“Ssst... ingat permintaanmu! Sepuluh detik!”
“Iya... terima kasih.” telapak tangan Aris gemetar menggenggam tangan Salsa yang lembut. Bulu-bulu halus di lengan hingga di tengkuknya meremang semua. Ia marasakan sebuah kebahagiaan yang tiada tara.
Menjabat tangan Salsabisa terulang kembali setelah enam tahun lalu. Dulu memang ia berjanji , memulai dulua, itupun hanya bercanda kepada Salsa, bahwa dirinya tak akan menjabat tangannya dalam suasana apapaun hingga salah satunya wisuda sarjana.
Setelah menyalami Salsa, Aris berdiri mematung. Aji datang. Pundak Aris dipegang. Pemuda itu mendorongnya lebih dekat ke arah Salsabila. Aris memerah mukanya. Rupanya Salsabila memahami apa yang dipikirkan Aris. Gadis itu meminta kamera yang dicangklong Aris.
“Ayah di kanan, terus Aji, didampingi Nurul, terus Ibu!”
Keempat orang iru menuruti perintah Salsabila. Dengan cekatan gadis bertoga itu mengambil gambar mereka berempat beberapa kali.
“Terakhir, berdua saja! Aji dan Nurul! Nurul pakai topi sarjanaku! Niih!”
“Oke Kaaak!” kata Nurul memenuhi permintaan Salsa.
“Naaah gitu, calon pengantin harus nurut sama yang tua! Hihihi!”
Mendengar teriakan Salsa seperti itu, bagai tersekat tenggorokan Aris. Calon pengantin? Jantung Aris berdetak cepat. Dalam waktu yang sangat singkat, ia melihat beberapa kenyataan yang sama sekali tak pernah terlointas dalam pikirannya.
Aris masih belum menyadari. Hari itu ia berfoto berdua bersama Salsabila. Berfoto bersama dengan orang tua Salsa, juga berempat dengan Aji dan Nurul. Setelah dirasa cukup, keluarga merencanakan akan merayakan wisuda Salsabila di sebuah rumah makan. Namun tidak bagi Aris, ia meminta Salsa ke bangku taman.