"Mau ke rumah gue nggak?" tawar Ardan.
"Laen kali aja, deh. Ini udah kesorean," jawab gue. Kami pun berpisah pulang.
Esoknya, sepulang mengaji rute pulang gue memang melewati depan rumah Ardan. Saat lewat di depan rumahnya, mata gue menangkap Ardan di halaman rumahnya, sibuk berkutat dengan seikat benang dan dua buah layangan. Gue yang paham Ardan sedang ingin menerbangkan layangan, kemudian menyapa, "Mao naekin layangan, Dan?"
Dia menoleh. "Eh, De! Iya, nih. Tapi susah banget nyambungin benangnya ke layangan."
"Maksud lo bikin tali kama? Sini sama gue! Gue tau caranya."
Seusai membuat tali kama, gue dan Ardan berunding soal di mana kami akan menerbangkan layangan. Ardan lalu mendapat ide untuk naik ke atap rumahnya melalui cabang pohon mangga yang menjalar. Pohon mangga itu berdiri kokoh di halaman rumahnya. Nggak butuh waktu lama untuk akhirnya kami tiba di atap genting, dan layangan itu kini terbang di langit, menari-nari ditiup angin.
"Gila! Tinggi bener layangannya!" Ardan kagum.
"Kalo benangnya lebih banyak, layangannya bisa terbang lebih tinggi dari ini!" jelas gue.
Lagi asyik-asyiknya nerbangin layangan, tiba-tiba muncul dari bawah seorang nenek-nenek yang tiba-tiba menegur, "Hei, siapa kamu?! Ngapain kamu ada di atap rumah saya?"
Ardan yang mengenali suara itu, berusaha menampakan sedikit kepalanya dari atas genting. "Nek, dia temen aku."
"ASTAGA! ARDAN!" Neneknya tiba-tiba panik. "NGAPAIN KAMU NAEK-NAEK?!"