Sabtu, 27 Maret 2019. 17.30 Wib
Â
Pagi itu, gerimis menjadi topik pernyataan demi pernyataan untuk sebuah pertanyaan bagi seorang BD dalam menghasilkan karya yang tak kunjung dibukukan. Mungkin saja bersebab tiada takdir yang tertuliskan untuk terlahir sebagai seorang Penulis. Hehheee ...
Â
"Apakah gerimis bisa dilogikakan kesedihan yang mendera? Atau sebaliknya, setelah adanya tangisan? Menurutku cinta adalah sebuah perasaan yang diberikan oleh Tuhan pada sepasang manusia untuk saling mencintai, saling memiliki, saling memenuhi, saling pengertian dan satu hal pasti; saling membutuhkan. Indah bukan? Tetapi faktanya tak semua insan bernyawa di dunia ini yang bisa menikmati."
Â
Perjalanan pagi ini, aku ditemani embun. Bias-bias gerimis tak lagi ada ketika perbatasan Ibukota sudah terlihat samar. Sinar matahari sudah mulai menyayat di atas langit Barat Sumatera. Yang artinya kegiatan para manusia sudah dimulai lagi dengan kesibukan demi kesibukannya masing-masing. Dimana, Jalan raya semakin ramai karena waktu yang bertengger di jam tangan manusia-manusia itu sudah semakin mendekati pukul 07.00 Wib.
Â
07.30 *Aku sudah di depan Kontrakanmu.* Isi Chattingan BD kepada Sri via Applikasi WhatsApp.
Sesaat berhenti, mata BD terpana pada satu titik di Parkiran sebuah Kontrakan. Sekuntum Mawar Putih, masih mekar lengkap dengan sepucuk surat yang dibagian sampul depannya bertuliskan "Sri, semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu. ~ Entah".
*Senyum miris* Kenapa juga senyuman menghiasi wajahku ketika aku membaca kata-kata ini? Siapa pemiliknya? Ada apa gerangan! 2019 masih berlakukah surat-menyurat untuk rasa yang sedianya ada?