Pukul 13.15. Stasiun Prujakan Cirebon.
Aris Kurnia, mahasiswa perguruan tinggi Yogyakarta, membetulkan tas punggungnya. Ia meloncat dari pintu kereta bisnis Fajar Utama yang telah membawanya selama sekira lima jam dari kota gudeg. Headset warna putih masih menempel di telinganya. Ketika kakinya mendekati pintu keluar kompleks stasiun ia melepas headset, kemudian menyimpan di saku jaketnya. Aris, nama pemuda itu, menyeberang jalan raya. Beberapa jenak kemudian ia telah duduk memesan soto.
Bagi dirinya, Majalengka dalam seminggu ini harus jadi miliknya. Dua hari yang lalu keponakannya mengirim SMS,
“Mang Aris, mo pinjem matras gulung u/ kemah jumbara.” Membaca kata kemah jumbara, pemuda itu tersenyum. Ada sesuatu dengan nama jumbara, jumpa bhakti gembira, yang menjadi trade markanak-anak Palang Merah Remaja (PMR) dalam melakukan perkemahan bersama yang diisi berbagai macam kegiatan kreativitas dan aneka lomba. Ya, satu kata dari keponakannya telah membawa keinginannya untuk segera kembali ke Majalengka. Kebetulan perkuliahan semester ketiga belum dimulai.
“Jumbara di mana?”
“SMP Cigasong!”
“Beres. Lusa , mamang pulang ke Majalengka kok!”
Adapun Jumbara sendiri bagi Aris, siswa SMP 11 Majalengka, menyimpan kenangan tersendiri. Di even yang keakraban dan kompetisi antar regu kegiatan ekstra PMR SMP se kabupaten Majalengka, ia mengenal Salsabila Jannah, gadis kecil dari SMP 13 Majalengka. Waktu itu dirinya mendadak terpana ketika regu putri SMP 13 Majalengka menyalipnya. Waktu hanya dalam hitungan empat sekon bertemu pandang. Aris merasa heran. Senyum gadis itu benar-benar memberi kesan yang aneh.
Sore hari Aris berniat membuat sejarah dalam hidupnya. Kesempatan ada. Ketika itu regu putri gadis baru tertahan hujan di jalur hiking, ia sudah siap dengan daun pisang. Ia ingin memberikan daun pisang itu. Berjalan perlahan sambil mengumpulkan keberanian, adalah sebuah perjuangan serius yang baru pernah ia alami. Namun apa mau dikata, rencananya buyar ketika gadis yang dituju menoleh ke arah dirinya.
“Eh sobat ... anak SMP 11 ya?” tanya gadis itu biasa. Justru Arislah yang gemetar bibirnya.
“Iiii.. iii.. iya....”
“Nah tuuh... makanya jangan hujan-hujanan. Mending berteduh di rumah penduduk tuh!”
“Iiiyaaa.. iyaaa... ke sana!” kata Aris smabil mengutuki diri sendiri dalam hati.
“Itu daun pisangnya pakai buat payung!”
“Iiii yaaa.... daun pisang ini sebenarnya ... untuk.... “
“Ya untuk payungan laaah!”
“Iya.”
“Aku duluan ya .... daaahhh!”
Aris sama sekali tak menyangka regu itu justru nekad berhujan-hujanan. Sambil melihat kepergian regu anak-anak putri SMP 13. Peduda kecil hanya bosa mendesah. Daun pisang di tangannya dilihat. Ia gemas. Daun pisang itu dirobek-robeknya. Belum puas sampai di situ, ia keluarkan belati. Tangkai daun pisang kemudian ia potong-potong kemudian ia lempar. Ia kesal sambil menjejak-jejakkan tanah. Untung teman-teman satu regunya tak ada yang melihat. Ia benar-benar tak bisa menciptakan sebuah sejarah baru : Memori Daun Pisang!
Ketika ia menjejak-jejak tanah becek berlumpur, sepatunya terkait kain yang basah dan kotor. Perlahan ia ambil benda itu. Ternyata setangan leher PMR warna biru. Aris mencari genangan air yang lebih banyak. Ia mencucinya. Matanya terbelalak. Di sana ada tertulis nama dengan bordiran benang emas.
“Salsabila .....” ia mengeja nama itu.
Mungkinkah itu nama gadis tadi? Pikirnya. Ia hanya berharap tipis. Namun menyimpan barang dengan nama yang jelas tentu akan mudah untuk dikembalikan. Serahkan ke panitia pasti akan diumumkan, pasti beres.
Pagi segar. Rumput basah. Matahari bersinar.
Hampir seluruh peserta Jumbara mengikuti senam pagi yang tenar di kalangan peserta dengan senam Chipong-chipong PMR. Sekira setengah jam kegiatan yang menyegarkan usai, peserta bubar.
Sementara itu di barisan paling belakang, Aris sama sekali tidak konsentrasi. Ia mengamati gadis yang sore kemarin bicara dengannya di tengah hujan. Ya, gadis itu sekarang tak mengenakan setangan leher PMR warna biru. Aris meraba setangan leher yang ada di sakunya. Masih agak lembab. Semalaman setelah bersih barang itu hanya digantung di dalam tenda dekat tempatnya tidur.
Dengan mengumpulkan keberanian, ia nekad apakah benar atau tidak ia memanggil orang yang dimaksud.
“Salsa!” teriaknya. Gadis yang dimaksud berhenti berjalan. Ia menoleh ke arah Aris. Aris tersenyum.
“Kamu memanggilku?” tanya gadis itu seraya mendekat. Dada Aris berdetak cepat. Tebakannya tampaknya benar.
“Aaa ... iiiy..iyaaa....”
“Kamu yang kemarin sore kedinginan ya?”
“Aaa... anu.... iya..”
“Heiii, sekarang habis senam kok kaya masih kedinginan. Ada apa?”
“Ada perlu. Booo.... boleh kita ke pinggir lapangan?”
“Oooo ada perlu. Boleh.. ayooo....”
Setelah keduanya minggir, Aris menata nafas. Gadis itu merengut dengan alis mata yang hampir bertemu lantaran berfikir akan apa yang dimaksudkan anak laki-laki yang baru dikenalnya itu.
“Iiini punyamu?” kata Aris seraya menyodorkan setangan leher.
“Kok punyaku?”
“Ada namamu .. tapi mungkin aku salah orang. Nama bordiran benang emas... Salsabila.”
“Oooo iya.... iyaaa.... ini.. bener ini punyaku. Hilang kemarin sore pas hiking. Kok kamu tahu namaku?”
“Menduga saja. Sebab kemarin ini aku temukan di bawah pohon... waktu kita ketemuan.”
“Iiih ketemuan!”
“Iya.. iya bukan, maksudnya ya itu. Ini kemarin kotor sekali, penuh lumpur. Sudah aku cuci, aku keringin, tapi belum kering bener.”
Gadis itu menerima setangan leher dari Aris. Ia mengamati beberapa saat.
“Terima kasih ya.”
“Namamu bener Salsabila?”
“Iya. Namamu?”
“Aris.”
“Dari SMP 11 ya?”
“Hehee... iya... “
“Eh, Ris kalau kita tukeran setangan leher gimana? Mau nggak?”
“Tukaran? Maksudnya yang punya Salsa untuk aku?”
“Ya punyamu untuk aku lah. Kan biasanya di acara penutupan juga ada acara gituan! Itung-itung ini mendahului. Oke?”
“Bener Salsa?”
“Niiih.... terima kasih sudah dicucikan. Simpan ya!”
Tak terkira bahagia hati menerima pemberian Salsabila. Ia pun sangat senang ketika gadis itu dengan senyum mengembang mengibas-ngibaskan setangan leher PMR miliknya.
“Oh ya Sal, ntar SMA mau masuk ke mana?”
“SMA 1 laaah!”
“Sama dong! Kita bersaing mau?”
“Dalam hal?”
“Ranking dooong!”
“Janji di kelas X, kalau pas kenaikan kelas rangking kamu di bawah aku, setangan leher itu aku minta balik!” tantang gadis itu dengan yakin.
“Ooooh nggak.... nggak bakalan! Setangan leher ini bakal tetap jadi milikku!” kata Aris yakin.
“Ayo, siapa takut!”
Kring! Kriing! Kriiing!
Aris berhenyak. HP-nya berdering. Lamunannya tentang Jumbara, tentang Salsabila terhenti. Ia hentikan makan sotonya. Ia melihat siapa yang menelepon. Ternyata Rafiq, sepupunya.
“Ada apa Bang Rafiq?”
“Nyampai mana kamu?”
“Cirebon! Mau bikin acara besok?”
“Haiyalah, kebetulan gang kita ngumpul besok. Sayang, Nanda nggak bisa hadir. Tahu acaranya kemana nggak?”
“Nggak. Tapi palingan nonton kemah Jumbara di lapangan SMP Cigasong!”
“Jiaaaahhh...... Jumbara lagi, Jumbara lagi ........... hapus kenangan lama Ris! Move on!”
“Wah kacau kamu Bang! Acara kita di almamater!”
“Smansa? Hahaaa! Itu pasti.... “
Aris sangat senang, reuni kecil di Smansa pasti ada sahabat-sahabatnya, Rafiq, Taufik, Luthfi, Tiryadi dan Nanda. Itu gank Dhuha. Satu kelompok unik yang selalu melaksanakan shalat dhuha bareng setiap istirahat di masjid sekolah.
***
Hari minggu. Pukul 09.30.
Di bangku pinggir lapangan basket Aris duduk sendirian. Androidnya dilihat. Tak ada tanda-tanda keempat temannya yang janjian datang. Tidak biasanya gank-nya berlaku demikian. Mungkin setelah hampir dua tahun semenjak lulus SMA mereka telah berubah, tak mengedepankan pemenuhan janji.
Taman sekolah, termasuk taman-taman di depan kelasnya sudah mengalami perubahan cukup banyak. Perlahan pandangan matanya menyusuri taman di depan kelas Salsabila. Ia membayangkan gadis itu sedang berjalan di sana, duduk di depan kelas, becanda di depan kelas.
“Sal.... Salsa!”
“Kamu Aris kan?”
“Bukan, ini halusnya!”
“Norak ah!”
“Kamu yang norak, sudah tahu ini aku, eh kok malah nanya.”
“Maksudnya sekarang kok beda.”
“Tambah item ya?”
“Nggak! Tambah ganteng! Hihihi....”
“Aduh Salsaaaaaa...... aku melayang.... mana tiang..... tiang buat pegangan!” kata Aris sambil berlagak sempoyongan.
“Norak! Dikatain ganteng gitu saja melayang!”
“Salaman dulu!” kata Aris sambil mengulurkan tangan.
“Nggak! Nggak mau!”
“Kenapa?”
“Kan kita dulu janjian, kita akan salaman ketika salah satu dari kita wisuda sarjana!”
“Haduuuuh Salsaaaa.... lama banget!”
“Memang kenapa?”
“Pingin Saaal. Bentar saja, sepuluh detik!”
“Nggaaaak!”
“Pelit!”
“Yey, yang janji dulu siapa? Kamu kan?”
“Janji kan bisa dicabut!”
“Bukan dicabut, itu namanya ingkar.”
Hampir mendekati waktu lohor teman lainnya tak ada yang datang. Lingkungan sekolah di hari Minggu tak terlalu ramai. Hanya ada hingar bungar di lapangan basket depan. Di ruang lobby, lingkungan aula, graha OSIS tampak lengang. Hanya ada beberapa siswa yang bergerombol di beberapa tempat.
Beberapa saat keduanya ngobrol banyak hal, kini Aris mencoba bertanya yang lebih serius. Ini ia tanyakan karena menyangkut dirinya.
“Sal, masih ingat waktu kenaikan kelas X dulu nggak?”
“Yang mana? Kelas MIPA 2 atau MIPA 6?”
“Dua-duanya.”
“Apanya yang diingat.”
“Ini..... “ kata Aris sambil membuka jaketnya sedikit. Di saku banyunya menyembul kain warna biru. Melihat itu Salsabila tersenyum. Aris suka.
“Kau selalu membawa benda itu.”
“Karena ini hasil perjuangan. Dulu pas kenaikan, aku berhasil peringkat kedua.”
“Iya... iyaa.... bilang saja aku kacau, hanya peringkat keempat!”
“Kamu sengaja nurunin peringkat ya Sal? Biar aku menang? Biar aku tetap nyimpan setangan leher punyamu?”
“Uuuuuuhh..... norak! Nggak! Nggak lucu!” kata Salsabila sambil tertawa.
“Tapi gimana kabar Aji sekarang?”
“Aaaahhh..... Ajiiiii ................. nggak usah dibahas lah!” kata Salsabila setengah mengeluh.
“Mengapa? Bukankah ia sahabat karibmu selama di SMA?”
“Iya siih. Masalah buatmu?”
“Nggak sih .... sampai sekarang masih belanjut?”
“Iya laaahh.... “
“Emmm nggak sih. Ehh nganu, iya ya? Kenapa aku tanya begitu ya?”
“Ya nggak tahu laahh...!”
“Tapi Sal, masih diijinkan nggak aku tetap menyimpan setangan leher ini?”
“Boleh. Kenapa tidak? Memang kamu suka ya Ris?”
“Suka.”
“Suka saja, atau suka banget?”
“Melebihi yang kamu tanyakan Sal. Hanya sayang ... sayang sekali ....”
“Sayang kenapa Ris?”
“Enggak, nggak apa-apa. Sayang sekali besok aku nggak bisa nonton suasana Jumbara di Cigasong. Padahal aku ingin banget merasakan sensasi Jumbara tahun 2012. Pingin dengar musik senam Chipong-chipong .... aku besok harus berangkat lagi ke Yogya.”
“Aku ikuuuut......” recara reflek Salsa berteriak. Aris kaget. Namun ia tersenyum.
“Boleh.”
“Apa boleh? Hey tadi aku ngomong apa sih?” kata Salsabila sambil menepuk bibir sendiri.
“Kau bilang mau ikut aku ke Yogya!”
“Hadeuuuh .... salah ngomong Ris.”
“Terima kasih Sal. Respon pertama menunjukkan rasa dan pikiran pertama.”
“Aaah... kamu apaan sih!” kata Salsabila dengan muka merah.
Kring! Kring! Krrring!
Keduanya kaget ketika HP Aris berdering. Rafiq memanggil. Aris menjauh dari Salsabila. Selintas ia melihat Salsabila juga sedang menerima telepon. Beberapa saat kemudian keduanya saling mendekat lagi.
“Sal maaf, aku ditunggu Rafiq dan lainnya di rumah makan Nera.”
“Hah? Ini, ini Ade sama Stevi juga manggil aku ditunggu di Nera.”
Benar juga, ketika keduanya sampai di Nera, di situ telah menunggu gank-nya Rafiq dan gank-nya Salsa. Keduanya baru sadar, bahwa mereka berdua telah dikerjai teman-temannya. Salsa dan Aris berpandangan.
***
Dua tahun berikutnya.
“Aris, Senin depan aku wisuda.”
Aris mendesah. SMS dari Salsabila ia baca lagi. Ia tak berani menjawab. Bingung. Mau mengucapkan selamat, itu sangat standar. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ingin rasanya ia menelepon, tapi ia takut Aji ada di dekatnya.
Sebentar lagi wisuda Salsabila meraih gelar sarjana. Bagi Aris, sebenarnya hari itu merupakan momen yang sangat bagus untuk hadir. Namun ia tahu diri. Sejak pertemuan terakhir di rumah makan Nera, dirinya dan Salsabila hampir tak pernah kontak. Hanya sesekali. Itupun tak intens. Tak ada hal-hal yang patut dicatat sebagai sejarah. Sebenarnya dirinya sangat mengharapkan lebih dari sekedar menanyakan bagaimana kabarnya.
Aji, yang pernah ia tanyakan kepada Salsa, tampaknya halangan yang kokoh baginya untuk memulai babak baru dalam mengenal lebih jauh gadis itu. Ia tidak tahu mengapa ia selalu merasa dekat dengan gadis itu, padahal ia tahu sejak kelas XI SMA hingga tahun ketiga masa kuliah Aji dan Salsa masih bersama.
“Kau mau datang nggak?”
SMS keduapun tak ia respon. Ia membayangkan betapa jika di acara wisuda ia hanya akan menyaksikan Salsabila bersanding bareng dengan Aji. Aris mendesah. Pemuda itu mengambil setangan leher kenangan berbordir nama Salsabila. Benda itulah yang ia jadikan pengganti Salsa, walaupun ia tidak tahu bagaimana sikap gadis itu sebenarnya.
Aku nggak akan datang ...... gumam Aris akhirnya memutuskan. Pemuda itu rebahan. Plafon kamar kost-nya penuh dengan bayangan Salsabila. Bayangan gadis itu wisuda dengan penuh kebahagiaan bersama Aji. Kadang dalam hitungan seperempat detik, ia membayangkan dirinya menjadi Aji. Namun bayangan itu kemudian buyar. Ia membayangkan dirinya tertegun sendirian di auditorium wisuda, tanpa ada yang mempedulikan.
Ting, ting,ting!
Aris mendesah. SMS dari Salsabila datang lagi.
“Ris, aku tahu kamu masih belum tidur. Jawab dong SMS-ku. Apa kamu ingin malam ini aku nangis?”
Aris tertegun. Ia tidak menyangka bakal ada kalimat terakhir semacam itu. Menangis? Untuk apa? Salsa...... gumamnya. Akhirnya dengan berat hati pemuda itu menulis SMS juga.
“Jangan menangis Selsa .... Aris akan datang.”
“Terima kasih Ariiiis. Boleh aku nelpon?”
“Nggak usah Salsa.”
***
Hari H. Salsa tentu tampil dengan toga yang kharismatik.
Aris berjalan menyusup di antara ribuan wisudawan dan keluarga pengantar yang hadir. Ia tidak tahu di mana Salsa. Ia naik ke atas balkon. Melihat deretan-deretan calon wisudawan. Sepanjang prosesi wisuda, hati Aris hampa. Sesekali ia melihat di kelompok fakultas MIPA. Di sana tentu ada Salsa. Tapi tak ada ciri. Dan memang ia tak ingin tahu di mana gadis itu berada. Apalagi setelah SMS minggu lalu tak ada kontak dari Salsa. Dan dirinya juga sadar, ia tak mungkin mendahuli menanyakan sembarang hal kepada gadis itu. Sekarang di posisi Salsabila banyak orang yang peduli. Keluarganya, dan Aji tentunya. Aris? Dia hanya merasa sebagai manusia yang terpinggirkan.
Acara selesai.
Wisudawan keluar ruangan. Kini halaman auditorium hingar bingar. Di mana-mana para wisudawan dan keluarga, pacar atau calon suami atau istri larut dalam suasana gembira. Mereka saling mengabadikan dengan berfoto bersama.
Kring! Kring!Kriing!
Aris tersentak. Hpnya berdering. Salsa! Gumamnya.
“Iya Salsa ... selamat yaaa.....”
“Aris kamu di mana? Cepat ke sini. Tepat di barat tiang berdera depan auditorium!”
Aris menengok ke arah yang dimaksud. Tempat itu tidak terlalu jauh. Ia berlari-lari kecil menuju ke sana. Kamera yang dicangklong disiapkan. Ia akhirnya nekad akan mengabadikan apa saja tentang Salsa.
Langkah Aris terhenti. Di dekat kelompok keluarga Salsabila, ia melihat Aji. Aris mendesah. Ia melihat pemuda itu mendekati dirinya.
“Ariiis! Kemana saja kamu menghilang ah! Hampir empat tahun!” kata Aji sambil menjabat tangan Aris.
“Hehe... iya Ji, gimana kabarnya?”
“Baik. Kita ngobrolnya nanti saja, itu Salsa sejak tadi pagi menunggumu. Kamu ngumpet di mana sih?” kata Aji sambil menyeret tangan Aris.
Aris menyalami keluarga Salsabila. Orang tuanya, dan juga Nurul, adik Salsa. Usai bersalaman Aris minggir.
“Ariiis... sini! Ini wisudaku!” teriak Salsa melambaikan tangan. Aris tehenyak. Ia mendekat.
“Selamat Salsa. Semoga ilmumu bermanfaat....”
“Terima kasih Aris.” Kata Selsa sambil mengulurkan tangan. Yang melihat heran. Biasanya yang menyalami dulu adalah yang memberi selamat.
“Aaah... Salsa.... iiya.... ini saat wisuda.” mengingat sesuatu Aris tegopoh-gopoh menerima uluran tangan gadis itu.
“Ssst... ingat permintaanmu! Sepuluh detik!”
“Iya... terima kasih.” telapak tangan Aris gemetar menggenggam tangan Salsa yang lembut. Bulu-bulu halus di lengan hingga di tengkuknya meremang semua. Ia marasakan sebuah kebahagiaan yang tiada tara.
Menjabat tangan Salsabisa terulang kembali setelah enam tahun lalu. Dulu memang ia berjanji , memulai dulua, itupun hanya bercanda kepada Salsa, bahwa dirinya tak akan menjabat tangannya dalam suasana apapaun hingga salah satunya wisuda sarjana.
Setelah menyalami Salsa, Aris berdiri mematung. Aji datang. Pundak Aris dipegang. Pemuda itu mendorongnya lebih dekat ke arah Salsabila. Aris memerah mukanya. Rupanya Salsabila memahami apa yang dipikirkan Aris. Gadis itu meminta kamera yang dicangklong Aris.
“Ayah di kanan, terus Aji, didampingi Nurul, terus Ibu!”
Keempat orang iru menuruti perintah Salsabila. Dengan cekatan gadis bertoga itu mengambil gambar mereka berempat beberapa kali.
“Terakhir, berdua saja! Aji dan Nurul! Nurul pakai topi sarjanaku! Niih!”
“Oke Kaaak!” kata Nurul memenuhi permintaan Salsa.
“Naaah gitu, calon pengantin harus nurut sama yang tua! Hihihi!”
Mendengar teriakan Salsa seperti itu, bagai tersekat tenggorokan Aris. Calon pengantin? Jantung Aris berdetak cepat. Dalam waktu yang sangat singkat, ia melihat beberapa kenyataan yang sama sekali tak pernah terlointas dalam pikirannya.
Aris masih belum menyadari. Hari itu ia berfoto berdua bersama Salsabila. Berfoto bersama dengan orang tua Salsa, juga berempat dengan Aji dan Nurul. Setelah dirasa cukup, keluarga merencanakan akan merayakan wisuda Salsabila di sebuah rumah makan. Namun tidak bagi Aris, ia meminta Salsa ke bangku taman.
“Salsa.... hari ini aku bermimpi! Ini mimpi Salsa!” kata Aris dengan pandangan tegang.
“Ris, hari ini tunai sudah janjiku. Sebenarnya aku selalu mengungat janjimu. Dan kamu termasuk orang yang konsekuen pada janji Ris. Yaah walau hampir gagal!"
"Kapan?"
"Dulu di hari Minggu, di Smansa, sebelum ke Nera!"
"Oo iya."
"Kita baru merasakan bersalaman sejak kita SMA kelas X.”
“Iya Salsa, tapi aku mau tahu tentang Aji? Apa maksudnya?”
“Aji calon suami Nurul. Ia bahkan akan menikah, sebentar lagi, yaa, berkeluarga sambil kuliah.”
“Aji?”
“Iya Aji. Sejauh mana kamu mengenal Aji Ris?”
“Hampir tidak mengenal, yang aku tahu ia sahabat karibmu.”
“Dari SMA tentu ia karib denganku, dia memang naksir adikku sejak SMA. Dan aku kakaknya setuju.”
“Jadi?”
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan Ris.”
“Salsa.... Salsa..... bangunkan aku dari mimpi ini Salsaaa....”
“Istighfar Ris, gank dhuha harus yakin bahwa ini kenyataan. Ini bukan mimpi.”
“Benarkah Salsa.”
“Berikan setangan leher PMRku.” pinta Salsa tiba-tiba.
“Memang aku membawanya?”
“Aku selalu yakin kamu akan selalu membawa benda milikku itu. Aku yakin. ”
Perlahan Aris mendesah. Ia mengeluarkan setangan leher warna biru. Ia menyerahkan barang itu kepada pemiliknya. Barang itu diterima Salsa sebentar. Namun gadis itu menyodorkan kembali kepada Aris.
“Kalau Aris suka simpanlah.....”
“Aku menyukai lebih dari yang kamu pikirkan Salsa.....”
“Terima kasih Ris ...”
Hari itu hati Aris mencair. Banyak hal yang tak pernah terfikir sebelumnya ia rasakan hari ini.
“Ris, bolehkah hari ini aku memberimu sebuah kejutan?”
“Hari ini bagi aku semuanya adalah kejutan Sal, mau kejutan apalagi?”
“Ini nadzar ....”
“Astaghfirullah.. terlalu tinggi Salsa.”
“Aku pernah punya nadzar Ris .... “
“Apa sih? Ini menyangkut aku?”
“Ya iya laah... kan aku sedang bicara dengan kamu.”
“Ah Salsa..... suka bikin aku melayang saja. Memang siapa Aris itu?”
“Aris adalah sahabatku, tetapi tidak seperti sahabat. Mau dilupakan tapi susah dilupakan. Sahabat semu yang tak pernah berbicara, apalagi saat kita masing-masing kuliah. Hanya sepuluh persen dari waktu yang disempatkan untuk kontak. Selebihnya tak tahulah....”
“Salsa.... sudahlah... ayo katakan nadzarmu.”
“Aku punya nadzar ... kalau aku wisuda, aku akan .... aaakaan.....” Salsabila terhenti bicara. Ia memandang Aris. Aris semakin penasaran.
“Salsa .... apa...”
“Aku... aku... akan.... aaah Ariiiis... maluuuuu! Nggak jadiiii...”
“Salsa.... ayolaahh... aku nggak apa-apa.”
“Kak Ariisss.....”
“Apa Salsa?”
“Maluuu...... itu nadzarku .... kalau wisuda aku mau panggil Aris dengan tambahan Kak! Boleh ya Kak?”
Aris diam. Ia pandangi Salsabila yang masih memandangnya meminta ijin. Tak dengan serta merta pemuda memberikan jawaban.
“Salsa, boleh aku potret kamu?” kata Aris mengalihkan perhatian dengan menyiapkan kamera.
“Buat apa?”
“Untuk melengkapi kebahagiaanku dipanggil Kak oleh Salsa....”
“Jadi boleh aku panggil Kak?”
“Lebih dari apa yang Salsa inginkan ....”
“Oooh terima kasih Kak Aris... lucu ya... Kak Aris... hihi.....”
“Salsa ngadep kamera dong. Close up ya?”
“Malu.”
“Kenapa malu? Salsa kan ....kan.....”
Cekrek! Tanpa menunggu jawaban Salsabila, Aris menakan tombol ambil gambar. Beberapa saat kemudian kamera ia sodorkan ke Salasa.
“Masya Allaaah.......” gumam Aris.
“Apa Kak?”
“94!”
“Apa?”
“Cantiknya.”
Merah muka Salsabila. Aris sendiri seolah kaget dengan ucapan sanjungannya. Salsa yang cantik. Dari dulu ia memang memuji demikian. Namun tak pernah terucap. Dan itu semua hampir tenggelam ketika ia tahu Salsabila akrab dengan Aji selama SMA.
Ting! Ting! Ting.
Dari dalam tas Salsa terdengan HP berbunyi. Dengan terburu-buru gadis itu membuka tasnya. Ia mencari-cari HP. Ketika tangannya menarik HP ada barang yang ikut terkait. Barang itu jatuh.
“Aaah..... ahhh...... “ Salsa berteriak. Aris melihat.
“Salsa........ “
Dengan tergopoh-gopoh gadis itu mengambil barang yang jatuh. Setangan leher PMR, barang yang ditukar dengan miliknya ketika Jumbara di SMP.
“Mmmm maaf.... malu....maluu......”
“Kamu membawanya Salsa?”
Belum sempat menjawab, dari jauh ayah Salsa memanggil agar segera bergabung. Keduanya berjalan. Gadis itu memberi isyarat mengiyakan. Akhirnya kedua berjalan meninggalkan bangku taman.
“Hari ini aku bahagia banget Salsa.... Salsabila....”
Salsa menoleh sekilas sambil tersenyum. Itulah senyum yang ia mimpikan selama ini.***
Majalengka, 27 Mei 2016
*Request Aris Kurniawan Wijaya – Alumnus Gres XII MIPA 6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H