5. Â Umar ibnu Khattab dan Ibnu Hazm al-Zhahiri berpendapat bahwa batas maksimal masa kehamilan adalah Sembilan bulan.
B. Penetapan Asal Usul Anak dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
- Pasal 42 UU RI No.1 Tahun 1974 mengatakan, "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.". Pasal 43 "(1) Anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
- Pasal 44 "(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. (2) Pengadilan dapat memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.
- Pasal 99, 100, dan 101 dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur asal-usul anak. Untuk informasi tambahan, lihat Pasal 99 "Anak sah adalah: (a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut." Pasal 100 "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya." Pasal 101 "Seorang suami yang mengingkari sahnya anak
- Pasal 102 menyatakan bahwa "(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya harus mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan setelah jangka waktu tersebut tidak dapat diterima."
BAB 9
PENCATATAN PERKAWINAN
A. Eksistensi Pencatatan dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 Â dan UU RI. No. 32 Tahun 195
    Yang dimaksud dengan "perkawinan tidak dicatat" adalah perkawinan yang memenuhi syarat hukum Islam dan belum dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah kecamatan setempat. Menurut UU RI No. 22 Tahun 1946, pencatatan perkawinan diatur sebagai berikut: (1) perkawinan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah; dan (2) pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dikenakan hukuman sebagai pelanggaran. Penjelasannya tentang pencatatan perkawinan lebih tegas: dia mencatat perkawinan untuk keamanan hukum dan ketertiban. Saat menjelaskan hukuman yang dikenakan pada pasangan yang menikah tanpa pengawasan, maksudnya adalah agar peraturan administrasi diperhatikan, tetapi tidak membatalkan perkawinan.
Dalam UU RI. No. 22 Tahun 1946 jo. UU RI. No. 32 Tahun 1954, Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa "untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah", dan Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa "perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum."
B. Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dan KHI
    Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum pencatatan perkawinan dapat berdampak seperti berikut:
a. Perlindungan Hukum: Pasangan suami istri memiliki hak dan kewajiban yang diberikan oleh status perkawinan berkat pencatatan perkawinan.
b. Kepastian Hukum: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian hukum tentang status perkawinan dan hak dan kewajiban kedua belah pihak menurut hukum.