Kontekstualisasi rukun dan syarat perkawinan dalam Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) mencerminkan upaya untuk mengatur perkawinan sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, rukun perkawinan mencakup persyaratan seperti izin dari orang tua, kesamaan agama, dan keberadaan wali bagi calon pengantin wanita yang belum pernah menikah atau telah diceraikan. Hal ini menunjukkan upaya untuk memperhatikan norma-norma budaya dan agama dalam proses perkawinan.      Â
    Sementara itu, KHI memberikan panduan yang lebih spesifik tentang rukun dan syarat perkawinan dalam konteks hukum Islam. Misalnya, KHI menetapkan bahwa salah satu rukun perkawinan dalam Islam adalah ijab kabul, yaitu kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak secara jelas dan tegas. Selain itu, KHI juga memuat persyaratan seperti persetujuan dari wali yang sah, ketentuan tentang mahar, serta ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami istri.
BAB 7 LARANGAN PERKAWINAN
A. Larangan Perkawinan dalam hukum IslamÂ
1. Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya.
 A. Haram dikawini sebab hubungan nasab, di antaranya;
1). Ibu, termasuk dalam pengertian ibu adalah nenek dan seterusnya ke atas baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
2). Anak perempuan, termasuk dalam pengertian anak perempuan adalah cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan terus ke bawah.
3). Saudara perempuan, baik sebapak dan seibu, maupun sebapak saja atau seibu saja.
4) Bibi, yaitu saudara perempuan bapak dan ibu, baik sekandung maupun sebapak dan seibu
5). Kemanakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
- b. Haram dikawini sebab hubungan sesusuan.
- 1). Ibu susuan, yaitu seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak. Ibu tersebut dipandang sebagai ibu kandung, sehingga haram untuk dikawini.
- 2). Nenek sesusuan, yaitu ibu dari yang menyusui, atau ibu dari suami yang menyusui.