*Seruput kopi* BD berjalan pelan ke arah Sri, layaknya biasa; di genggaman kiri jemari telunjuk dan jari tengah terselip udutan cinta yang dinamakan "Pria punya selera" tak lagi waah, tooh udah biasa saja. "Baca ini" ucap Sri sembari tersenyum riang. Terlampir jelas tulisanmu di Koran ini. "Aku tau inisialnya, @bang_dho ini pasti tulisanmu.iya kan, ucap Sri?" BD hanya mengangguk dan berharap Sri memahami makna kata-katanya tersebut.
"Banyak perkara menjadi cerita sedari kata-kata yang tak terhingga berapa jumlahnya. Meski tanpa bertanya, tanpa berucap apa, bahkan mungkin tanpa tersadar; kau rebahkan Kepalamu di Pundak seorang aku---meski tanpa bersentuhan, aku merasakan itu. ~ @bang_dho"
Sontak, Sri bertanya. "Apakah aku yang ada di tulisanmu itu? Seorang aku yang menyandarkan kepala di pundakmu, meski tanpa sadarku? Apakah sandaran itu beban bagimu; atau hanya sekedar kata yang tertuang saja?"
BD kembali tersenyum dan mengucapkan langsung kata TIDAK. Sri, kamu harus tau tentang satu hal. Tangan yang gemetar, mulut yang bicara; tapi mata(Pandangan) yang menyampaikan. Artinya, tanganku menuliskan apa-apa yang tengah aku rasakan. Mulutku menyampaikan pesan pada aksara demi aksara yang aku tuliskan. Sedangkan mata, mata berani menilai dan menyampaikannya ke pikiran; tentang apa yang telah aku tuliskan ringkas.
Sri hanya bisa mengangguk, memahami bahasa yang BD sampaikan. Siang itu, sepoi angin mengakhiri perbincangan mereka tentang tulisan seorang BD di halaman depan Surat kabar harian. Ya, meski percaya tak percaya; di balik semua itu, cinta bersemi diantara gadis penikmat kopi dan penyair tanpa media. Walau di antara mereka tidaklah mungkin kata tidak untuk ditidakkan, begitu jua sebaliknya.
Kedekatan mereka begitu menyisir pusat syaraf. Bahaya.!!!Â
"Napas rahim mengalir dari mata setia, apa mungkin sebab wajah yang berbayang di antara suara yang panjang mengajakku menulis jejak-jejak masa silam ini? Ketika ada yang memanggilku pelan, saat itu jua berbilang-bilang takdir cinta seakan berdziki, menerus-terus. ~ @bang_dho"
Â
Jum'at senja pukul Enam Tiga-Puluh, aku sedang mengubah posisi tas punggung ke depan dada saat debu-debu di sekitaran Loket Jasamalindo buyar diterpa angin akibat lalu-lalang penghuni ibukota melaju kendaraannya. Beberapa kali bertanya kepada mereka(Agen) Armada bus jurusan Padang -- Solok menjawab tanya yang sama. Tidak ada bus menuju Solok lagi. Artinya, aku harus menanti meski tak tahu harus berapa lama; Trayek jurusan lain yang juga melalui Kabupaten Solok tempat Anak dan Istriku menikmati bahagia mereka.
Yang aku tau sembari menunggu armada bus apa saja berikutnya, mari berpuisi seusai melaksanakan Tiga raka'at Wajib atasku yang dinamakan Shalat Maghrib. Bisa dibilang candu, bagiku berpuisi sudah mendarah daging sedari bosan merasakan pahitnya cinta untuk yang pertama kalinya. Hehehe ... Want to Know Ajhaaa ...
19.15Wib syukurlah, masih ada armada menuju Solok. Seorang anak paruh baya bersama pasangannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tak mau bergeser dari posisi duduknya yang candu. Yaa, tepat di barisan ke tiga dekat pintu masuk mini bus yang juga aku tumpangi. Bagaimana tidak, posisinya begitu dekat dengan jendela; dimana tiupan bayu mendayu-dayu menyisir rambutnya yang menguning laksana kuah sate yang tertumpah. Sementara waktu, aku Cuma bisa tersenyum sembari berusaha menuju bangku ke empat yang masih dalam posisi kosong; tepat di samping pasangannya; gadis belia mengenakan Swetter Ungu muda. (Rejeki nggak bakalan kemana) itu yang ada di pikiranku senja itu. Hehehe ...