?”

Kembali Jerry hanya menggelengkan kepala. Wajahnya masih tampak lesu. Mereka terdiam hingga akhirnya sampai di depan rumah Adrian.

Jer, nanti aku ke rumahmu.”

Untuk pertama kalinya Jerry tersenyum sepanjang hari ini. Motornya perlahan melaju meninggalkan Adrian. Wajah itu, kembali merasuk ke dalam pikirannya. Entah kenapa dia bisa begini kacau karena seorang gadis. Aneh! Meski sebal karena tingkah yang menurutnya senang mencari perhatian, dia tetap tak tahan untuk tidak curi-curi pandang ke arah Julia.

****

Begitu masuk ke dalam rumah, Jerry menyandarkan diri di sofa. Adrian kemudian mengambil posisi di sebelahnya. Wajah lesu masih lekat di wajah Jerry.

Kelas kalian selalu penuh dua hari ini.”

Ramai seperti pasar.”

Hahaha. Karena Julia?”

Siapa lagi!?”

Kau ..., sepertinya kau tak suka. Begitu banyak murid laki-laki yang suka sama dia. Aku baru lihat sekilas. Tapi dia memang cantik.”

Bukan tak suka. Tapi lebih banyak rasa kesal daripada suka....”

Kenapa begitu? Orangnya sepertinya ramah.”

Aahh...,” desah Jerry.

Adrian tetap diam dan mempertahankan senyum sekecil dan setenang mungkin. Dengan seksama mengikuti arah pandangan mata Jerry.

Memang ramah. Tapi, tampak seperti suka cari perhatian. Belum lagi, dia suka meladeni Hendrik dan Andre yang tolol dengan lelucon mereka.”

Hmm, sepertinya aku tahu kenapa kau murung siang tadi. Dan, kau kesal bukan kerena dia suka cari perhatian. Tapi karena dia terlalu dekat dengan orang lain. Jerry, kau cemburu ya ....”

Akh ...! Aku sebenarnya bingung dengan perasaanku. Tapi kau bisa menebak jalan pikiranku. Hanya saja ..., masa begini dikatakan cemburu ...?”

Jerry, Jerry .... kau belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Sudah pasti kau tak menyadari kau sedang cemburu saat ini. Sekarang baru kau mengalaminya .... Hahaha.”

Ya, aku suka dengannya. Tapi ....”

Sudahlah, Jer. Tak perlu mengingkari. Atau, kau tidak yakin denganku?”

Keduanya saling berpandangan dengan senyum kecil ditahan. Pada mulanya Jerry menggeleng, lalu akhirnya mengangguk-angguk.

Ehm, tapi Jer. Tadi siang Julia benar-benar memperhatikan kau. Kau tak menyadarinya?”

.... tapi waktu aku menoleh ke arahnya dia sudah berpaling.”

Mungkin dia berpikir kau tak suka padanya.”

Kenapa?”

Mukamu seram begitu, siapa yang berpikir kau sedang senang.”

Jerry segera terdiam. Mulutnya tergangga tapi tak bersuara. Dia tersenyum getir.

Tau tidak kenapa dia melihat kau?”

Jerry menggeleng. Matanya membesar seiring harapan yang mendadak muncul dari perkataan Adrian.

Karena dia tak mengerti hanya kau satu-satunya murid laki-laki yang berwajah begitu muram. Tersenyumlah, Jer! Senyum itu tidak susah.”

Jerry tiba-tiba tersenyum. Nyengir mendengar sindiran sahabatnya. Kemudian dia tersenyum sedikit lebih baik. Sedikit malu, juga sedikit muncul rasa percaya dirinya.

Nah, begitu baru benar. Tau tidak, kau punya senyum yang bisa membuat banyak perempuan susah tidur.”

Jerry kembali tersenyum. Nyengir lagi. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kau tak percaya? Besok coba kau senyum sama Julia.”

Senyum di bibir Jerry perlahan menghilang. Dia terdiam sebentar. Dia sadar, justru untuk tersenyum pertama kali itu adalah senyum paling sulit. Ditambah lagi dia menyadari kalau dia termasuk laki-laki yang kehilangan nyali di depan orang yang disukainya.

****

Ini hari ketiga dan berturut-turut Jerry datang ke sekolah tanpa didahului bel berbunyi. Baru tiga orang yang berada di dalam kelas. Dan ini menjadi rekor tiba di sekolah terpagi sepanjang hidupnya. Dia melihat tempat duduk Wennendy yang sebentar lagi akan ditempati Julia. Setelah dua hari tak datang, Jerry mengetahui si pemalas Wennendy, bukannya sakit seperti surat yang diserahkan pada guru, tapi pergi menemani saudaranya jalan-jalan ke Medan.

Masih begitu sepi. Mungkin akan asyik untuk menikmati pemandangan laut pagi. Dia pun berjalan ke arah sudut bangunan. Tak ada orang. Dan laut hari ini tampaknya sepi sekali. Dia memang belum pernah melihat pemandangan laut sepagi ini. Dia mundur ke belakang beberapa langkah dan ....

Maaf ....”

Murid yang baru ditubruknya tidak marah. Malah dia tersenyum begitu manis. Dalam keterkejutannya Jerry membalas senyum itu. Sebelum dia menyadarinya, gadis itu sudah masuk ke dalam wc.

Segala ide berkecambuk di hati. Tetap berdiri di situ atau segera masuk ke kelas? Atau .... ups, Julia sudah keluar dari wc.

Hai ...!” kata-kata ini keluar begitu saja dari mulut Jerry.

Hai juga ....”

Hari ini ..., datang pagi sekali ...”

Ya. Aku dengar ada tugas bahasa Inggris. Aku belum punya bukunya, jadi datang pagi supaya sempat mengerjakannya.”

Oh ya? Dengar dari siapa?” tanya Jerry dengan tampang benar-benar tidak tahu.

Dari Lini. Tugas menerjemahkan dan menjawab soal. Katanya halaman tujuh belas.”

Ah, dia pun belum bikin kalau begitu. Tanpa sadar dia berjalan pergi meninggalkan Julia sendiri. Lalu tergesa-gesa berbalik lagi. Dia tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ehm, sepertinya aku juga belum buat tugasnya. Mau kerjakan sama-sama?”

Julia kaget dengan reaksi Jerry yang terburu-buru dan grogi. Dan dia pun tersenyum dan mengangguk. Begitu mereka memasuki kelas, jumlah murid yang datang sudah tujuh orang ditambah mereka.

Jerry mengeluarkan bukunya dan tersenyum sedikit lega. Dia sudah menyelesaikan bagian menerjemahkan. Untuk menjawab soal, dia baru di nomor tiga dari keseluruhan tujuh soal yang seharusnya. Dia lalu pindah ke tempat duduk Hendrik yang masih kosong dan menggesernya mendekat ke meja Julia. Sebuah kamus tebal hitam dikeluarkan dan diserahkannya pada Julia.

Ehm, bagian menerjemahkan sudah selesai. Tinggal menjawab soal. Kamu boleh menyalinnya kalau mau.”

Baru berkata begitu teman-temannya yang lain sudah menghampirinya.

Jer, kau sudah buat terjemahannya belum?”

Nanti dulu, aku lagi buat.”

Teman-temannya berhasil diusir pergi dan terjemahannya yang sudah selesai diserahkannya pada Julia. Julia tampak ragu sejenak.

Boleh aku salin begitu saja? Kalau ketahuan bagaimana?”

Tak apa-apa. Tidak diperiksa semuanya. Biasanya punyaku juga disalin habis-habisan sama yang lain.”

Masih terbersit ragu di wajah Julia. Namun akhirnya dia menurut juga. Dia sebenarnya ragu kalau terjemahan Jerry akan benar. Tapi ternyata bukan saja benar, tapi pilihan kata-katanya begitu tepat dan tersusun begitu indah. Dia yang biasanya dapat nilai tujuh atau delapan di sekolah lamanya pun tak yakin bisa sebagus ini. Perlahan dia melirik ke arah Jerry yang tampak serius mengerjakan soal-soal. Dia tersenyum. Tersenyum melihat laki-laki di sampingnya. Dari awal dia sudah menduga Jerry berbeda dengan laki-laki lain. Dan dia begitu terkesan dengan pembawaannya yang tenang. Saat Jerry menoleh ke arahnya, dia segera meneruskan menyalin terjemahannya. Jerry juga tersenyum. Julia bisa melihatnya dari sudut batas pandang matanya. Mereka selanjutnya diam. Menyelami masa bersama saat ini. Wangi tubuh yang begitu segar mengalihkan perhatian Jerry sesaat. Julia tersenyum saat mata mereka sekali lagi beradu. Wangi tubuh Julia, kini berpendar dalam seluruh tubuhnya. Sulit dilukiskan perasaan yang timbul karenanya. Perasaan yang kelak tak bisa dilupakannya.

Saat Hendrik tiba di kelas, semua kenyamanan mereka buyar sudah. Entah mungkin cemburu karena kedekatan Jerry dan Julia, dia segera mengusir Jerry dari tempatnya.

Jer, awaslah! Aku juga belum bikin.”

Tunggu sebentar. Kau duduk dulu di tempatku. Kukasih pinjam kalau sudah selesai....”

Ah, aku juga bisa. Cepatlah.”

Tak biasanya Hendrik begini percaya diri soal bahasa Inggris. Biasanya dia merengek-rengek hingga Jerry mau meminjamkan tugasnya. Atau dia terpaksa meminjam pada Andre yang jelas-jelas akan mengutamakan murid perempuan.

Jerry memang hampir selesai. Begitu selesai dia segera menyerahkan bukunya pada Julia dan menggeser tempat duduk Hendrik pada posisi semula. Murid-murid lain segera mengerumuni tempat Julia, bersama-sama melihat hasil kerja Jerry. Akibatnya Hendrik yang berniat merapatkan tempat duduknya dengan Julia tak punya ruang lagi. Wajahnya memberengut menahan kesal dan cemburunya. Jerry tetap duduk pada tempatnya, tenang memerhatikan teman-temannya. Memang pandangannya ke arah Julia terganggu. Tapi dia masih bisa melihat Julia tersenyum sesekali ke arahnya.

Bel berbunyi dan suara kepanikan murid-murid yang belum menyelesaikan tugasnya memenuhi seluruh kelas. Tak berapa lama kemudian seorang guru kurus dengan susunan buku-buku tebal di tangan kirinya berjalan masuk ke dalam kelas. Tangan kanannya memegang pengaris panjang dari bahan kayu. Dengan pengaris panjang itulah biasanya dia memukul muridnya seperti babi. Dan begitu penghormatan pagi selesai, dia segera meluncur dan memeriksa tugas. PLAK! PLAK! Sudah ada beberapa murid yang kena pukulannya. PLAK! Terdengar beberapa murid laki-laki mengeluh dan membantah. Guru ini, memang sering dibantah murid-muridnya. Karena dia sering tertawa di tengah-tengah marahnya. Itu lebih menimbulkan kesan lucu dibandingkan rasa takut. Dan memang, tak ada murid yang benar-benar takut padanya. Karena itu, untuk menimbulkan horor dia selalu membawa penggaris panjang ke mana-mana.

Begitu guru itu hampir mendekati mereka, Jerry memanggil Julia.

Sudah selesai?”

Belum. Sedikit lagi,” ujar Julia tanpa mengalihkan perhatiannya dari bukunya.

Guru itu semakin dekat ke tempatnya. Jerry mamanggil Julia sekali lagi.

Jul, mana bukumu?”

Julia menyerahkan buku Jerry, tapi Jerry menggeleng. Lalu menunjuk buku yang sedang ditulisi Julia. Julia sedikit bingung, tapi karena sedang kalut dia menyerahkan bukunya juga. Dan buku Jerry masih berada ditempatnya.

Mana tugasmu?” tanya guru itu pada Jerry.

Jerry dengan tenang menunjukkan buku Julia yang kini berada di atas mejanya.

Mana? Ini masih belum selesai.”

Saat penggaris itu terayun, Jerry mengangkat tangannya menahan ayunan itu lebih lanjut.

Sir ...! Cuma satu lagi. Masa dipukul juga?”

Guru itu, yang memang dipanggil “Sir” oleh murid-murid di sekolah ini tampak ragu sejenak. Lalu saat dia akan melewatkan Jerry, terdengar suara protes dari yang lain.

Sir, mana bisa begitu. Punyaku tinggal dua dipukul juga. Ah, macam mana Sir ini.”

Sir, jangan pilih kasih. Mentang-mentang murid kesayangan Sir...” Hendrik yang belum tiba giliran ikut berkomentar.

Tiba-tiba dua pukulan melayang pada dua murid itu. Jerry pun tak luput dari pukulan. Sesudah itu, sambil mengelus lengannya yang baru dihantam penggaris kayu, Jerry menoleh ke arah Julia yang merasa ngeri dengan pukulan yang diterima teman-temannya. Jerry tersenyum untuk menegaskan pukulan itu tak sakit baginya. Julia akhirnya bisa tersenyum geli melihat Hendrik yang entah dipukul kesekian kalinya karena mulutnya yang usil.

Pukul-pukulan dilanjutkan lagi. Ini karena salah satu murid ketahuan tidak membawa kamus. Juga tidak boleh sembarangan kamus, standarnya kamus hitam seperti yang ada di atas meja Jerry. Kamus hitam itu pun berpindah posisi ke meja Julia. Jerry sekali lagi meyakinkannya tidak apa-apa. Dan ujung-ujungnya dia kena pukul lagi. Terseyum sekali lagi, dia menoleh ke arah Julia yang mungkin karena tingkah Jerry yang lucu, ikut tersenyum pula.

Hari ini, meski diwarnai pukulan-pukulan di lengannya, wajah Jerry tampak cerah. Kelasnya pun tidak seramai dua hari sebelumnya. Julia menyingkir keluar kelas bersama Lini begitu bel istirahat berbunyi. Jerry senang sekali, karena hari ini Julia juga tidak banyak meladeni Hendrik yang mengoceh tanpa henti. Dia, bagaimanapun bukan tipe yang suka cari perhatian. Mungkin karena posisinya sebagai murid baru makanya sulit menolak perhatian murid-murid lain. Akan tampak arogan jika dia menolak semua perhatian mereka padanya. Hmm, untung saja semuanya jelas hari ini, batin Jerry. Kalau tidak, mungkin dia akan menyesal karena terburu-buru menghakimi. Julia kini, tampak seratus kali lebih cantik di matanya.

Bersambung ke: Sakit

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun