Mohon tunggu...
Doris Kusumardiyanto
Doris Kusumardiyanto Mohon Tunggu... Politisi - mahasiswa

mahasiswa Fakultas Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia (Analisis legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional)

18 Maret 2024   21:26 Diperbarui: 18 Maret 2024   21:55 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      Fuqaha telah sepakat tentang perkawinan wanita bahwa tidak boleh mengawini seorang wanita yang telah diikat dengan perkawinan sah sebelum melahirkan anaknya. Ini berlaku untuk suami wanita mafqud (hilang), kecuali setelah ada kepastian hukum tentang hilangnya suami tersebut dengan keputusan pengadilan dan setelah selesai iddahnya. Ini juga berlaku untuk wanita yang hamil karena syubhat. Namun, ulama fikih tidak setuju tentang mengawini wanita hamil akibat hubungan luar nikah (berzina), yang tidak diikat oleh akad nikah yang sah.

Mayoritas ulama fikih berbeda pendapat tentang perkawinan wanita hamil luar nikah karena masalah berikut:

  • Mazhab Syafi'iyah berpendapat bahwa mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengzinainya atau menghamilinya, baik hamil maupun tidak hamil
  • Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengzinainya atau menghamilinya, karena kandungannya tidak sah nasabnya. Namun, tidak boleh menggaulinya sampai dia melahirkan.
  • Menurut Mazhab Malikiyah, tidak boleh mengawinkan dengan wanita yang melakukan zina sebelum dia bersih dari dosa zinanya dengan tiga kali haid atau setelah lewat tiga bulan setelah diketahui tidak hamil. Jika seorang wanita mengawinkan setelah pembersihan, perkawinannya adalah fasid (rusak atau batal), dan dia harus difasakh, apakah dia hamil atau tidak. Jika kehamilan tampak tidak dapat dikawinkan.
  • Mazhab Hanabilah menyatakan bahwa tidak boleh mengawinkan wanita zina dengan laki-laki yang mengetahui kondisi wanita itu, baik hamil maupun tidak hamil.

Perkawinan Wanita Hamil Luar Nikah Perspektif UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI 

     Setelah melakukan penyelidikan, Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tidak berbicara secara eksplisit tentang perkawinan wanita hamil luar nikah, apakah itu haram atau halal, baik laki-laki yang mengzinainya atau tidak. Namun, jika kita memperhatikan lebih lanjut pasal 42 undang-undang itu, disebutkan bahwa "anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan sah." Kita dapat memahami bahwa istilah "sebagai akibat perkawinan sah" menunjukkan bahwa perkawinan yang sah membutuhkan alasan yang mendorong seorang wanita dan laki-laki untuk menikah. Akibatnya, wanita yang hamil di luar nikah mungkin diizinkan untuk dikawinkan.          

      Sementara itu, dalam KHI, pasal 53 ayat 1, 2 menyatakan bahwa "Seorang wanita hamil luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya," ayat 2 menyatakan bahwa "Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya," dan ayat 3 menyatakan bahwa "Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir Namun, pasal 53 KHI menyatakan bahwa perkawinan dengan pria yang menghamili wanita hamil luar nikah hanya diizinkan. Sebab tidak ada pasal, itu adalah masalah besar dalam konteks hukum itu.

BAB 11

STATUS HUKUM ANAK 

A. LUAR NIKAH

  1. Anak zina

        Zina dalam Islam adalah haram dan sangat terlarang secara hukum. Zina tidak memiliki alasan darurat dan tidak dapat ditoleransi. Secara hukum Islam, setiap orang yang berzina harus dikenai hukuman berat. Hukum Islam tentang zina dapat dianggap sangat kejam. Tetapi kekejaman tidak berarti tidak manusiawi, jika seseorang berpikir logis.
Menurut hukum Islam, anak yang melakukan zina dianggap sebagai anak tidak sah, yang berdampak pada hukum berikut:

  • Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang secara tidak sah mencampuri ibunya. Diuraikan bahwa anak yang dilahirkan tanpa nikah atau zina tidak dapat memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga secara yuridis ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak yang dilahirkan, bahkan jika anak tersebut secara biologis dan geneologis adalah anaknya sendiri. Oleh karena itu, hubungan kekerabatan hanya berdasarkan rasa manusiawi daripada hukum.
  • Tidak ada warisan antara orang. Akibatnya, karena anak zina dan anak laki-laki yang mencampuri ibunya tidak memiliki hubungan nasab, mereka tidak saling mewarisi satu sama lain. Ini karena salah satu alasan warisan adalah hubungan nasab. Saling mewaris juga termasuk kerabat dekat, seperti paman, saudara, dan sebagainya. Dengan cara yang sama, keluarga bapak tidak dapat mewarisi anaknya. Seorang anak yang melakukan zina hanya dapat mewarisi dari ibu dan keluarganya, menurut para ahli hukum Islam.

Tidak ada warisan antara orang. Akibatnya, anak laki-laki yang mencampuri ibunya dan anak zina tidak saling mewarisi karena mereka tidak memiliki hubungan nasab. Kerabat dekat, seperti paman, saudara, dan sebagainya, juga termasuk dalam saling mewaris. Dengan cara yang sama, keluarga seorang bapak tidak memiliki kemampuan untuk mewarisi anaknya. Ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ibu dan keluarga seorang anak yang melakukan zina yang dapat mewarisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun