Mohon tunggu...
Diva Asfira Demokraty
Diva Asfira Demokraty Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Swim n sleep

You can change your mind and you can change your world

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Komponis Bersyair Dalam Nadi Indonesia

20 November 2021   21:31 Diperbarui: 21 November 2021   09:49 1556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ismail Marzuki (ke empat dari kiri belakang) bersama grup Lief Java. (Arsip Taman Ismail Marzuki) 

     Terlihat seorang anak yang tengah duduk melamun disudut kamarnya dengan penerangan minim dari lampu patromak,  sambil memandang ke arah foto yang terpajang dihadapannya. 

     Rupanya, ia sedang membayangkan dirinya yang bercita-cita ingin menjadi seorang komponis. Komponis yang dikenal diseluruh mancanegara lewat karya-karyanya yang dapat mengharumkan namanya, juga negara tercintanya ini. Rasa nasionalismenya tumbuh sejak kecil. Dalam foto itu, terlihat potret dirinya dan ayahnya yang sedang memainkan kecapi sambil memperlihatkan ekspresi bahagia, yang siapapun jika melihatnya akan ikut merasakan perasaan bahagia itu.

     Tok-Tok-Tok

     Terdengar suara ketukan pintu.

     Ia pun terkejut, seketika lamunannya buyar bagai diterpa angin. Karena ternyata suara ketukan itu berasal dari pintu kamarnya. Samar-samar, ia mendengar ada yang memanggil namanya.

     "Dek, Maing... Ayo makan dulu, bapak sudah menunggu dari tadi. Kau Kakak panggilkan berkali-kali, apa kau tidak mendengarnya?" Tanya orang tersebut, seorang perempuan dengan rambut panjang yang digelung asal.

     Oh, rupanya kakaknya. Lebih tepatnya kakak angkatnya yang ayahnya adopsi untuk menemani dirinya supaya tidak kesepian. Ia ternyata sedari tadi memanggil namanya, namun tak kunjung ia balas.  Memang akhir-akhir ini pikirannya sedang berkecamuk, dikarenakan banyak sekali distraksi yang datang dalam pikirannya. Seolah memerintahkan dia untuk memikirkan hal apapun, meskipun hal yang sebenarnya tidak harus dia pikirkan.

     "Oh iya, Kak. Maaf, aku tidak mendengar Kakak memanggil," sahutnya merasa bersalah.

     "Tidak apa-apa. Ayo cepat makan, nanti sehabis makan kita ngobrol ya. Mungkin, kau sedang butuh teman bicara ya?" Tanya kakaknya dengan senyuman manis dan pandangan yang meneduhkan.

     Seketika ia jadi rindu seseorang dengan paras cantik, yang tempo lalu ia lihat dari sebuah foto yang tampak usang. Melihat kakaknya, ia seperti melihat ibunya. Sangat mirip. Pasalnya, ibunya, Scholehah, telah pergi meninggalkan berbagai kenangan dihatinya. Meski belum sempat ia melihat wajah aslinya, namun ia tahu jika ibunya masih ada, mungkin ia akan secantik kakak angkatnya itu. 

Kini, ia hanya bisa melihat ibunya dalam sebuah foto dan pada mata kakaknya yang ibunya wariskan. Ya, mata milik ibunya di donorkan pada kakaknya Ismail, yang pada saat itu ternyata kakaknya tidak bisa melihat apapun. Ibunya pergi pulang pada pelukan sang Ilahi, menyusul kedua kakak laki-lakinya yang bahkan belum sempat ia temui, yakni Yusuf dan Yakup. Kini, menyisakan ayah dan kakak perempuannya, yakni  Siti Mustika yang terpaut usia sembilan tahun lebih tua dari dirinya dan ayahnya, Marzuki.

     "Ayo kak!!!" Sahutnya dengan semangat penuh keyakinan.

     Lalu, dua orang kakak beradik itu beranjak dari kamar si adik. Pergi ke dapur, menghampiri ayahnya yang rupanya tengah menunggu mereka untuk makan malam.

     "Selamat malam dua anak Bapak yang cantik dan yang tampan, ayo makan dulu. Bapak tadi sepulang kerja beli teman nasi untuk kita makan malam ini. Bapak jamin, kalian akan menyukainya. Pasti." Sambut ayah kedua anak tersebut dengan suara yang lembut, membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa terpana detik itu juga.

     Sedangkan di lain sisi, sang empu yang dipanggil terkekeh dan salah tingkah karena telah dipanggil seperti itu. Seakan ayahnya tengah menggoda mereka berdua.

     "Asikkk!!! Malam ini kita makan soto Nayla, yeayyy!!!" Seru si adik dengan bersemangat.

     Mendengar itu, sang kakak pun ikut berbinar kegirangan. Pasalnya, makanan tersebut merupakan makanan favorit keluarganya yang susah di dapatkan, karena saking larisnya jadi sering kehabisan duluan. Namun, hari ini mungkin Dewi Fortuna sedang ada di pihak keluarganya.

     Ya, ini adalah awal kisah dari perjuangan Ismail Marzuki dalam mengharumkan negara Indonesia lewat karya-karyanya yang abadi dan akan selalu dikenang sepanjang masa.

     Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia (Jakarta) pada 11 Mei 1914. Ia lebih dikenal dengan panggilan Maing. Dan ia merupakan anak dari keluarga keturunan Betawi.

     Ismail Marzuki dikenal memiliki bakat seni yang sulit dicari tandingannya, sosoknya pun sangat  mengagumkan. Ia merupakan anak dari pasangan Marzuki dan Solechah.

     Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Ayahnya, Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernafaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.

     Orang tua Ismail Marzuki yakni Marzuki dan Solechah termasuk golongan masyarakat Betawi intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma’ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik yang mengalir dalam diri ayahnya yang ternyata ada dalam dirinya juga.

     Hingga pada suatu saat, Ismail kedapatan tengah memainkan kecapi milik ayahnya. Seorang bocah yang diperkirakan usianya masih tergolong terlalu muda, mungkin usia Sekolah Dasar. Dia sudah bisa memainkan kecapi dan beberapa alat musik lainnya dengan piawai. Memang minat dan bakat bermusiknya turun dari ayahnya.

     Ayahnya berpenghasilan cukup, sehingga sanggup membeli piringan hitam dan Gramafon yang populer disebut “mesin ngomong” oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Dari situlah, Ismail Marzuki sangat bertekad untuk mendalami ilmu bermusiknya supaya kelak bisa seperti menjadi ayahnya atau bahkan mungkin lebih? tidak ada yang tahu.

     Kemudian, tiba saatnya Ismail Marzuki memasuki waktunya untuk sekolah. Ayahnya ternyata memiliki kejutan untuk dirinya, ia akan menyekolahkan anaknya itu di sebuah sekolah Kristen HIS Indenburg, Menteng.

     "Nak, tebak ya. Bapak punya kejutan apa untukmu?" Tanya ayahnya dengan menaik-naikan alis matanya, tak lupa dengan senyum manis yang merupakan ciri khasnya.

     "Apa, Pak? Maing tidak tahu, tapi sepertinya ini mengenai sekolah ya, Pak? Sepengetahuan Maing, harusnya tahun ini merupakan tahun pertama Maing sekolah. Betul bukan?" Jawab Maing dengan penuh keyakinan, ia mengatakannya dengan tegas dan lugas.

     "Aduh, anak Bapak pintar sekali. Tepat sekali tebakanmu, Nak. Dan berita yang paling menyenangkannya adalah, besok kau sudah bisa masuk sekolah. Hari pertamamu sekolah, pasti akan bertemu dengan teman-teman yang baik seperti dirimu, Nak. Bapak yakin kau akan menjadi kebanggaan sekolah. Dan sesuai dengan cita-cita yang sudah kau impikan sejak lama, Bapak yakin kau bisa menggapai mimpi itu. Maka dari itu, kau harus sekolah dengan baik ya!" Jawab ayahnya dengan tegas serta memberikan wejangan yang ternyata dapat mempengaruhi kehidupan Ismail Marzuki yang mungkin berpengaruh sampai ia menjadi sosok yang tak pernah ia duga.

     Hingga keesokan harinya, ia mulai masuk sekolah di antar oleh ayahnya,

     "Ingat ya, Nak. Bapak sudah menitipkan pesan-pesan Bapak padamu. Kau tidak boleh lupa, nanti pulangnya Bapak jemput ya," kata ayahnya dengan mengusap surainya, membuat sang empu yang diperlakukan seperti itu merasa nyaman.

     Ismail kecil mengangguk sambil tersenyum, ia lalu  memberi hormat pada ayahnya yang menandakan ia akan patuh pada perintah ayahnya.

     Lalu, keseharian Ismail kecil berputar pada kisah di sekolahnya. Hingga pada suatu saat ia memiliki 3 orang teman, bernama Karel, Arabella dan Jason.

     Sudah terhitung 2 tahun Ismail sekolah di HIS, ia pun pergi sendiri dan pulang sendiri. Namun, kadang sahabat-sahabatnya suka mengajaknya pergi dan pulang sekolah bersama. Tapi kerap kali Ismail menolak, alasannya karena tidak ingin merepotkan mereka. Karena, sahabat-sahabatnya itu seringkali di antar jemput oleh orang tuanya menaiki kendaraan pribadi mereka.

     Hingga pada suatu saat, tiba-tiba ayahnya Ismail datang ke sekolahnya. Padahal bel pulang sekolah saja belum berbunyi.

     "Benyamin, itu ayahmu bukan? mengapa dia datang ke sekolah? kau tidak bilang ayahmu akan menjemput, padahal tadinya kita ingin mengajakmu jalan-jalan sepulang sekolah." Ucap Karel dengan nada kecewa.

     Di sekolah, Ismail memang kerap kali di panggil Benyamin. Namun, dia tidak pernah menolak nama itu dan menerima saja. Karena menurutnya, namanya itu sangat bagus.

     "Nah, iya benar. Kami sudah merencanakannya dari kemarin." Ucap Arabella dan Jason berbarengan.

     "Aduh, aku tidak tahu. Bapak juga tidak bilang hari ini akan menjemputku, lagi pula bel pulang belum berbunyi. Ini masih jam istirahat, kawan." Jawab Ismail.

     "Ismail, Kau dipanggil Mrs. Belinda. Katanya, kau disuruh menghadapnya di ruang konsultasi." Panggil Mr. Hendrick pada Ismail dan menyampaikan tujuannya. Mr. Hendrick merupakan guru matematika di sekolah HIS. Dan Mrs. Belinda merupakan wali kelas kelasnya Ismail.

     "Oh, ada apakah gerangan? kenapa kau tiba-tiba dipanggil Mrs. Belinda, Benyamin?" Tanya Arabella khawatir.

     "Aku tidak tahu, tapi bentar ya. Aku harus segera ke ruangannya Mrs. Belinda." Jawab Ismail tergesa-gesa.

     Ismail jalan cepat, sambil memikirkan kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Jujur saja, ia sangat terkejut. Padahal, seingatnya dia tidak pernah melakukan kesalahan apapun selama sekolah. Mengapa tiba-tiba hari ini dia dipanggil? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan ayahnya yang datang hari ini? Memikirkannya saja mampu membuat kepala Ismail meledak detik itu juga. Lalu ia mempercepat langkahnya agar ia bisa tahu apa yang terjadi.

     Sampai di ruangannya Mrs. Belinda, Ismail melihat ada ayahnya yang duduk menghadap ke arah Mrs. Belinda. Jujur saja ia bingung, apa maksud dari semua ini? Mengapa ayahnya ada disini?

     Lalu, Mrs. Belinda mempersilahkan dirinya untuk duduk di kursi samping ayahnya Ismail, ia pun mengangguk patuh dan mendudukan dirinya di kursi tersebut.

     Setengah jam berlalu, kini ia tahu mengapa ayahnya ada disini dan mengapa dia dipanggil ke ruangan wali kelasnya. ternyata, dia akan keluar dari sekolah HIS karena pindah sekolah. Lebih tepatnya, ayahnya ingin ia pindah sekolah.

     "Pak, kenapa tiba-tiba? padahal Maing sudah nyaman sekolah disini, Maing disini punya sahabat yang baik sekali pada Maing. Maing tidak mau meninggalkan mereka." Ucap Ismail dengan nada kecewa.

     "Ini demi kebaikanmu, Nak. Bapak tidak mau kau memiliki sifat kebelanda-belandaan. Jika kau masih terus bersekolah disini, Bapak Khawatir kau akan memiliki sifat seperti itu. Bapak ingin kamu menjadi Ismail versi terbaik dengan berada di sekolah pilihan Bapak." Jawab ayahnya dengan nada meyakinkan.

     Dalam hati, Ismail memang tidak ingin pindah sekolah. Namun, apa boleh buat. Ia tidak akan pernah bisa menentang keinginan ayahnya itu, karisma ayahnya sangat mempengaruhi gerak-gerik pria tersebut. Membuat siapa saja yang diperintahkan olehnya akan mengiyakan saja tanpa berontak sepatah katapun. Itulah ajaibnya Marzuki, ayahnya Ismail.

     Sebelum pulang, Ismail berpamitan terlebih dahulu kepada beberapa guru di sekolah lamanya dan terutama kepada sahabat-sahabatnya. Jujur saja, berat sekali rasanya meninggalkan sekolah HIS itu, apalagi meninggalkan sahabat-sahabatnya yang telah menemaninya selama 2 tahun terakhir ini. Namun, seperti kata ayahnya, ini merupakan keputusan yang terbaik untuk Ismail.

     Beranjak dari sekolah lamanya itu, kini Ismail disekolahkan di Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Ternyata, disana ia juga mendapatkan sahabat yang sama baiknya seperti di sekolah lamanya. Diantaranya adalah Aiman, Umar, dan Kadafi.

     Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ismail Marzuki diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Dari sana, ia semakin memperdalam cintanya terhadap musik. Baginya, musik merupakan setengah nyawanya. Begitu cintanya ia terhadap musik. Bahkan masih berfokus pada musik, ia berlatih musik dan segala macam yang menyangkut tentang musik dengan konsisten, yakni 4-5 jam per hari.

     Ia tidak mengikuti kursus musik apapun, hanya mengandalkan keahliannya secara otodidak dalam mendalami ilmunya untuk bermusik. Ia hanya belajar di Sekolah Dasar, membahas musik, dan belajar secara rutin.  Fasih bahasa Inggris dan Belanda, itu malah mempermudahnya untuk mempelajari musik.

     Setelah lulus dari Madrasah Unwanul-Falah, Ismail Marzuki melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Menengah Pertama di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah bentukan Belanda. Disana, dia membentuk grup musik sendiri bernama D'Vacto. Di situ, dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland (genre musik Jazz) serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.

     Pada tahun 1931, tepatnya pada usia 17 tahun, Ismail Marzuki menciptakan lagu untuk pertama kalinya berjudul 'O Sarinah'. Ismail, digambarkan sebagai anak Betawi yang memiliki cinta dan kepedulian amat besar pada lingkungan sekitarnya, terutama kondisi Indonesia yang kala itu berada dalam situasi perjuangan mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.  Ia menciptakan lagu 'O Sarinah' sebagai simbol kehidupan masyarakat Indonesia yang tertindas di era penjajahan.

     Di sisi lain, lagu ini juga menjadi sebuah penghargaan pada kehidupan warga yang sederhana. Ismail menulis lagu tersebut dalam bahasa Belanda, dengan lirik sebagai berikut :


                         O Sarinah

Sarinah en kind uit de desa
(Sarinah anak desa)
Zij stampte haar padi tot bras
(Ia menumbuk padinya menjadi beras)
En zong daar bij en heel aardig liedje
(sambil menyanyikan lagu amat indah)
Voor kromo die lacht in het gras
(untuk si dia yang bersantai di atas rumput).

     Ismail Marzuki adalah seorang pejuang. Cintanya kepada Indonesia berkobar-kobar terus sepanjang masa.

     Setelah tamat MULO, Ismail Marzuki bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Sebegitu cintanya ia terhadap musik, sampai-sampai uang hasil ia bekerja pun masih ia tabung untuk membeli biola. Namun, setelah beberapa bulan ia bekerja menjadi kasir, ia rasa tidak cocok untuknya.

     Ia kemudian pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai Verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.

     Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Namun ternyata, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik. 

     Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ismail Marzuki banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi. Diantaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo).

     Lalu, pada saat itupun ia diajak untuk memasuki perkumpulan orkes musik Lief Java sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmoniun pompa. Dari situ, kemampuan alami Ismail dalam bermusik semakin terasah pada usia 20-an. Kala itu, ia semakin berlatih dengan kemampuannya dalam menulis lagu.

     Beginilah ajakannya,

     "Halo, Tuan Ismail Marzuki, betul?" Tanya salah satu pemain musik sekaligus penyanyi yang tergabung dalam perkumpulan orkes musik Lief Java.

     "I..iyaa.. betul!" Jawab Ismail dengan gugup, mungkin dia merasa mimpi bisa berkenalan dengan mereka.

     "Kami disini bermaksud untuk menawarkan Anda bergabung dalam perkumpulan orkes musik Lief Java, saya melihat Anda sangat kompeten dalam bermusik. Apalagi untuk lagu yang pertama Anda ciptakan. Saya sangat kagum." Ujar dia, orang yang tadi mengajak ismail untuk bergabung dalam perkumpulan orkes musik.

     Ismail mendadak panas dingin, saking terkejutnya. Karena ia tiba-tiba di ajak untuk bergabung dengan mereka yang sangat hebat. 

     Dia termenung, lalu tiba-tiba ada yang memanggilnya,

     "Halo? Apa Anda bisa mendengar saya, Tuan?" Tanya salah satu orang yang tergabung dalam orkes musik tadi.

     "Eh, iya. Tentu saja, dengan senang hati. Bergabung dengan kalian merupakan mimpi yang tidak pernah saya duga, terima kasih sudah percaya kepada saya." Jawab Ismail dengan tegas, seolah meyakinkan mereka kalau ia bersungguh-sungguh ingin mendalami musik bersama mereka.

     "Baiklah kalau begitu, selamat Anda telah bergabung bersama kami." Ujar mereka secara bersamaan, dengan memberikan senyum yang teramat bahagia. Begitu pula dengan Ismail.

     Pada tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ismail Marzuki mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian dia menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain 'Ali Baba Rumba', 'Ohle le di Kotaraja', dan 'Ya Aini'. Kala itu Ismail Marzuki tenar karena bernyanyi ketika siaran radio. Lief Java memang terkenal mampu membawakan lagu dengan apik dan digemari masyarakat Eropa di Batavia.

     Semasa aktif di NIROM, ia mendapatkan popularitasnya. Ia dikenal sebagai sosok penyiar dan penyanyi bersuara merdu namun memiliki selera humor yang baik.

     Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Java Islander.

     Namun, lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM. Sehingga, grup musik Ismail Marzuki mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya, walaupun mereka dengan tidak sopan melakukan hal tersebut.

     Kemudian pada periode 1936-1937, Ismail Marzuki mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, 'My Hula-hula Girl'. Kemudian lagu ciptaannya 'Bunga Mawar dari Mayangan' dan 'Duduk Termenung' dijadikan tema lagu untuk film 'Terang Bulan', sebuah film Hindia Belanda yang dirilis tahun 1937.

     Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu. Ismail pun hengkang dari NIROM dan bergabung dengan radio VORO itu.

     Tiap malam Minggu, orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ismail malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet.

     Karena Ismail sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu ketika ia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru.

     "Selamat Maing, kau kini telah tenar, kau sering muncul di radio. Aku selalu setia mendengarkan ocehanmu, haha. Kini, aku ingin memberikanmu sesuatu. Aku memiliki sebuah hadiah yang mungkin tidak seberapa, namun ku harap kau mau memainkannya untukku dengan alat itu." Ucap temannya, yang kala itu memberikan hadiah untuknya karena telah berhasil menjadi sosok yang sangat Ismail dambakan sedari kecil.

     Namun, beberapa saat kemudian temannya itu dikabarkan meninggal dunia di duga ia mengidap penyakit paru-paru. Entah penyakit paru-paru apa, namun sepertinya menular.

     Lalu, pada keesokan harinya ia konsultasi dengan dokter yang merawat temannya itu sekaligus dokter yang selalu ia datangi ketika sakit melanda. Dokter itu menjelaskan pada ismail,

     "Tuan, ini penyakit paru-paru yang bisa menular dari orang ke orang karena bakteri penyebab penyakit paru-paru ini dapat ditularkan." Ucap dokter yang sering ia datangi untuk berkonsultasi

     Seketika, ismail terkejut. Ternyata gejala-gejala yang ia alami selama ini merupakan tanda-tanda ia mengidap penyakit ganas tersebut.

     Kemudian, alat tiup yang temannya berikan tersebut ia musnahkan. Dan mulai saat itu pula, penyakit paru-paru mulai mengganggunya.

     Ketika Ismail Marzuki membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat.

     Pada periode ini, dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang diubahnya kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia.

     Kemudian pada suatu waktu, terlihat Ismail datang dalam acara perayaan orkes musiknya yang di Bandung dengan gayanya yang senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi, membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. 

     Rupanya hal itu berlaku pada seorang wanita cantik, diduga ia merupakan penyanyi keroncong yang juga sering tampil untuk menghibur orang-orang di orkes musik tersebut.

     "Eulis, Eulissss!!!!" Rika, temannya yang bernama Eulis itu memanggil dirinya berkali-kali hingga menaikkan suaranya sampai beberapa oktaf karena rupanya sang empu yang dipanggil tak kunjung menoleh kepadanya.

     Karena geram dengan temannya, Rika menepuk bahu Eulis dengan pelan supaya tidak menimbulkan kesan rasa sakit pada Eulis. Dan ajaibnya Eulis langsung menoleh, ia mengerjap kaget.

     ”Ai anjeun kunaon, Lis? titatadi disauran ku Rika teh ih, teu ngadangu sugan mah." ("Kamu kenapa, Lis? Dari tadi Rika panggil, tidak mendengar.") Tanya Rika kepada Eulis dengan nada kesal sambil mencebikkan bibirnya gemas.

     Kemudian sang empu yang ditanya pun terkekeh, kadang dia selalu merasa gemas menghadapi temannya yang satu ini.

     "Teu aya nanaon, Rika. Tadi Eulis nuju fokus nonton nu nyanyi dipayun, tingali geura. Enakeun ih, nu nyanyina oge meuni kasep. Pokonamah ganteng, hahahaha."  ("Tidak ada apa-apa, Rika. Tadi Eulis lagi fokus nonton yang nyanyi di depan, lihat. Enak banget, yang nyanyinya juga ganteng. Pokoknya ganteng, hahahaha.") Balas Eulis sambil tertawa, membuat siapapun yang melihatnya akan terpana.

     Manis. Itulah satu kata yang menggambarkan diri Eulis. Tak dapat disangka, karena di sisi lain ternyata pria yang akrab disapa Maing itu melakukan hal yang sama seperti yang Eulis lakukan tadi. Ketika dirinya tampil tadi, ia selalu hilang fokus. Namun, kini ia tahu rupanya wanita yang ia dengar memiliki nama Eulis itu melihat kepada dirinya. Dan ya, dia merasa sekarang seperti jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona yang ditampilkan oleh wanita yang memiliki nama panjang Eulis Zuraidah itu.

     Fokus memandang wajah cantik yang mungkin akan menjadi wanitanya itu, ia tidak mendengar panggilan Zahir, rekan di tempat orkes musiknya.

     "Hei, Ismail!" Sapanya

     Namun rupanya sang empu yang dipanggil tak kunjung membalas. Ah bukan membalas, menoleh saja tidak.

     "Ismail Marzuki!" Panggilnya sekali lagi dengan menaikkan nada suaranya beberapa oktaf. Ia juga memanggil namanya dengan memakai nama lengkap Ismail sambil menepuk bahu Ismail dengan sedikit keras.

     Lalu, sang empu yang dipanggil pun terlonjak kaget, karena dirasa tiba-tiba.

     "Apa, Hir? Kau mengagetkanku saja." Balas Ismail dengan mengerutkan wajahnya karena masih merasa bingung campur kaget.

     "Kau daritadi ku panggil, tidakkah kau mendengarku?" Tanya Zahir kembali, penasaran dengan apa yang membuat panggilannya itu tidak direspon.

     "Ah, maaf kawan. Aku tidak mendengarmu, karena disini berisik kali ya?" Jawab Ismail yang sepertinya ketahuan berbohong oleh Zahir.  

     Jujur saja Zahir tau apa yang Ismail pandangi daritadi hingga membuat Ismail hilang fokus saat tadi menampilkan beberapa lagu sebagai sambutan. Hanya saja, ia ingin tahu dari orangnya langsung. Tapi ternyata orang yang dituju tidak kunjung mengakuinya. Ia gemas.

     Karena Zahir gemas, akhirnya Zahir memberanikan diri,

     "Datangi wanita itu, Kau jangan diam saja disini. Kalau diam saja, mana dia tahu bahwa kau menyukainya. Lagi pula sepertinya dia menyukaimu juga hahaha. Daritadi, dia memandang ke arahmu terus. Ayo sana!!" Goda Zahir pada Ismail.

     Ismail pun melotot, dia terkejut. Darimana temannya itu tahu jika dirinya daritadi fokus terhadap satu wanita didepan sana, jujur saja dia malu.

     "Aku ternyata memang tidak pandai berbohong ya, Hir. Apalagi mengenai ekspresi, sepertinya aku menyukai wanita itu." Akunya pada Zahir dengan nada lugas.

     Tak sempat Zahir membalas, tiba-tiba temannya yang lain bilang jika besok mereka akan tampil lagi disini dengan lagu bebas. Terserah Ismail, karena apapun yang Ismail bawakan pasti lagunya indah dan enak didengarkan.

     Seperti mendapat sengatan dari berbagai arah, ismail mendapatkan ide. Dia meyakinkan dirinya bahwa hari esok adalah waktu yang pas untuk mengungkapkan perasaannya pasa Eulis Zuraidah. Dia berencana semalaman ini akan membuat syair khusus wanita cantik itu.

     Di langit yang gelap gulita, bulan bercahaya sendirian dengan menyorotkan cahayanya pada bumi seakan bumi sangat haus pada cahayanya itu. Seperti yang dilakukan Ismail sekarang, ia sedang duduk di ruangan khusus yang isinya beberapa koleksi alat musik miliknha ditemani dengan sebatang rokok dan secangkir kopi yang biasa menemaninya ketika sedang fokus menulis sebuah syair. Namun kali ini berbeda dengan sebelumnya, ada rasa yang menbuncah dan tak dapat digambarkan namun mampu membuat perutnya seperti di serang ribuan kupu-kupu yang beterbangan.

     Ya, dia membuat sebuah syair lagu untuk disampaikan pada wanita yang sukses membuatnya hilang fokus sekaligus jatuh cinta pada waktu yang bersamaan pada saat tampil di orkes musik tadi.

     Lalu pada keesokan harinya, tibalah pada malam hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh ismail. Sekali lagi, dia jatuh cinta pada pesona wanita cantik itu. Terlihat dia memakai kebaya warna merah juga lengkap dengan sarung coklat bermotif batik dan rambut panjang digelung dengan rapih. Sangat terlihat anggun dan menawan, mustahil Ismail tidak jatuh hati padanya.

Eulis Zuraida, istri Ismail Marzuki (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Eulis Zuraida, istri Ismail Marzuki (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

     Cantik. Itulah yang menggambarkan diri Eulis. Dia melihat ke depan sana, dimana ada seorang pria yang sedang bersiap-siap akan menyanyi. Namun tiba-tiba, dia sangat terkejut karena tiba-tiba namanya disebut oleh pria itu, ia bilang bahwa lagu ini ia persembahkan untuk dirinya, Eulis Zuraidah.

Panon Hideung
 (Mata Hitam)

Panon hideung
(Mata hitam)
Pipi koneng
(Pipi kuning)
Irung mancung
(Hidung mancung)
Putri Bandung
(Putri Bandung)
Putri saha
(Anak siapa)
Di mana bumina
(Dimana rumahnya)
Abdi reseup
(Aku suka)
Kaanjeunna
(Padanya)
Siang wengi
(Siang malam)
Kaimpi-impi
(Terbawa mimpi)
Hate Abdi
(Hatiku)
Sara redih
(Merasa sedih)
Teu emut dahar
(Lupa makan)
Teu emut nginum
 (Lupa minum)
Emut kanu geulis
 (Ingat pada si cantik)
Panon Hideung
(Mata hitam)



     

     Kurang lebih, begitulah lirik yang Ismail nyanyikan untuk Eulis. Lagu 'Panon Hideung' tadi Ismail ciptakan dengan maksud untuk mengungkapkan perasaannya pada seorang wanita cantik, yang ternyata mampu membuat sang maestro ini jatuh hati. Dengan lagu itu ternyata Eulis pun mengakui perasaannya kepada sang maestro tersebut dan memulai kisah kasih bersama di Kota Kembang, Bandung.

     Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi 'Panon Hideung'. Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu 'Als de orchideen bloeien'.

     Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul 'Bila Anggrek Mulai Berbunga'.

     Pada tahun yang sama pula, Ismail Marzuki menikahi penyanyi keroncong tersebut, Eulis Zuraidah. Dan pindah tinggal di kampung kelahirannya Ismail, Jakarta. Mereka juga di karuniai seorang anak perempuan yang cantik, sama cantiknya seperti ibunya, bernama Rachmi Aziah.

Ismail Marzuki dengan istrinya, Eulis Zuraida. (Arsip Taman Ismail Marzuki)
Ismail Marzuki dengan istrinya, Eulis Zuraida. (Arsip Taman Ismail Marzuki)

     Saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa.

      Saat itu Ismail Marzuki mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti 'Kalau Melati Mekar Setangkai', 'Kembang Rampai dari Bali' dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.

     Kemudian, Ismail Marzuki menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain 'Rayuan Pulau Kelapa', 'Bisikan Tanah Air', 'Gagah Perwira', dan 'Indonesia Tanah Pusaka'.

     Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ismail Marzuki sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar.

     “Permisi, Sir. Saya mencurigai Tuan Ismail Marzuki yang telah menciptakan beberapa syair lagu yang memiliki makna dan pesan tertentu, saya tidak mengerti. Namun, mungkin ada beberapa pesan pada para pejuang dari Indonesia. Ini...” Lapor kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu pada pihak Kenpetai sambil memperlihatkan tulisan dari beberapa bait syair yang telah dibuat oleh Ismail Marzuki.


     Hingga pada suatu saat, Ismail Marzuki kedatangan pihak Kenpetai. Ia di ancam telah merugikan pihak Jepang. Namun, perjuangan Ismail Marzuki ini tak gentar. Ia selanjutnya pada 1945 menciptakan lagu 'Selamat Jalan Pahlawan Muda'.

     Rasa nasionalisme Ismail Marzuki bukan hanya bermanifestasi dalam lagu-lagunya yang sebagian besar mendayu, melainkan juga dalam aksi dan pemikirannya. Dalam bentuk aksi, nasionalisme Ismail Marzuki terlihat kala dirinya 'berontak' pada perusahaan tempatnya bekerja, NIROM atau Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij.

     Pada akhir 1946, Belanda mengambil-alih Radio Republik Indonesia dan mengubahnya menjadi Radio Omroep in Overgangstijd (ROIO). Ismail yang kerap siaran di RRI pun dibujuk untuk ikut bergabung di ROIO. Namun Ismail menolak dengan keras permintaan tersebut. 

     “Tuan, Saya tahu sekali Anda sangat berkompeten dalam bermusik dan membuat syair lagu. Kali ini saya memberikan anda kesempatan untuk bergabung dengan kami, ROIO. Jika Anda tertarik, kami menawarkan gaji lebih tinggi daripada sebelumnya untuk Anda beserta mobil pribadi dan tunjangan lainnya yang mungkin Anda butuhkan.” Jelas pegawai Belanda yang bekerja di ROIO.

     “Mohon maaf sebelumnya, tapi saya tidak bisa. Terima kasih sudah menawarkan, saya lebih memilih tidak memiliki apa-apa daripada harus kembali pada jurang yang sama.” Jawab Ismail penuh dengan penekanan dan keyakinan.

     Setelahnya, Ismail membuat lagu berdasarkan sejumlah kejadian di masa-masa awal Indonesia, setelah Perang Dunia II, antara lain ‘Jauh di Mata di Hati Jangan’ (1947) dan ‘Halo-halo Bandung’ (1948) yang diambil dari peristiwa Bandung Lautan Api meletus pada 23 Maret 1946. Ada aksi pembakaran 200 ribu rumah penduduk Bandung agar kota itu tak dikuasai tentara Sekutu dan NICA. Ketika itu Ismail Marzuki dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah mereka di Jakarta kena dihantam peluru mortir.

     Hingga pada suatu hari,

     Kringgg... Kringgg... Kringgg... 

     Suara khas dari telepon rumah di kediaman Ismail Marzuki berbunyi. Kala itu, Ismail tinggal di Bandung Selatan.

     “Hiks... Hikss... H-ha-loo...” Terdengar suara perempuan yang tercekat di ujung telepon sana, sepertinya ia tengah menangis. Dan tepat, itu suara kakaknya, Siti Mustika.

     “Halo, Kak. Mengapa Kau menangis?” Tanyanya setenang mungkin, untuk memberi ruang pada kakaknya supaya menceritakannya dengan tenang.

     “M-maaf. Aku telat mengabarimu, aku takut akan mengganggu pekerjaanmu disana. Tapi kau harus tau, Bapak telah pergi meninggalkan kita lima hari yang lalu. Dia pergi menyusul Ibu dan kedua kakak kita. Sebaiknya kau pulang untuk sekadar ziarah ke makam Bapak, mungkin dia merindukanmu juga disana.” Ucap Siti menjelaskan dengan panjang lebar sembari sesenggukan.

     Deggg...

     Jantung Ismail seperti jatuh dari tempatnya, ia tidak menyangka akan ditinggalkan oleh ayahnya dalam keadaan seperti ini. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke kampung halamannya, dimana ia bisa mengunjungi makam ayahnya dengan membawa anak dan istrinya.

     Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya itu telah layu.

     Lalu seperti biasa, ia seperti mendapatkan sebuah ilham untuk menciptakan sebuah lagu yang berjudul ‘Gugur Bunga’. Rupanya lagu ini ia ciptakan untuk mengenang ayahnya yang telah tiada juga syarat akan makna yang mendalam tentang nasionalisme dan penghormatan terhadap jasa para pahlawan. Lagu ini dibuat untuk mengenang setiap pahlawan yang tumbang di medan perang selama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena pada waktu yang bersamaan  pula, banyak sekali berita yang bertebaran tentang banyaknya pahlawan Indonesia yang berjuang untuk Indonesia tapi pulang tinggal nama.

     Tak hanya itu saja, setelahnya ia pun banyak sekali menciptakan puluhan syair lagu guna menggambarkan berbagai perasaannya dan kehidupan di sekitarnya kala itu. Lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain ‘Ke Medan Jaya’, ‘Sepasang Mata Bola’, ‘Selendang Sutra’, ‘Melati di Tapal Batas Bekasi’, ‘Saputangan dari Bandung Selatan’, ‘Selamat Datang Pahlawan Muda’.

Koleksi partitur Ismail Marzuki yang didata TIM. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Koleksi partitur Ismail Marzuki yang didata TIM. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

     Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu ‘Tinggi Gunung Seribu Janji’, dan ‘Juwita Malam’.

     Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Yaitu syair ‘Oh Kopral Jono’ dan ‘Sersan Mayorku’.

     Siang malam Ismail menciptakan berbagai macam syair lagu diatas kertas menggunakan pena hitamnya dengan berbagai makna kehidupan sesuai dengan pandangannya yang dituangkan dalam kata-kata yang indah namun mudah dipahami.

     Memang sudah biasa, tiap malam hari bahkan sampai ia begadang demi mengeluarkan apa yang ingin ia ungkapkan sambil ditemani dengan secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Ia menulis syair lagu tersebut di sebuah ruangan khusus yang isinya terdapat berbagai macam alat musik koleksinya selama ini. Namun, secara tidak sadar ia sudah membuat penyakit yang ia derita selama ini malah membuatnya semakin parah. Ya, tepat. Penyakit paru-paru yang ia derita selama ini rupanya masih mengganggu dirinya.

     Semakin lama semakin ia berumur dan bertambah usia. Namun, itu semua tidak menghalanginya untuk pensiun dalam menciptakan karya-karyanya. Ia malah makin senang membuat syair lagu. Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu ‘Aryati’, ‘Oh Angin Sampaikan salamku'. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu ‘Irian Samba’ dan tahun 1957 lagu ‘Inikah Bahagia’.

     Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ismail Marzuki masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair. Karena genap pada usianya yang memasuki kepala empat di umur 44 tahun, ia pergi.

     Maing alias Ismail marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata untuk selama-lamanya. Meninggalkan kenangan yang teramat mendalam bagi keluarganya, terutama istri dan anaknya. Bahkan, negara tempat kelahirannya yang ia tinggalkan pun ikut berbela sungkawa, terasa sepi dan sesak seakan kehilangan separuh nyawanya.

     Namun sebulan sebelum ia kembali pada sang ilahi, Ismail mengungkapkan sesuatu pada istrinya.  Ternyata ia menyembunyikan di bawah kolong tempat tidur miliknya dan juga istrinya.

     Beginilah percakapannya,

     "Nanti kalau saya sudah tidak ada, saya menyimpan sesuatu di kolong tempat tidur," kata Ismail Marzuki kepada istrinya, Eulis Zuraidah.

     Ternyata ia menyimpan sebuah kotak berisi perhiasan, yang mungkin tujuannya untuk tambah-tambah kebutuhan harian anak dan istrinya.

     Tanpa disangka-sangka. Ternyata sebulan setelah Ismail menitipkan pesan tersebut, ia meninggalkan seluruh kenangan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. 

     Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Mei 1958 karena sakit paru-paru yang di deritanya selama ini. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat terakhir sebelum meninggalkan semuanya di pangkuan sang istri dan di hadapan anak semata wayangnya, Rachmi Aziah.

     "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah". 

     Ia telah kembali pada pelukan sang Ilahi untuk selama-lamanya...

     Selamat jalan Sang Legenda

             

Ismail Marzuki (https://amp.kompas.com/megapolitan/read/2021/11/11/06000021/ismail-marzuki-di-mata-putri-tunggalnya-bapak-pahlawan-musik-pahlawan)
Ismail Marzuki (https://amp.kompas.com/megapolitan/read/2021/11/11/06000021/ismail-marzuki-di-mata-putri-tunggalnya-bapak-pahlawan-musik-pahlawan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun