Mohon tunggu...
Datuak Bandaro Sati
Datuak Bandaro Sati Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Coffee

Secangkir ialah rasa; ribuan cangkir juga rasa. Seberapapun, semua tentang rasa. Warna yang serupa tiada bisa untuk saling membatasi! #CoffeeTime

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sri (2)

24 Juli 2019   09:24 Diperbarui: 24 Juli 2019   09:32 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

gan74-5d37c115097f361344376d72.jpg
gan74-5d37c115097f361344376d72.jpg
Sesampainya di Pantai Padang, BD membiarkan Sri meninggalkannya duduk manis di sebuah Caf kecil di Selatan Gedung Balai Budaya Sumatera Barat. Dua Cangkir Kopi berada di antara dia dan bungkusan tembakau liar yang terkemas rapi. Tapi matanya tak memperhatikan itu, hanya memandangi Sri melangkah jauh dari tempat dia duduk menikmati sepoi hembusan bayu pagi itu. Memainkan Imajinasi lewat Gadged yang ia genggam, BD menulis sebait frasa;

"(Jikalau deburnya mempunyai ritma, tentu Ombak akan menjadi nada-nada yang akan menghibur seluruh penghuni alam. Jikalau cinta bisa diatur dan menjadi cerita, tentu saja seluruh alam akan memainkan irama-irama bahagia saja; lalu kesedihan dikemanakan?)"

                                  

Ahh... Daun-daun yang lepas dari batangnya melayang serupa Camar yang setia menyuarakan suaranya bagi mereka sesama; tapi kenapa hanya ke arah bawah saja daun ini gugur? Diiringi suara riuh angin yang tak bosan-bosannya bergantian dengan sepi. Sri memandangi sekelilingnya pagi itu. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, hamparan lautan, angin, dan pepohonan. Sri masih berdiri.

Namun kemudian ia melihat sebuah Novel dan Koran tertinggal di bangku yang baru saja akan dia duduki. Pemilik ini mungkin sengaja meninggalkannya? Atau barangkali tertinggal. Buru-buru dijangkaunya novel itu dan hatinya demikian bergetar. Terbersit di pikirnya, " Apakah di dalam novel itulah seharusnya ia berada sekarang? Jika saja iya, bagaimana cara ia pulang ke sana?"

Sebelum ia meraih koran yang hampir terseret angin, Sri tersenyum membaca kolom di bagian kiri bawah halaman depan Koran tersebut. Gusarnya seketika hilang, pikiran-pikirannya yang tadinya jenuh kini kembali terbuka dan meluas entah kemana. Memutar arah Sembilan Puluh derajat, Sri berteriak riang "BD sini, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

*Seruput kopi* BD berjalan pelan ke arah Sri, layaknya biasa; di genggaman kiri jemari telunjuk dan jari tengah terselip udutan cinta yang dinamakan "Pria punya selera" tak lagi waah, tooh udah biasa saja. "Baca ini" ucap Sri sembari tersenyum riang. Terlampir jelas tulisanmu di Koran ini. "Aku tau inisialnya, @bang_dho ini pasti tulisanmu.iya kan, ucap Sri?" BD hanya mengangguk dan berharap Sri memahami makna kata-katanya tersebut.

"Banyak perkara menjadi cerita sedari kata-kata yang tak terhingga berapa jumlahnya. Meski tanpa bertanya, tanpa berucap apa, bahkan mungkin tanpa tersadar; kau rebahkan Kepalamu di Pundak seorang aku---meski tanpa bersentuhan, aku merasakan itu. ~ @bang_dho"

Sontak, Sri bertanya. "Apakah aku yang ada di tulisanmu itu? Seorang aku yang menyandarkan kepala di pundakmu, meski tanpa sadarku? Apakah sandaran itu beban bagimu; atau hanya sekedar kata yang tertuang saja?"

BD kembali tersenyum dan mengucapkan langsung kata TIDAK. Sri, kamu harus tau tentang satu hal. Tangan yang gemetar, mulut yang bicara; tapi mata(Pandangan) yang menyampaikan. Artinya, tanganku menuliskan apa-apa yang tengah aku rasakan. Mulutku menyampaikan pesan pada aksara demi aksara yang aku tuliskan. Sedangkan mata, mata berani menilai dan menyampaikannya ke pikiran; tentang apa yang telah aku tuliskan ringkas.

Sri hanya bisa mengangguk, memahami bahasa yang BD sampaikan. Siang itu, sepoi angin mengakhiri perbincangan mereka tentang tulisan seorang BD di halaman depan Surat kabar harian. Ya, meski percaya tak percaya; di balik semua itu, cinta bersemi diantara gadis penikmat kopi dan penyair tanpa media. Walau di antara mereka tidaklah mungkin kata tidak untuk ditidakkan, begitu jua sebaliknya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun