Hingga pada suatu saat, Ismail kedapatan tengah memainkan kecapi milik ayahnya. Seorang bocah yang diperkirakan usianya masih tergolong terlalu muda, mungkin usia Sekolah Dasar. Dia sudah bisa memainkan kecapi dan beberapa alat musik lainnya dengan piawai. Memang minat dan bakat bermusiknya turun dari ayahnya.
Ayahnya berpenghasilan cukup, sehingga sanggup membeli piringan hitam dan Gramafon yang populer disebut “mesin ngomong” oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Dari situlah, Ismail Marzuki sangat bertekad untuk mendalami ilmu bermusiknya supaya kelak bisa seperti menjadi ayahnya atau bahkan mungkin lebih? tidak ada yang tahu.
Kemudian, tiba saatnya Ismail Marzuki memasuki waktunya untuk sekolah. Ayahnya ternyata memiliki kejutan untuk dirinya, ia akan menyekolahkan anaknya itu di sebuah sekolah Kristen HIS Indenburg, Menteng.
"Nak, tebak ya. Bapak punya kejutan apa untukmu?" Tanya ayahnya dengan menaik-naikan alis matanya, tak lupa dengan senyum manis yang merupakan ciri khasnya.
"Apa, Pak? Maing tidak tahu, tapi sepertinya ini mengenai sekolah ya, Pak? Sepengetahuan Maing, harusnya tahun ini merupakan tahun pertama Maing sekolah. Betul bukan?" Jawab Maing dengan penuh keyakinan, ia mengatakannya dengan tegas dan lugas.
"Aduh, anak Bapak pintar sekali. Tepat sekali tebakanmu, Nak. Dan berita yang paling menyenangkannya adalah, besok kau sudah bisa masuk sekolah. Hari pertamamu sekolah, pasti akan bertemu dengan teman-teman yang baik seperti dirimu, Nak. Bapak yakin kau akan menjadi kebanggaan sekolah. Dan sesuai dengan cita-cita yang sudah kau impikan sejak lama, Bapak yakin kau bisa menggapai mimpi itu. Maka dari itu, kau harus sekolah dengan baik ya!" Jawab ayahnya dengan tegas serta memberikan wejangan yang ternyata dapat mempengaruhi kehidupan Ismail Marzuki yang mungkin berpengaruh sampai ia menjadi sosok yang tak pernah ia duga.
Hingga keesokan harinya, ia mulai masuk sekolah di antar oleh ayahnya,
"Ingat ya, Nak. Bapak sudah menitipkan pesan-pesan Bapak padamu. Kau tidak boleh lupa, nanti pulangnya Bapak jemput ya," kata ayahnya dengan mengusap surainya, membuat sang empu yang diperlakukan seperti itu merasa nyaman.
Ismail kecil mengangguk sambil tersenyum, ia lalu memberi hormat pada ayahnya yang menandakan ia akan patuh pada perintah ayahnya.
Lalu, keseharian Ismail kecil berputar pada kisah di sekolahnya. Hingga pada suatu saat ia memiliki 3 orang teman, bernama Karel, Arabella dan Jason.
Sudah terhitung 2 tahun Ismail sekolah di HIS, ia pun pergi sendiri dan pulang sendiri. Namun, kadang sahabat-sahabatnya suka mengajaknya pergi dan pulang sekolah bersama. Tapi kerap kali Ismail menolak, alasannya karena tidak ingin merepotkan mereka. Karena, sahabat-sahabatnya itu seringkali di antar jemput oleh orang tuanya menaiki kendaraan pribadi mereka.