"Tenang, Nek, tenang! Aku tau kok cara turunnya."
"Bukan gitu! Nanti kalo kamu jatoh gimana? Kepala kamu bisa kebentur, Nak! Nanti kamu jadi tolol seumur hidup!"
"Tanggung, Nek. Layangannya baru aja naek."
"TURUN SEKARANG! TURUN!"
Akhirnya, kami pun terpaksa turun. Setibanya di bawah, neneknya nggak henti-henti memberikan banyak petuah yang kalo gue dengerin kerasa lebay. Nggak lama nasihat itu berakhir dengan diberinya Ardan uang lima ribu oleh neneknya. Neneknya pun berpesan, "Sana jajan! Bagi dua sama temennya. Jangan naek-naek lagi ke atas genteng! Kayak beruk lepas kandang aja."
Kami berdua lalu ngacir ke warung untuk jajan es kenyot. Kemudian balik lagi duduk di teras rumah Ardan yang teduh.
"Maafin Nenek gue, ya!" ucap Ardan ke gue di sela-sela menghisap es kenyot.
"Santai," sahut gue. "Kayaknya semua nenek emang begitu, deh. Nggak pengen cucunya kenapa-napa. Ngomong-ngomong, lo tinggal berdua doang sama nenek lo? Bapak ibu lo mana?"
Ardan lalu menjawab panjang lebar soal keluarganya di rumah. Bapak ibunya kerja. Dia sehari-hari dititipkan ke neneknya di rumah. Di ujung obrolan itu, Ardan kemudian bertanya tentang permainan apa yang sekiranya sedang tren di sini. Gue lalu menjawabnya mantap, "Di sini anak-anak lagi keranjingan maen pe'es dua."
"Emang di sini ada rental pe'es dua?"
"Ada. Deket, kok. Dari sini tinggal lurus, terus belok kiri. Namanya rental Bang Maman."