“Jangan menangis Selsa .... Aris akan datang.”
“Terima kasih Ariiiis. Boleh aku nelpon?”
“Nggak usah Salsa.”
***
Hari H. Salsa tentu tampil dengan toga yang kharismatik.
Aris berjalan menyusup di antara ribuan wisudawan dan keluarga pengantar yang hadir. Ia tidak tahu di mana Salsa. Ia naik ke atas balkon. Melihat deretan-deretan calon wisudawan. Sepanjang prosesi wisuda, hati Aris hampa. Sesekali ia melihat di kelompok fakultas MIPA. Di sana tentu ada Salsa. Tapi tak ada ciri. Dan memang ia tak ingin tahu di mana gadis itu berada. Apalagi setelah SMS minggu lalu tak ada kontak dari Salsa. Dan dirinya juga sadar, ia tak mungkin mendahuli menanyakan sembarang hal kepada gadis itu. Sekarang di posisi Salsabila banyak orang yang peduli. Keluarganya, dan Aji tentunya. Aris? Dia hanya merasa sebagai manusia yang terpinggirkan.
Acara selesai.
Wisudawan keluar ruangan. Kini halaman auditorium hingar bingar. Di mana-mana para wisudawan dan keluarga, pacar atau calon suami atau istri larut dalam suasana gembira. Mereka saling mengabadikan dengan berfoto bersama.
Kring! Kring!Kriing!
Aris tersentak. Hpnya berdering. Salsa! Gumamnya.
“Iya Salsa ... selamat yaaa.....”