Ia mengangguk.
"Terus kenapa? Bukannya enak ya pindah rumah? Gue aja, nih, ya, dari dulu pengen banget pindah ke rumah yang baru. Abis bosen gue tinggal di rumah itu mulu."
"Justru menurut gue pindah rumah itu nggak enak. Bayangin aja! Gue harus ada di lingkungan yang baru, sekolah yang baru, yang mana itu bakal ngebuat gue jadi mulai dari awal lagi. Pokoknya nggak seru, deh."
"Jadi, lo nggak setuju pindah rumah?"
Ardan menggeleng. "Gue udah betah tinggal di sini."
Suasana mendadak hening.
Keadaan berubah sejak itu. Ardan sepertinya nggak bersemangat lagi main PS. Dia, yang biasanya nongol nyamper gue di depan rumah, kini jadi nggak pernah nunjukin batang hidungnya lagi ke rumah gue. Keadaan juga jadi serba salah buat gue. Pengin datang ke rumahnya nggak enak. Menunggu pun nggak ada hasilnya. Akhirnya, selama beberapa hari ke depan, gue harus rela kehilangan kesempatan bermain PS.
"Mending kamu ke rumahnya aja! Ajak ngobrol. Siapa tau dia sedih karena mao pindah rumah," ucap Nyokap ketika gue curhat kepadanya.
"Tapi, kalo dia lagi nggak mao ketemu aku, gimana?"
"Coba dulu."
Akhirnya, atas saran Nyokap, gue pun pergi ke rumah Ardan. Ardan awalnya mengira kalo gue datang untuk bermain PS. Namun gue buru-buru menjelaskan kalo kedatangan gue hari itu hanya ingin mengajaknya mengobrol.