Mohon tunggu...
ega nur fadillah
ega nur fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswi -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Makalah Perkembangan Tasawuf

6 Desember 2018   23:11 Diperbarui: 7 Desember 2018   19:58 3936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tasawuf adalah salah satu cabang dalam disiplin ilmu keislaman yang pernah berkembang pesat teruatama pada abad ke 13. Tasawuf yang oleh Peter Avery dikatakan bertujuan memperteguh kembali jiwa masyarakat muslim di zamannya yang mulai rapuh, takkala pembantaaian dan penjarahan besar-besar yang dilakukan oleh bangsa Mongol kemudian menyebar-luaskan rasa pesimis dan membuat orang islam kehilangan rasa percaya diri pada kekuatan terpendam yang dimilikinya dan agama yang dianutnya. Namun sayang, melalui perjalanan waktu yang panjang dan perholakan khilafah yang melelahkan intisari tasawuf kian tersembunyi. Demikian juga tujuantujuan positif dari tasawuf kian lama kian dilupakan sehingga yang sampai kepada kita --sebagian melalui jasa orientalis- adalah pengertian yang salah. Tasawuf pun pernah dianggap sebagai penyebab mundurnya umat Islam yang pernah mencapai kejayaan pada masa awal hingga menjelang pertengahan. Tasawuf yang kemudian melembaga sebagai tarekat juga pernah dihubungkan dengan khurafat, pedukunan, klenik atau pemujaan tokoh tarekat yang masih hidupataupun yang sudah meninggal. Padahal semua itu tidak memiliki pertautan dengan tasawuf yang sejati. Tokoh-tokoh tasawuf seperti al-Hallaj, al-Ghazali, al- Qusyairi, Ibn al-Araby, Ibn Sina, Omar Khayyam, Attar, Rumi, Jami', Mulla Sa'di, Suhrawardi, Hamzah Fansuri, dan lain-lain adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh besar dalam perkembangan tasawuf, bahkan Islam di Afrika, Turki, anak benua India, kepulauan Nusantara, Timur tengah, Asia Barat, Asia tengah dan Andalusia bahkan diseluruh negeri-negeri muslim lainnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang berpenduduk muslim terbanyak di Asia

Tenggara memiliki keterkaitan sejarah dengan tasawuf, salah satu teori menyatakan

bahwa motif masuknya Islam di Indonesia ialah perkembangan tasawuf sendiri yang

mulai hidup kembali hingga merambah hingga ke wilayah ini setelah kejatuhan

Baghdad.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah yang akan dikaji dalam

makalah ini ialah:

1. Bagaimana proses masuk dan tersebarnya Islam di Indonesia

2. Bagaimana penyebaran Tasawuf di Indonesia

 

 

 

 

BABII

Pembahasan

 

A. Masuknya Islam di Indonesia

 

Sejarah menunjukkan bahwa sebelum masuk dan berkembangnya Islam di

Indonesia telah terdapat kepercayaan dan agama yang hidup di wilayah Indonesia yang

dahulu lebih dikenal sebagai kepulauan Nusantara. Istilah kepulauan digunakan untuk

menyebut gugusan pulau yang tersebar mulai dari ujung Barat sampai Timur Indonesia.

Wilayah kepulauan Nusantara tersebut telah dihuni oleh berbagai suku, ras dan etnis

dengan keragaman bahasa dan budaya bahkan kepercayaan serta agamanya. Animisme

dan dinamisme telah berkembang menjadi kepercayaan yang dianut oleh penduduk

Nusantara disamping agama Hindu dan Budha yang datang kemudian. Oleh karenanya

terdapat beberapa kerajaan Hindu dan Budha di kawasan ini sebelum masuknya Islam

seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Taruma Negara, dan lain-lain.

Jejak sejarah yang menggambarkan tentang awal masuknya Islam di Kepulauan

Nusantara tampak sangat problematis dan rumit. Banyak masalah yang muncul meliputi

asal-usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini, masalah yang dihadapi ketika

mencoba menjelaskan dan memahami Islam pada masa paling awal di Nusantara. Pengislaman seluruh kawasan yang tidak seragam, tidak hanya mengenai waktunya

akan tetapi juga watak budaya lokal yang dihadapi Islam antara Islam di Phanrang

(pesisir Champa), atau Leran (pesisir utara Jawa Timur), atau di Pasai (pesisir utara

Sumatra), atau di Malaka (pesisir semenanjung Malaya), dan Islam di Kerajaan

Mataram.

Masuknya Islam di Indonesia oleh menurut para sejarawan berbeda-beda apabila

ditinjau dari segi asal kedatangan, waktu kedatangan dan para pembawanya. Menurut

Azyumardi Azra, berbagai teori yang berusaha menjawab tentang hal itu masih belum

tuntas dibicarakan oleh karena selain kurangnya data yang mendukung suatu teori yang

ada, tetapi juga karena aspek sepihak dari teori itu yang hanya menekankan aspek khusus dengan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Oleh karenanya kebanyakan teori

yang ada gagal menjelaskan kedatangan Islam, konversi agama yang terjadi, dan prosesproses islamisasi. Dari segi teori kedatangannya terdapat beberapa teori yaitu:

1. Teori Gujarat dan Malabar

 

Teori Gujarat pada awalnya dikemukakan oleh Pijnappel yang mengaitkan

kesamaan orang-orang Arab mazhab Syafi'i yang melakukan migrasi ke wilayah India

kemudian membawa Islam ke Nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh

Snouck Hurgronje yang menyatakan begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota

pelabuhan anak benud India, muslim Deccan yang banyak bermukim di sana sebagai

pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke

dunia Melayu sebagai penyebar islam pertama. Baru kemudian disusul oleh orang-orang

Arab yang kebanyakan keturunan Nabi Muhammad saw. karena menggunakan gelar

sayyid atau syarif yang menyelesaikan penyebaran Islam di Nusantara. Hurgronje tidak

menyebut secara eksplisit asal wilayah yang dimaksudkan di wilayah India Selatan

sebagai asal Islam tetapi hanya menyebut abad ke 12 sebagai periode paling awal yang

memungkinkan bagi penyebaran Islam di Nusantara.

Teori Gujarat ini kemudian dikembangkan oleh Moquette yan mendasarkan

kesimpulannya pada hasil pengamatan terhadap batu nisan di Pasai, kawasan utara

Sumatera khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428 M. Batu

nisan tersebut mirip dengan batu nisan Maulana Malik al-Shalih (w. 822/1419) di

Gresik, Jawa Timur dan memiliki kesamaan dengan batu nisan yang terdapat di

Cambay, Gujarat. Berdasarkan temuan ini, ia berkesimpulan batu nisan di Gujarat

dihasilkan untuk pasar-pasar local dan kawasan lain di luar Gujarat termasuk Sumatera

dan Jawa.

2. Teori Bengal

Teori ini berasumsi bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari Bengal

yang dibuktikan oleh kemiripan yang terdapat pada seluruh batu nisan di Pasai,

termasuk nisan Malik al-Shalih. Teori ini menolak teori yang menyatakan bahwa Islam

berasal dari Gujarat sebagaimana pendapat Moquette, seorang sarjana Belanda yang

berpendapat bahwa batu nisan pada makam Maulana Malik al-Shalih yang terdapat di

Pasai berasal dari Gujarat. Menurut Fatimi, sebagimana dikutip oleh Azyumardi Azra,

batu nisan tersebut dan batu-batu nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara justru

memiliki kemiripan dengan batu nisan yang berasal dari Bengal. Lebih lanjut Fatimi

mengkritik para ahli yang mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475/1082)

yang ditemukan di leran, Jawa Timur.5 Teori tentang batu nisan ini banyak menuai

kritik dari para ahli seperti Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrikke, dan

Hall. Mereka lebih mendukung teori yang dikemukakan oleh Moquette.

3. Teori Arab

 

Teori Arab dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawford, Nieman, dan

Hollander. Arnold mengemukakan bukti yang menjadikan argumentasi tentang

3Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII .kesamaan mazhab antara Arab dan Nusantara, yaitu mazhab Syafi'i. Para pedagang

Arab sejak abad 7 M telah menguasai perdagangan Barat-Timur. Arnold

mengungkapkan bahwa menjelang perempat ketiga abad abad ke 7 seorang Arab telah

menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir barat Sumatera. Mereka

membentuk komunitas muslim dan melakukan assimilasi melalui perkawinan dengan

penduduk setempat. Asumsi tersebut menurut Azyumardi lebih mungkin apabila

mempertimbangkan fakta yang berasal dari sumber-sumber Cina bahwa menjelang

akhir perempatan abad ke 7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah

pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini

kemudian membentuk nucleus sebuah komunitas muslim yang terdiri dariorang-orang

Arab pendatang dengan penduduk local, khususnya melalui perkawinan dengan wanita

local. Arnold beranggapan anggotaanggota komunitas itu juga melakukan penyebaran

agama Islam. Pendapat tersebut diperkuat oleh Holander yang menyatakan bahwa

kemungkinan pada abad ke 13 sudah ada orang Arab (Hadramaut) yang bermukim di

Jawa. Mereka berasal dari Arab yang menganut mazhab Syafi'i dan mimiliki persamaan

mazhab dengan muslim Nusantara. Pendapat ini menegaskan bahwa Islam telah masuk

ke Nusantara pada abad ke 7 (674 M) dan berasal dari Arab. Pendapat ini sejalan

dengan para sejarawan seperti Hamka yang menambahkan alasan lain bahwa gelar

sultan Pasai yaitu al-Malik adalah pengaruh dari gelar raja-raja Mamluk yang berasal

dari Mesir, bukan berasal dari India atau Persia yang member gelar Khan pada rajarajanya

atau para bangsawan.

Teori yang menyebutkan persamaan mazhab ini juga dikemukakan oleh Snouck

Hurgronje dengan menggunakan pendekatan sosial pada abad ke 19 terhadap

masyarakat Islam Nusantara terutama masyarakat Aceh. Namun menurutnya Islam yang

datang di Nusantara berasal dari India yang menganut mazhab Syafi'i, bukan berasal

dari Arab.7 Teori Snouck ini ditentang oleh Marrison dalam artikelnya berjudul The

Coming of Islam to The East Indies yang menyatakan bahwa masuknya Islam di

Indonesia berasal dari India Selatan (bukan dari Gujarat oleh para pedagang). Teorinya

ini berdasarkan teks Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Kesimpulan dari

teori Marrison bahwa islamisasi di Nusantara terjadi pada abad ke 13 di mana: 1) Islam

di Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu'tabar (nama ini juga dibaca Ma'abri

atau Mangiri) yang sekarang bernama Malabat. Sultannya bernama Sultan Muhammad

yang kemudian berganti nama menjadi Fakir Muhammad dan masih memiliki pertalian

dengan Abu Bakar, 2) kerajaan yang diislamkan ialah Samudra Pasai yang dipimpin

oleh raja Merah Silu kemudian bergantinama menjadi Sultan Malikush-Shaleh (w.1297

M), 3) yang mengislamkan Nusantara beraliran tasawuf karena para mubalignya

bergelar Fakir. Gelar Fakir diberikan kepada para sufi yang memilih meninggalkan

kesenangan dunia dan hidup semata-mata untuk keagamaan.

4. Teori Persia

 

Teori ini diperkenalkan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat

bahwa Islam masuk di Nusantara pada abad ke 13 melalui Samudra Pasai.

berangkat dari beberapa persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat

Nusantara dengan Persia utamanya tradisi keagamaan penganut syi'ah yaitu pertama,

peringatan 10 Muharram atau as-Syura sebagai hari kematian cucu Nabi, Husein di

Karbala. Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur as-Syura bahkan di

Minangkabau dinamakan bulan Hasan-Husein. Adapun di Sumatera Tengah dikenal

istilah bulan Tabut yaitu bulan untuk membuat keranda bagi Husein yang disebut

Keranda Tabut untuk kemudian dilemparkan ke sungai, kedua, persamaan peninggalan

arkeologi berupa batu nisan yang berasal dari Gujarat sebagaimana ditunjukkan pada

makam Malik al-Shalih (1297 M) di Pasai dengan makam Malik Ibrahim (1419 M) di

Gresik, ketiga, kesamaan ajaran al-Hallaaj, tokoh sufi dari Persia, Iran dengan paham

Syekh Siti Jenar dari Jawa, keempat, menurut Nurcholish Madjid, penyebutan akhir dari

beberapa kata-kata Arab pada masyarakat muslim Nusantara merupakan kata-kata yang

tidak murni dari bahasa Arab tetapi berasal dari bahasa Persi, seperti kata yang

berakhiran ta marbuta dibaca "h" pada saat berhenti yaitu shalat-un dibaca shalat, zakatun

dibaca zakah dan lain-lain. Kata-kata tersebut juga biasa dibaca shalat dan zakat (ta

marbutah menjadi ta maftuha, sehingga menunjukkan bahwa kata-kata tersebut tidak

langsung dipinjam dari bahasa Arab tetapi dari bahasa Persia dan bahasa-bahasa Islam

di Asia daratan yang menjadikan Persia sebagai rujukan budaya leluhurnya seperrti

bahasa-bahasa Urdu, Pustho, Turki dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa

islam di Nusantara tidak langsung berasal dari Arab melainkan melalui Persia.

5. Teori Cina.

 

Teori ini berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Cina yaitu Kanton.

Muslim kanton, Cina datang ke Jawa, sebagian ke Kedah dan Sumatera pada abad ke 9

M. kedatangan mereka sebagai pengungsi akibat penumpasan yang dilakukan pada

masa Huang Chouterhadap penduduk di kanton Selatan yang mayoritas muslim.

Pada perkembangannya peranan bangsa Cina semakin nampak dengan ditemukannya

berbagai artefak yang memiliki unsur-unsur Cina misalnya arsitektur masjid-masjid

Jawa Kuno semisal masjid Banten, Mustaka yang berbentuk bola dunia menyerupai

stupa dengan dikelilingi empat ular yang hampir selalu ada di masjid-masjid kuno di

Jawa sebelum arsitektur Timur Tengah mempengaruhi arsitektur masjid-masjid yang

didirikan kemudian. Selain karena pengungsian tersebut, sebelumnya telah terjalin

hubungan antar orang-orang Jawa dengan orang-orang Cina memalui jalur perdagangan.

Oleh sebab itu dapat dipahami apabila pada abad ke 11 telah terdapat komunitas muslim

Cina di Jawa yanag dibuktikan dengan adanya makam Islam dan kematramik Cina di

situs Leran. Bukti lain berupa arsitektur mesjid Demak dan catatan sejarah

menunjukkan bahwa beberapa sultan dan sunan yang memiliki peran dalam penyiaran

Islam di Nusantara adalah berasal dari keturunan Cina, misalnya Raden Patah yang

mempunyai nama Cina, Jin Bun, demikian juga Sunan Ampel dan lain-lain.

Berdasarkan teori-teori tersebut di atas dapat juga dikemukakan proses

islamisasi di Nusantara yang terkait dengan beberapa motif. Proses islamisasi

dikemukakan oleh Hasan Muarif Ambary yaitu: pertama, fase kehadiran pedagangpedagang

muslim pada abad ke 1-4 H/7-10 M. sejak awal abad pertama Hijriah kapal-

9Ahmad Mansur Suryanegara, Menembus Sejarah kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Sekalipun demikian

ini tidak menjadi bukti tentang masuknya penduduk local ke dalam Islam sekalipun ada

dugaan telah terjadi perkawinan dengan penduduk setempat sehingga memungkinkan

mereka memeluk Islam.

Para sarjana Barat kebanyakan berpendapat bahwa jalur perdagangan merupakan

jalur yang paling awal bagi masuknya Islam di Nusantara. Para pedagang itu kemudian

menetap hingga membentuk komunitas pada daerah yang dikunjunginya.

Nucleusmuslim pun tercipta yang kemudian memainkan peran dalam penyebaran Islam.

Selanjutnya mereka berpendapat bahwa sebagian pedagang itu melalkukan perkawinan

dengan penduduk local termasuk keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan

mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat

digunakan bagi penyebaran Islam.

Teori tentang motif ekonomi dalam islamisasi juga dikemukakan oleh Antony

Reid yang menyatakan bahwa islamisasi sangat meningkat ketika Nusantara berada

dalam masa perdagangan pada abad ke XV sampai XVII. Ketika kerajaan-kerajaan

Islam terlibat dalam perdagangan internasional bebas, Islam diasosiasikan oleh

penduduk Nusantara dengan kebangsaan sehingga menarik mereka untuk masuk Islam.

Oleh karena itu terjadilah islamisasi massal.

Jika hal ini diterima maka dapat dikatakan bahwa motif ekonomi dan politik

sangat penting bagi masuk dan terswebarnya Islam di Nusantara. Van Leur percaya

bahwa kedua motif itu berpengaruh terhadap proses islamisasi di Nusantara oleh karena

menurutnya para penguasa pribumi yang inginmeningkatkan kegiatan-kegiatan

perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka

kemudian mendapat dukungan dari para pedagang muslim yang menguasai sumbersumber

ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi

dagang kepada mereka. Dengan konversi pedagang tersebut, para penguasa pribumi

Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam

perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak dari Laut Merah ke Laut Cina.

Bagi paara penguasa tersevut, dukungan para pedagang muslim memberikan keabsahan

dan semakin memperkuat kekuasaan mereka sehingga terutama mampu mengimbangi

dan menangkal jaringan kekuasaan Majapahit.

Teori ekonomi dan perkawinan tersebut tidak sepenuhnya mendapat dukungan

dari sarjana Barat seperti penolakan Johns bahwa sulit meyakini bahwa para pedagang

muslim juga bertindak sebagai penyiar Islam, oleh karena dari segi jumlah penduduk

yang berhasil mereka islamkan tidak ditemukan bukti dalam terdapatnya penduduk

muslim lokal dalam jumlah yang besar. Demikian juga alasan perkawinan antara para

pedagang dan bangsawan ditolak oleh Schrieke. Ia juga menolak konversi penduduk

local kepada Islam sebagai akibat masuknya para penguasa ke dalam Islam. Alasan

yang bisa diajukan ialah penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam sebagai akibat

ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam.

Menurutnya, terjadi semacam pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan penganut-penganut baru di Nusaantara.

Pendapat Schrieke tersebut dapat dipatahkan dengan mempertimbangkan awal

masuknya bangsa Barat ke wilayah Nusantara. Sebagaimana diketahui bahwa bangsa

Barat (Portugis) yang pertama mulai masuk ke Nusantara pada tahun 1511.16

Kedatangan mereka disusul oleh Spanyol, Belanda17, dan Inggris. Kedatangan bangsa

Barat ini dimotivasi oleh tiga hal yang disebut 3G (glory, gold dan gospel). motif

penyebaran agama (gospel/zending) yang mengikuti motif ekonomi penjajah

menyebabkan tersebarnya agama Kristen di beberapa daerah di Nusantara. Hal itu

menunjukkan bahwa pertarungan yang dimaksudkan sebenarnya baru terjadi pada abad

ke 15, bukan pada abad ke 12 atau ke 13 di mana Islam sudah menampakkan hasilnya

dalam bentuk lembaga kekuasaan.

Latar belakang yang paling dapat diterima bagi masuknya penduduk Nusantara

ke dalam islam ialah adanya kemampuan para penyiar Islam yang menggunakan

kemasan atraktif khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau

kontinuitas dengan kepercayaan local. Kontinuitas itu tidak lantas mengdakan

perubahan dalam kepercayaan atau praktik keagamaan local tetapi penyesuaian melalui

pendekatan tasawuf. Para penyiar islam masa awal merupakan guru-guru pengembara

dengabn karakteristik sufi yang kental. Mereka memiliki otoritas kharismatik dan

kekuatan magis. Sebagian guru sufi ini mengawini putra-putri bangsawan dan

karenanya memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan sekaligus

aura keilahian atau karisma keagamaan.

Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam pada abad ke 13-16. Bukti arkeologis

menunjukkan bahwa ditemukannya makam Malik al-Shaleh (696 H/1297 M) yang

terletak di kecamatan Samudera, Aceh Utara menunjukkan bahwa telah terdapat

kerajaan Islam pada abad ke 13. Dikuatkan oleh historiografi tradisional local, Hikayat

Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu menunjukkan bahwa penguasa pertama kerajaan

Samudera ialah Malik al-Shaleh.19Di daerah Jawa, lahir kerajaan Demak sebagai

kerajaan islam pertama di pulau ini yang kemudian berhasil mengalahkan kekuasaan

Majapahit. Para wali mememgang peranan penting pada persebaran Islam di tanah jawa

dengan dibantu oleh kerajaan Demak dan kerajaan lain seperti Pajang dan Mataram.

Demikian juga di luar Jawa seperti, Gowa, Banjarmasin, Hitu, Ternate, Tidore dan

Lombok. 20Khusus kerajaan Gowa-Tallo (Sulawesi Selatan) dikenal tiga penyiar Islam

yang berasal dari Melayu yaitu Abdul Makmur Khatib Tunggal (Dato ri Bandang),

Khatib Sulaiman (Datori, Timang), dan Khatib Bungsu (Dato ri Tiro) ke Sulawesi

Selatan.

Ketiga, Fase pelembagaan Islam. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam

yang diawali dengan kerajaan Samudra Pasai hingga ke bagian Timur Nusantara, para

penyiar Islam memperoleh jabatan penting dalam struktur birokrasi kerajaan. Mesjid

sebagai pusat dakwah mulai berdiri, pendidikan kader ulama, mengislamkan raja dan

keluarganya dan pendekatan sosial lainnya mewarnai pelembagaan Islam di Nusantara

pada fase ini. Proses islamisasi ini menurut Azyumardi Azra ditandai dengan runtuhnya

Kerajaan Majapahit pada abad ke 14 dan 15 M. pada saat ini, Islam masih terbatas di

kota-kota pelabuhan yang tidak lama kemudian memasuki wilayah pesisir lainnya dan

pedesaan. Pemegang peranan penting dalam tahap ini ialah para pedagang dan ulama

yang sekaligus guru-guru tarekat dan santri-santrinya. Pada umumnya mereka mendapat

patronase dari penguasa local bahkan penguasa local ini juga turut menyebarkan Islam

dan peranannya tidak dapat diabaikan. Corak Islam dalam tahap ini banyak diwarnai

oleh aspek tasawuf atau mistik. Dalam beberapa hal, mistisisme Islam mendapatkan

tempatnya dengan latar belakang masyarakat local yang banyak dipengaruhi asketisme,

Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan loka. Meskipun demikian, bukan berarti

bahwa aspek hukum syari'at terabaikan sama sekali. Sebagai misal penyebaran Islam di

Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tiga penyiar Islam dengan metodenya masingmasing.

Sebagaimana dalam historiografi tradisional, dikenal adanya tiga orang

muballig dari Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.

Ketiga muballig tersebut adalah Abdul Makmur Khatib Tunggal yang lebih dikenal

dengan gelar Dato ri Bandang. Dalam menjalankan dakwah ia menekankan pada

pelaksanaan syariat Islam sebagai pokok ajarannya. Kedua adalah Sulaiman Khatib

Sulung, yang kemudian terkenal dengan nama Dato Patimang, Dalam sejarah

pengislaman di Sulawesi Selatan, ia memegang peran penting di Luwu. Dalam

menjalankan dakwahnya ajaran tauhid menjadi pegangannya dengan mempergunakan

kepercayaanlama yaitu sureILagaligo sebagai cara pendekatan. Ketiga adalah Abdul

Jawab Khatib Bungsu, selanjutnya ia terkenal dengan nama Dato ri Tiro. Dalam

menjalankan dakwahnya ia melakukan pendekatan tasawuf.

B. Penyebaran Tasawuf di Indonesia

 

Tasawuf dari segi kebahasaan (linguistik) memiliki beberapa makna. Harun

Nasution menyebutkan lima kata untuk menggambarkan pengertian tersebut yaitu alsuffah

(ahl suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah,

saf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama'ah, sufi yaitu bersih

dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf yaitu kain wol kasar. Pengertian pengertian tersebut jika ditelaah lebih jauh akan berorientasi kepada sifat-sifat dan

keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan kepada Tuhan. Kata ahl-suffah

misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda

dan lainnya hanya untuk Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya,

rumah, kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada di Mekkah untuk hijrah bersama

Nabi ke Madinah. Hal tersebut dilakukannya karena keinginan untuk mendekatkan diri

kepada Allah.

Selanjutnya kata saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di

barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya.

Kata sufi yang berarti bersih, suci, dan murni menggambarkan orang yang selalu

memelihara dirinya dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, kata

suf yang berarti kain wol kasar yang terbuat dari bulu domba, hal ini menggambarkan

orang yang hidupnya serba sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak

mau diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa

akan tujuan hidupnya yakni beribadah kepada Allah. Pada awal perkembangan

asketisme (hidup zuhud), pakaian bulu domba adalah simbol para hamba yang tulus.

Kata sophos yang berarti hikmah menggambarkan keadaan orang yang jiwanya

senantiasa cenderung kepada kebenaran.

Dengan demikian tasawuf menggambarkan keadaan untuk senantiasa

berorientasi kepada kesucian jiwa, berpola hidup sederhana, mendahulukan kebenaran,

dan rela berkorban untuk tujuan mulia. Ajaran-ajaran tasawuf merupakan pengalaman

(tajribah) spiritual yang bersifat pribadi yang dilandasi oleh keinginan sesorang sufi

untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena bersifat pribadi, maka

pengalaman seorang sufi yang satu dengan yang lainnya memiliki kesamaan-kesamaan

di samping perbedaan yang tidak bisa diabaikan. Kesamaan-kesamaan tersebut

kemudian dirumuskan dalam bentuk maqamat dan ahwal (station).

Dalam sejarah Islam tasawuf mengacu pada prilaku Rasulullah Muhammad

Saw. dan sahabat-sahabatnya. Apabila merujuk dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat

yang dijadikan dasar untuk menjalani hidup sebagai sufi, antara lain bahwa Allah itu

dekat dengan manusia (Q.S. Al-Baqarah/2: 86) dan Allah lebih dekat kepada manusia

dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri (Q.S. Qaf/50: 16).

Dalam masa pertumbuhannya muncul bermacam-macam konsep ajaran tasawuf

yang disampaikan oleh para sufi, yaitu al-khauf dan al-raja' yang diperkenalkan oleh

Al-Hasan al-Basri (642-728 M.), mahabbah oleh Rabi'ah al-Adawiyah (714-801 M.),

hulul oleh Al-Hallaj, al-ittihad oleh Yazid al-Bustami (814-875 M.) dan ma'rifah oleh

Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M.). pada abad ke 5 H/13 M kegiatan para sufi

kemudian mulai melembaga hingga memunculkan tarekat. Hal ini ditandai dengan

nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu yang selalu dikaitkan

dengan silsilahnya. Setiap tarekat mempunyai syekh, kaifiyat zikir dan upacara-upacara

ritual masing-masing. Biasanya syekh atau mursyid mengajar murid-muridnya di

asrama ltempat latihan rohani yang dinamakan suluk atau ribath. Mula-mula muncul

tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir di Asia Tengah,

Tibristan tempat kelahirannya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab

Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul

pula tarekat Rifa'iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika

Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang

dengan cepat melalui kurid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dsan

Dalam perkembangannya tarekat-tarekat yang muncul memiliki peranan yang

besar dalam kehidupan umat Islam tidak hanya dalam bidang agama tetapi juga dalam

bidang lain. Sesudah kekhalifaan Baghdad runtuh tugas mempertahankan persatuan

umat Islam dan penyebaran agama terutama banyak dipegang oleh para sufi. Ketika

daulah Usmaniyah berdiri, peranan tarekat (Bahtesyi) saangat besar baik dalam bidang

politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utara, tarekat Sanusiyah memiliki

peranan yang besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di Sudan tarekat

Syadziliyah berperan besar dalam penyebaran Islam.

Khusus di Indonesia, berkembangnya tarekat tidak lepas dari proses masuknya

Islam di wilayah ini. Islam yang masuk di Indonesia pada mulanya bercorak tasawuf

yang dibuktikan oleh beberapa data yang ditunjukkan oleh para sejarawan. Marrison

ketika menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia menyebutkan fakta bahwa

yang mengislamkan Nusantara berasal dari India Selatan yaitu Mu'tabar (malabat) yang

dilakukan oleh para muballig yang bergelar fakir. Gelar fakir mengingatkan pada gelar

yang diberikan kepada seorang sufi yang meninggalkan keduniaan dan memilih hidup

untuk keagamaan. Dari teori Marrison ini kemudian muncul teori berikut yang berupaya

menjawab pertanyaan apakah Islam yang masuk di Indonesia pada awalnya bercorak

tasawuf.

Teori Hill menyebutkan bahwa dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang disusun

pada abad ke 14 mengatakan Islam yang datang di Nusantara beraliran tasawuf. Data ini

di dukung oleh Sejarah Melayu yang sumbernya juga dari Hikayat Raja-raja Pasai.

Teori Bech menyatakan dalam teks Sejarah Melayu dijelaskan tentang kesenangan

Sultan malaka kepada ilmu tasawuf di mana pada suatu waktu seorang ulama, yaitu

Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada sultan berupa kitab yang berjudul

Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun). Sultan berkali-kali mengutus utusan yang

agar menemui Sultan Aceh untuk berkonsultasi tentang ilmu tasawuf. Teori Raffles

menyebutkan peristiwa terakhir dalam Sejarah Melayu adalah penyerangan Sultan

Malaka yang kemudian lari ke Johor. Dari segi waktu kejadian Sejarah Melayu yang

ditulis pada tahun 1536 dan baru dapat dibaca pada abad ke 16 sebagai bukti bahwa teks

ini sebelumnya masih berupa cerita lisan. Sehingga dapat disimpulkan ilmu tasawuf

telah diberkembang dan ditulis menjadi sebuah naskah pada abad ke 16. Teori Johns

berpendapat naskah-naskah abad ke 16 yang diteliti oleh para orientalis bercorak

tasawuf sehingga dapat menjadi obyek bagi kajian sejarah intelektual Islam dan

perkembangan ilmu tasawuf di Indonesia.

Dari teori-teori yang menyebutkan peranan para sufi dalam penyiaran Islam di

Indonesia tersebut menurut Azyumardi Azra berhasil membuat korelasi antara

peristiwa-peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski

peristiwa-peristiwa politik --dalam hal ini kekhalifaan Abbasiyah- merefleksikan hanya

secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat muslim, orang tak dapat

mengabaikan peranan para sufi ini, karena semua itu mempengaruhi perjalanan

masyarakat muslim di bagian-bagian lain dari bunia Islam. Teori ini juga berhasil

membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan

institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan

ciri khas masyarakat tertentu sehingga benar-benar dapat dikatakan sebagai masyarakat

muslim. Institusi-institusi yang terpenting itu ialah madrasah, tarekat sufi, futuwwah

(persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua

insitusi ini menjadi penting berperanan hanya pada abad ke 11.

Para sufi pertama yang mengajarkan tasawuf dan tarekat di Indonesia ialah

Hamzah Fansuri (w. 1590), Syamsuddin as-Samatrani (w. 1630), Nuruddin ar-Raniri

(w. 1658), Abd. Rauf as-Singkeli (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Makassar (1626-

1699). Sufi-sufi tersebut merupakan tokoh-tokoh yang memiliki konstribusi yang besar

dalam penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia. Disamping mereka terdapat

para ulama yang juga menyiarkan Islam dengan menggunakan metode yang akomodatif

dalam dakwahnya seperti wali songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, Rajo

Bagindo ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu, Syekh Ahmad ke Negeri Sembilan

daqn lain-lain.

BAB III.

KESIMPULAN

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kesimpulan yang dapat ditarik dalam

makalah ini ialah:

1. Menelusuri perjalanan sejarah Islam dalam konteks keindonesiaan pada awal

abad ke 13 hingga abad ke 17 akan membawa kita kepada masa pertumbuhan

dan persebaran Islam ke beberapa wilayah Nusantara dengan segala

dinamikanya. Persebaran Islam tersebut yang berawal dari Kepulauan Melayu-

Indonesia melalui perdagangan ke Jawa sampai bagian Timur Indonesia

termasuk pula Sulawesi Selatan. Para sejarawan berbeda pendapat tentang

masuknya Islam di Nusantara dengan mempertimbangkan segi asal kedatangan,

waktu kedatangan dan para pembawanya.

2. Para sufi memainkan peran yang besar dalam proses masuk dan berkembangnya

Islam di Nusantara terutama dalam terciptanya konversi yang besar dari

penduduk local (pribumi) kepada Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa

corak Islam yang berkembang pada masa awal ialah tasawuf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun