“Aris adalah sahabatku, tetapi tidak seperti sahabat. Mau dilupakan tapi susah dilupakan. Sahabat semu yang tak pernah berbicara, apalagi saat kita masing-masing kuliah. Hanya sepuluh persen dari waktu yang disempatkan untuk kontak. Selebihnya tak tahulah....”
“Salsa.... sudahlah... ayo katakan nadzarmu.”
“Aku punya nadzar ... kalau aku wisuda, aku akan .... aaakaan.....” Salsabila terhenti bicara. Ia memandang Aris. Aris semakin penasaran.
“Salsa .... apa...”
“Aku... aku... akan.... aaah Ariiiis... maluuuuu! Nggak jadiiii...”
“Salsa.... ayolaahh... aku nggak apa-apa.”
“Kak Ariisss.....”
“Apa Salsa?”
“Maluuu...... itu nadzarku .... kalau wisuda aku mau panggil Aris dengan tambahan Kak! Boleh ya Kak?”
Aris diam. Ia pandangi Salsabila yang masih memandangnya meminta ijin. Tak dengan serta merta pemuda memberikan jawaban.
“Salsa, boleh aku potret kamu?” kata Aris mengalihkan perhatian dengan menyiapkan kamera.