"Boleh. Tapi, kayak burung aja pake dilepas segala?"
Kami berdua terkekeh.
Namun esoknya di hari Minggu, gue malah terbangun pukul 09.20. Setelah ngulet dan diam sebentar buat ngumpulin nyawa, mata gue melotot begitu mendapati jam yang sudah menunjukan pukul sembilan lewat. Sontak gue langsung panik kayak maling kutang yang keciduk warga setempat. Gue turun dari atas kasur, ngacir ke kamar mandi buat cuci muka asal-asalan, lalu gue pergi ke rumah Ardan, berharap gue masih bisa ketemu dengannya untuk yang terakhir kali. Namun gue kecewa begitu sampai di rumahnya, ternyata rumah itu sudah kosong melompong. Gue pun bengong, kemudian balik ke rumah seraya larut dalam rasa kekecewaan.
"Kenapa kamu bangun tidur murung gitu? Abis mimpi buruk?" tanya Nyokap ketika mendapati gue duduk di ruang tamu, melipat muka sejelek mungkin.
"Aku telat ke rumah Ardan, Ma. Padahal kemaren janji mao ngucapin selamat tinggal buat yang terakhir kali."
"Ooooh ... si Sarang Tawon? Tadi dia ke sini, kok, jam setengah delapan pagi."
"Ardan ke sini?! Jam setengah lapan?"
"Iya, nyariin kamu. Tapi kamunya masih tidur."
"Kenapa Mama nggak bangunin aku?"
"Dia yang minta. Katanya nggak usah bangunin kamu."
"Terus, ngapain dia ke sini?"