Permainan lalu berjalan seperti petak umpet pada umumnya. Anak yang jaga harus mencari keberadaan anak yang sembunyi. Semua terasa normal. Sampai tiba ketika giliran gue berjaga.
Kala itu, seusai menghitung sampai seratus, gue mulai bergerak untuk mencari keberadaan yang lain. Hampir setiap tempat yang sering dijadikan tempat sembunyi gue sambangi. Termasuk pula kos-kosan yang dihuni oleh banyak tukang roti. Gue bahkan sempat mendobrak salah satu pintu kamar di kos tersebut. Mendapati di dalamnya, salah seorang mamang roti sedang duduk nyender di tembok, asyik nyabutin jenggot pakai dua uang koinan yang dijepit. Gue bengong. Mamang roti juga ikutan bengong. Sesaat setelah hening yang agak canggung, akhirnya gue tutuplah pintu tersebut, kemudian pergi ke tempat lain mencari yang lain.
Langkah gue terhenti di sebuah gang tepat di sebelah bak sampah. Feeling gue berkata, 'ada kunyuk yang lagi ngumpet di bak sampah itu.' Benar saja, begitu gue buka tutup bak sampahnya, tampak Ardan sedang sembunyi, meringkuk bersama serpihan-serpihan sampah yang bau. Gue sontak berlari menuju ke tempat jaga sambil meneriaki namanya. Mau nggak mau Ardan keluar. Ia juga harus menerima nasib bahwa sehabis ini giliran dia yang jaga.
Sialnya, selang setengah jam sejak menemukan Ardan, gue nggak bisa menemukan yang lain selain dirinya. Bahkan ketika gue sudah pasrah duduk menunggu sekalipun, batang hidung mereka tetap nggak nongol. Gue lalu mikir, 'jangan-jangan mereka pulang ke rumah masing-masing?' Momen seperti ini bukan yang pertama kali gue alami. Gue hafal betul, kalo selama lebih dari lima belas menit nggak ada yang nongol, itu berarti mereka ngerjain gue dengan pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya, jadilah gue duduk dengan bersungut-sungut di sebelah Ardan. Ia yang nggak paham dengan suasana hati gue dengan teganya ngomong, "Mereka jago-jago banget ya ngumpetnya?"
Gue lantas sewot. "Jago apaan?! Ini mah gue lagi dikerjain!"
"Dikerjain? Maksudnya?"
"Kalo udah lebih dari setengah jam nggak ada yang nongol, itu berarti mereka nggak ngumpet. Tapi pada pulang ke rumah masing-masing!"
"Lah, kok, gitu?"
"Emang gitu. Emangnya lo nggak pernah ada di situasi begini apa?"
Ardan menggeleng.
Sementara Matahari semakin pelit menampakan sinarnya, gue dan Ardan memilih pulang. Kami berjalan bareng ke rumah masing-masing, dan sesampainya di perempatan gang, Ardan memberi tahu gue rumahnya yang ternyata nggak jauh dari perempatan gang tersebut.