"Yakin."
"Suer?"
"Suer. Tekewer-kewer malah."
Akhirnya, setelah ragu beberapa detik, jadilah gue ikut Ardan ke rumahnya. Setibanya di teras, gue lihat Bokapnya Ardan sedang duduk nyantai di sana, asyik sibuk membaca koran sambil menghisap kreteknya. Ia tampak cuek saja ketika kami datang. Sementara gue, yang masih takut akan bayang-bayang bokapnya yang suka nabok, refleks langsung memegangi kedua pipi.
"Kamu kenapa megangin pipi gitu? Lagi sakit gigi?" tanya Bokapnya Ardan setelah dia ngeh gue datang.
"Nggak, Om. Saya takut dita---"
"Takut pipinya luntur, Pa," jawab Ardan, cepat. Kakinya menginjak kaki gue.
Bokapnya Ardan mengernyitkan dahi. "Luntur? Itu pipi apa cat tembok?"
"Sekarang emang lagi musim, Pa, orang pipinya pada luntur. Udah, ya! Aku mau ajak Dean masuk dulu."
"Misi, Om," ucap gue seraya mengekori Ardan. Nggak lama gue masuk diiringi dengan tatapan heran Bokapnya Ardan yang masih bingung.
Hari itu, ternyata apa yang ingin Ardan tunjukan adalah sebuah konsol game PS 2 baru pemberian Bokapnya. Dia amat kegirangan. Wajahnya nggak beda seperti lutung panen pisang. Di momen itu, sambil memamerkan PS barunya, Ardan berkata, "Sekarang kita nggak perlu maen di rental pe'es lagi, De. Kalo mao maen tinggal ke rumah gue aja! Gue juga udah beli beberapa kaset, salah satunya ada ...," Ardan berusaha menunjukan salah satu kaset. Ia lalu memperlihatkannya ke gue. "JENG! JENG!"