Beberapa menit berselang, Sri keluar dari Kontrakannya. Sembari berkata, "Pagi BD, udah lama menunggu?". Pagi juga, ni baru sampai dan baru saja menikmati sebait syair di selembar Surat tak bertuan.
Penuh rasa penasaran, Sri menjangkau sepucuk surat di atas meja di beranda depan kontrakan tersebut. Lalu Sri, tersenta penuh cengang saat membaca bait demi bait yang terlampir disana.
"Semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu"
Â
Di kamar kejenuhan, tiba-tiba ingatan bangkit dari kasur yang gelisah
Kaki ini berat melangkah; bahkan enggan untuk membuka mata-mata jendela yang terlelap
Segala peristiwa, aku menganggapnya purba; lalu gugur, telah gugur bagai hujan mengekalkan keabadian.
Â
Mengalir, beterbangan, bahkan hinggap sehelai Daun bertuliskan sejarah
Tentang cipta yang menjanjikan perkelahian, melahirkan tangisan dan menjauhkan tawa kita
Sri, adakah kebahagiaan yang kekal di hati layaknyaq puisi yang terlahir hari demi hari bertuliskan "SRI" namamu?
Sri, jika segalanya berlalu di jalan masa lalu, lantas apa itu masa depan?
Apakah hantu-hantu yang mendewasakanku dengan ketakutan; atau hanya bait-bait hidup yang tak jua lelah mencumbui tulisan?
Â
#CoffeeTime ~ Entah