Mohon tunggu...
Datuak Bandaro Sati
Datuak Bandaro Sati Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Coffee

Secangkir ialah rasa; ribuan cangkir juga rasa. Seberapapun, semua tentang rasa. Warna yang serupa tiada bisa untuk saling membatasi! #CoffeeTime

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sri (2)

24 Juli 2019   09:24 Diperbarui: 24 Juli 2019   09:32 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Napas rahim mengalir dari mata setia, apa mungkin sebab wajah yang berbayang di antara suara yang panjang mengajakku menulis jejak-jejak masa silam ini? Ketika ada yang memanggilku pelan, saat itu jua berbilang-bilang takdir cinta seakan berdziki, menerus-terus. ~ @bang_dho"

 

Jum'at senja pukul Enam Tiga-Puluh, aku sedang mengubah posisi tas punggung ke depan dada saat debu-debu di sekitaran Loket Jasamalindo buyar diterpa angin akibat lalu-lalang penghuni ibukota melaju kendaraannya. Beberapa kali bertanya kepada mereka(Agen) Armada bus jurusan Padang -- Solok menjawab tanya yang sama. Tidak ada bus menuju Solok lagi. Artinya, aku harus menanti meski tak tahu harus berapa lama; Trayek jurusan lain yang juga melalui Kabupaten Solok tempat Anak dan Istriku menikmati bahagia mereka.

Yang aku tau sembari menunggu armada bus apa saja berikutnya, mari berpuisi seusai melaksanakan Tiga raka'at Wajib atasku yang dinamakan Shalat Maghrib. Bisa dibilang candu, bagiku berpuisi sudah mendarah daging sedari bosan merasakan pahitnya cinta untuk yang pertama kalinya. Hehehe ... Want to Know Ajhaaa ...

19.15Wib syukurlah, masih ada armada menuju Solok. Seorang anak paruh baya bersama pasangannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tak mau bergeser dari posisi duduknya yang candu. Yaa, tepat di barisan ke tiga dekat pintu masuk mini bus yang juga aku tumpangi. Bagaimana tidak, posisinya begitu dekat dengan jendela; dimana tiupan bayu mendayu-dayu menyisir rambutnya yang menguning laksana kuah sate yang tertumpah. Sementara waktu, aku Cuma bisa tersenyum sembari berusaha menuju bangku ke empat yang masih dalam posisi kosong; tepat di samping pasangannya; gadis belia mengenakan Swetter Ungu muda. (Rejeki nggak bakalan kemana) itu yang ada di pikiranku senja itu. Hehehe ...

Pelan-pelan, armada yang aku tumpangi mulai melaju. Empat Puluh menit lamanya di tengah perjalanan, sekujur rambut beraroma Melati makin melekat di Bahu kiriku. Sementara, di kanan sana ada tempat dimana seharusnya dia bersandar. Apa mungkin dikarenakan terpaan angin yang semakin menghantarnya ke Bahuku? Atau barangkali karena aroma-aroma nakal ini sedikit menempel ke arahnya? Bisa dikata, bak tarikan maghnetik yang begitu curang menipu butir-butir pasir semaunya. Atau barangkali karena pasangannya lebih memilih menikmati sepoi angin senja di sepanjang Jalur Sitinjau Laut, menghadap ke Jendela dan dengan mudahnya melupakan dia? Bisa saja. Hehehe ...

Sial ..., Di tengah perjalanan, Pengemudi yang masih berjiwa kesatria beranggapan lobang jalanan begitu indah dan datar, lalu menghantamnya begitu saja. Eehh ... yang ada, gadis belia ini terbangun dari tidurnya sontak mengelakkan rebah kepalanya terhadapku. Lalu seketika, tanpa pamrih dan bersuara sedikitpun, ia melemparkan seutas senyuman tanpa berani memandang ke arah mataku melebihi tiga detik waktu berlalu. Yaaps betul, hanya seutas senyuman saja.

"Seperti baru kulihat kelopak mata yang membawa sayap-sayap burung ke dalam keluasan langit. Sedangkan lekuk bibir yang tampak; seakan tengah tafakur di antara rerumputan yang tumbuh membagi sunyi. ~ @bang_dho"

 

Semisal aku bertanya tentang "ada apa?" tentu tidak lah pantas, sebab dia hanya sekedar perempuan yang duduk berdekatan denganku di satu tumpangan yang kebetulan sama. Namun yang jelas, aku mendengar dia berucap "Aku tak kuat begini terus tentang kita, udahi aja; cukup" yang bunyinya terdengar seiring deru mesin yang tengah berjuang menghantarkan kami ke tempat tujuan masing-masing; Kabupaten Solok.

Dan aku, lebih dulu turun dari mereka yang masih saja menikmati perjalanan. Yah, hanya sekedar berbagi kisah kecil di perjalanan pulang menuju keluarga kecilku.

Sabtu  itu, sepasang Camar menarikan tarian Rembulan

 

Suatu ketika, Di kala itu aku

Suatu saat, Di masa itu saya

 

Hei,

Ternyata ada dua Prasa

Antara waktu yang berlalu

Dan

Waktu yang akan datang

 

Lalu, Sri?

Lalu apa?

Lalu, bagaimana dengan sekarang; Sri?

 

Bung,

Sekarang hanya waktu yang kita tempuh

Bung,

Sekarang hanya klimaks Masalalu

Bung!!!

Sekarang hanya pencapaian hingga suatu waktu!

 

Kelak?

Kelak, ya Kelak!

Bukan Sekarang!

Sekarang ini, aku ataukah saya

 

 

#CoffeeTime ~ Entah

Di sekelebat bayang-bayang penantian

Tiap waktu-Di setiap hela napasku

@bang_dho

 

 

      Ada kalanya serasa mustahil bila terjadi, meski terkadang itu nyata adanya dan tengah terjadi! Ada kalanya sebuah gurauan menjadi batu loncatan bagi setiap Insan menikmati indahnya kehidupan. Ada kalanya tiada yang percaya dengan perputaram roda-roda Jaman. Di Dimensi apa kita, kita tetaplah kita yang sedia menikmati. Di segi mana kita, kita tetaplah kita yang harus melewati. Bukankah seharusnya kita menikmati waktu? Lalu apa yang meski kita perbincangkan lagi? Jalani dan lalui. Hidup ialah Misteri.

      Lalu? Lalu bagaimana dengan pertimbangan waktu? Tentang dahulu, sekarang, ataukah nanti! Ah, yang jelas, semua patut dipertimbangkan dan tak mengenal kata tidak. Dan waktu adalah apa yang seharusnya memang sebenarnya terjadi dan berlalu.

      "Selamat pagi duniaku saat ini, apa masih ada elegi yang akan aku karyakan? Jikapun ada, tolonglah; jangan tentang cinta." Ucapan yang terus menerus terucap dari bibir seorang Sri disetiap ia berdiri sejajar dengan Cermin yang sudah bosan dengan ucapan yang terlontar sama. Sementara ia masih setia tegak-bergelantungan di dinding kanan kamar Kontrakan.

      "Selamat pagi duniaku saat ini, apa masih ada elegi yang akan aku karyakan? Jikapun ada, tolonglah; jangan tentang cinta."  Bisa dibilang, dua tahun sudah ucapan itu terlontar manis dengan senyumnya yang kritis. Bagaimana tidak, tooh satu kata 'kepergian' menjadi batu penghalang bagi Sri membukakan pintu hatinya untuk dapat mudah tersenyum menikmati perjalanannya ke depan.

     

26 Maret 2019, Universitas Ekasakti

Hufftt... Dengan lembut Ari menendangi sebongkah blok mesin sepeda Scuternya(Besi lo Bro). Bidji!!! Kenapa juga Mesin ini sampai mati? Salah saya dimana? Tentang perbaikan; hampir ditiap 2000Km Perjalanan, Oli Scuter ini saya ganti, begitu pun bahagian lain. Saringan Hawa, Oli Samping bahkan Rem sekali pun pastinya. Why? Janjiku hari ini. Tapi aku kau abaikan begitu saja, duhai Scuter tua, "Ucap Ari menunjuk Scuter yang biasa dikendarainya".

"Olinya Nggak akan tembus kan, Id?" katanya.

Ridwan dengan manjanya menggeleng saja.

Yayat menepuk bahu Ari,. Scuter Abang mungkin demam diperkara Usianya hahhaaa. Jangan ragu, ini 2019 Usia Scutermu sudah hampir Tiga Dekade berjalannya waktu.

Hahhaaaa.. Penuh galak tawa, ari menjawab... "Jangan ragu Yat, tendanganku ini hanya pemancing saja," katanya. Geser mundur Pick-up ke arah Taman Kampus, biar nanti kita gotong barang antic ini bertiga. Tapi antar saya menuju bengkel Haji Mahmud ya, beliau biasa rawat inap disana(Tunjuk Scuter tua dengan mata tajamnya).

Sesampainya di bengkel tujuan, Ari menaiki sepeda Scuternya--mendorong hingga rodanya mencecah di tanah tempat biasa Haji Mahmud menelanjangi dengan Khidmad. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Pak Haji, Langgananmu kangen bengkel ini, rintihnya berseragam Putih Hitam bak pegawai Honorrer di Hari Rabu.

Terbayang lagi olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai barang antik itu. "Ari, Ini bukan punyamu, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu atau Bulannya-tentang apakah masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut(dijual)."

Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif Tiga bulan saja, seperti layaknya Semester yang lalu. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan palingan tentang Scuter ini kini, ia akan menjadikannya hadiah utama untuk keinginan anak Sulungnya berkuliah di Jurusan Hukum. "Semoga kelak posisiku bisa kau imbangkan", Ucap sang Ayah.

Beberapa Menit berselang, Telephone genggam di saku kanan Ari berdering. (Sri Putri Tanjung) Tertulis jelas nama itu di bagian depan LCD Gadged tersebut. Namun Ari tidak mengindahkannya secara langsung. Meski dalam hatinya berkata-kata.

Tiga kali dalam waktu yang berdekatan, namsa yang indah "Sri Putri Tanjung" masih terlampir indah di LCD Gadged hadiah ulang tahun pernikahannya yang ke dua tersebut. Ari hanya membalasnya dengan pesan, nati saya hubungi, lagi di Bengkel Motor di seberang kampus Ekonomi Universitas Ekasakti.

Okey!! Empat huruf yang bermakna setuju beserta dua tanda seru yang menjelaskan penegasan terlukis di Applikasi WhatsApp Ari.

Dua Jam berlalu, 11.45Wib ...

 

Selesai sudah Scuter tua milik Ari menyerahkan sekujur tubuhnya kepada Haji Mahmud. Di perjalanannya menuju Fakultas Hukum, Ari melihat Sentya yang baru saja turun dari Angkot dan menumpangkannya menuju Kampus. Syukurlah, ada tumpangan gratis, ucap Sentya waktu itu. Kenapa baru ke Kampus, tanya Ketua kelas 2H5, Sentya menjawab; banyak cucian bang, udah Tiga hari hujan begitu setia dengan kota kita. Makanya di cuaca yang cerah ini aku bisa mengambil kesempatan mencucinya. Hehheeee... Ari hanya menjawabnya dengan senyum, sembari membayangkan sang Istri yang juga tengah sibuk-sibuknya berkemas di rumah.

Terima kasih bang, ucap Sentya. Dengan perawakan yang penuh canda, Ari menjawab... "Tertulis disini 4000 Mbak, *Dengan melihat Gadged yang berada di tangan kirinya*. Pantang untuk kalah, Sentya menjawab, Ups...Abang Gojek ya? Kirain Opang, nggak pake Tarif. Hahaha...Galak tawa mereka saling beradu dan mengalihkan pandangan Mahasiswa/I yang juga berada di Parkiran Kampus.

Dengan sigap, Ari langsung menuju local dan menemui Sri dan duduk bersebelahan. Ada apa menelephone? Maaf, tadi aku sedang di bengkel. Sri Cuma menjawab, "Kan tadi udah kamu chat di WhatsApp tentang posisimu". Oh iya, aku lupa "tangkas Ari". Tadi Dosen Hukum Perdata menanyakan, makanya aku Telephone, jawab Sri. "Itu saja" Ucap Ari, "Ya" jika ada yang lebih dari itu, mungkin bukan denganmu aku memperbincangkan; Masalah pernikahan misalnya. Hahahaa ... Tawa yang kesekian bagi seorang Ari untuk mengobati Luka di Dompetnya sebab Scuter tua.

"Mana yang lain", tanya Utari waktu itu. "Mereka palingan di Kantin depan" jawab Ari. "Baiklah, aku ke sana dulu" Ucap Utari. "Aku ikut" jawab Sri sembari berdiri mengemasi beberapa Novel yang ada di mejanya ketika itu.

"Kita Kuliah Hukum TataNegara pukul 16.00 nanti, masih ada beberapa Jam waktu yang tersisa. Apa kita tetap disini, atau pergi Karaokean?" ucap Yulia. Dengan senang hati, Sri mengangguk-angguk kecil mengiyakan ucapan Yulia. "Yang lain", Tanya Yulia. "Kami setuju saja" jawab mereka serempak. Member Card Utari kan ada, langsung aja yuuk? Ucap Ari waktu itu. "Bagaimana kalau kita mengajak BD juga? Tooh dia hobby nyanyi dan habis ini kan Dosennya kan juga nggak hadir" Ucap Utari. Tapi apakah BD bisa ikut? Kalau nggak bisa? "Kalau nggak bisa, kita saja yang pergi." Ucap Vita. (Menoleh sedikit ragu-ragu) biar aku telephone dulu, Ucap Sri.

Lagi dan lagi di hari yang sama, panggilan Sri berbalas chattingan WhatsApp. Aku sedang Kuliah Hukum Pidana, kangen ya? Canda BD dalam chattingannya melalui WhatsApp kepada Sri. "Kangen? Lumayan daripada nggak, tapi lebih kangen nungguin kamu di Kantin depan dan kita bareng-bareng pergi Karaokean; gimana?" balas Sri. Asiiappp, duluan aja nanti aku nyusul, kirim lokasi dan room berapa, jawab BD.

Okey!! Empat huruf yang bermakna setuju beserta dua tanda seru yang menjelaskan penegasan terlukis di Applikasi WhatsApp BD.

Pukul 12.40Wib ...

 

BD menelephone balik kontak Gadis Minang berparas Melayu. Langsung Sri bergegas mengangkat Telephone dan berkata "Iya,Hallo" Jawab Sri sembari keluar dari room Karaoke. Setibanya di luar, dari arah Kanan Pot bunga Kamboja yang tengah mekar, terdengar suara; "Hanya sekedar itu saja?" Tanya BD yang berdiri tegak menyuguhkan senyumnya kepada Sri.

Seperti Gadis desa yang sedang jatuh cinta di film-film India, Sri membalas senyuman BD dengan sedikit sumbringah (Hmmmm) Maksudnya Nelephone apa? Tooh kamu kan tinggal masuk room. Ya, setidaknya tanpa mengetok pintu, kenapa juga pakai Nelephone segala? Usil kah? Ucap Sri sembari meluruskan gelang ungu di lengan kanan tangannya.

Dengan sedikit gombalannya BD menjawab "Hei, aku menelephone kan  hanya untuk mengetahui keadaanmu bagaimana, masih dalam posisi merindu atau sedang menunggu kedatanganku, itu saja." Gombalmu pak tua, canda Sri ... Yaa sudah, kita cerita disini, atau barengan di dalam sana sama yang lain; tanya Sri.

Heiii, aku kesini hanya untuk mencarimu, di sampingmu, menjagamu; bahkan kalau perlu untuk berdua denganmu.(Lagi-lagi Gombalan lelaki beranak Satu ini melayang ke telinga Sri) Apa mungkin mencapai Jantung Hati? Hehehe ... Entahlah.

Menyanyikan beberapa lagu, mereka tampak riang dengan penokohannya masing-masing.

 

"Memori Berkasih" Kamu hapal lagu ini, tanya Sri kepada BD. Waw, kenapa lagu ini? Tanya balik BD saat itu. Tidak apa-apa, aku hanya suka saja lagu itu; jawab Sri. Ya sudah, seusai giliran mereka, kita duet lagu itu; jawab BD.

Ups.., "BD, yuuk kita nyanyi lagu Seventeen -- Cinta tak Bertuan" ucap Utari. Dengan senang hati, BD langsung menyambut Microphone yang disuguhkan Ridwan ketika itu. Sembari berkata kepada Sri, "Untukmu sebuah lagu dariku, nanti setelah ini baru kita menyanyikan lagu untuk kita" hehheee... Gombalan kesekian untuk Sri hari ini. Nyata oh ternyata, Dua jam waktu berselang. Tepat pukul 15.30Wib.

Aba-aba di layar Televisi Room Karaoke 210 menandakan waktu yang bersisa hanya tinggal 5Menit. Lalu kamu pikir apa? Yaps, betul. Tidaklah mungkin masih ada lagi waktu untuk mereka berduet menyanyikan lagu Jiran-Malaysia yang berjudul "Memori Berkasih" Sementara durasi lagui ini membutuhkan waktu Enam Menit.

"Mungkin belum sekarang waktunya", Ucap Sri. "Hei, waktu kita bukan hanya sekarang, tapi kini dan selamanya. Jikapun tidak bisa sekarang, mungkin karena kita tidak di posisi berdua menyanyi di sini. Andai kita berdua punya waktu, kita bisa menyanyikan lagu ini Sembilan kali bahkan lebih", Candaan BD waktu itu.

"Aduuhhh Gombalannya Basiiiii, Pak Tua; ingat Anak Istri di rumah", ucap Sri. "Looh, untuk Anak Istri tentu aku tidak lupa, karena dia Anakku." Lalu? Sanggah BD untuk kesekian kalinya? Hahhaaaaa... (Dari jawabannya yang sejengkal barusan, aku kok merasa ada yang janggal. Bagian mana ya?) Tanya Sri dalam hati. Ah, tak perlu di pikirkan sekarang. Tooh masih ada waktu-waktu selanjutnya untuk aku memikirkan hal yang sepele ini, ucapnya lagi lagi dalam hati.

"Ya sudah, Yuuk balik ke Kampus. Sabtu depan kita ulangi lagi, semoga saja di jam yang sama", ucap Utari. Mereka semua tertawa melampiaskan bahagia yang tersisa.

"Kamu masih ada Kuliah habis ini", tanya BD.

"Iya, Hukum TataNegara sama bapak Onzu", Ucap Sri.

"Kalau begitu aku gabung 2H5, soalnya jam aku sama Bapak Onzu barusan; sementara aku kan sedari tadi disini sama kalian", Ucap BD

"Enak aja gabung gabung. Bayar Dua puluh Ribu", ucap Sri.

"Begitu saja Berbayar?", tanya BD

"Hari ini mana ada yang Gratis? 2019 Bro", canda Sri sembari tersenyum.

Menangkap senyum manis Gadis Solok Selatan itu, kincir-kincir BD langsung membalas tanggapan Sri. "Itu, yang barusan aku tak pernah bayar, ya meski jarang aku dapati. Palingan hanya beberapa kali untuk dua hari dalam Satu Minggu", Ucap BD.

Sri terheran, penuh kebingungan. Sontak bertanya! "Maksudnya?"

"Itu, Senyummu. Gratiskan untukku? Entah kalau untuk yang lain", Hehehe...

"Waah, Pak tua makin parah". Tanggap Sri kembali tersenyum riang."

"Tuuh kan, dapat Gratis lagi." *Ngakak* BD tertawa layaknya anak muda lupa Usia. Hehehe ...

Setibanya di kelas, beberapa menit berselang, Sentya menghubungi BD via Telephone genggam di tangan kirinya.

"BD masih kuliahkan besok?"

"Insya Allah iya", jawabnya. "Memangnya kenapa Tya? Kangen ya? Hehheee..", candaan BD Jum'at sore itu.

"Uhhh..Ingat Anak Istri bang", Ucap Tya sembari tertawa.. hehehe

"Besok sedari Solok, singgahi tya di PT tempat Tya kerja ya. Sekalian jemput, itupun kalau Ikhlas. Kalau nggak ikhlas, ya Paksakan sampai ikhlas", candanya...

"Ups, Maaf dek, salah sambung. Saya bukan Gocar atau Grab. Hahahaaa" jawab BD.

"Tya serius lo bang, jemput ya. Barengan kita ke Kampus."

"Insya Allah, iya. Nanti saya kabarkan kalau ke Padang." jawab BD.

Sabtu, 27 Maret 2019. 17.30 Wib

 

Pagi itu, gerimis menjadi topik pernyataan demi pernyataan untuk sebuah pertanyaan bagi seorang BD dalam menghasilkan karya yang tak kunjung dibukukan. Mungkin saja bersebab tiada takdir yang tertuliskan untuk terlahir sebagai seorang Penulis. Hehheee ...

 

"Apakah gerimis bisa dilogikakan kesedihan yang mendera? Atau sebaliknya, setelah adanya tangisan? Menurutku cinta adalah sebuah perasaan yang diberikan oleh Tuhan pada sepasang manusia untuk saling mencintai, saling memiliki, saling memenuhi, saling pengertian dan satu hal pasti; saling membutuhkan. Indah bukan? Tetapi faktanya tak semua insan bernyawa di dunia ini yang bisa menikmati."

 

Perjalanan pagi ini, aku ditemani embun. Bias-bias gerimis tak lagi ada ketika perbatasan Ibukota sudah terlihat samar. Sinar matahari sudah mulai menyayat di atas langit Barat Sumatera. Yang artinya kegiatan para manusia sudah dimulai lagi dengan kesibukan demi kesibukannya masing-masing. Dimana, Jalan raya semakin ramai karena waktu yang bertengger di jam tangan manusia-manusia itu sudah semakin mendekati pukul 07.00 Wib.

 

07.30 *Aku sudah di depan Kontrakanmu.* Isi Chattingan BD kepada Sri via Applikasi WhatsApp.

Sesaat berhenti, mata BD terpana pada satu titik di Parkiran sebuah Kontrakan. Sekuntum Mawar Putih, masih mekar lengkap dengan sepucuk surat yang dibagian sampul depannya bertuliskan "Sri, semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu. ~ Entah".

*Senyum miris* Kenapa juga senyuman menghiasi wajahku ketika aku membaca kata-kata ini? Siapa pemiliknya? Ada apa gerangan! 2019 masih berlakukah surat-menyurat untuk rasa yang sedianya ada?

Beberapa menit berselang, Sri keluar dari Kontrakannya. Sembari berkata, "Pagi BD, udah lama menunggu?". Pagi juga, ni baru sampai dan baru saja menikmati sebait syair di selembar Surat tak bertuan.

Penuh rasa penasaran, Sri menjangkau sepucuk surat di atas meja di beranda depan kontrakan tersebut. Lalu Sri, tersenta penuh cengang saat membaca bait demi bait yang terlampir disana.

"Semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu"

 

Di kamar kejenuhan, tiba-tiba ingatan bangkit dari kasur yang gelisah
Kaki ini berat melangkah; bahkan enggan untuk membuka mata-mata jendela yang terlelap
Segala peristiwa, aku menganggapnya purba; lalu gugur, telah gugur bagai hujan mengekalkan keabadian.

 

Mengalir, beterbangan, bahkan hinggap sehelai Daun bertuliskan sejarah
Tentang cipta yang menjanjikan perkelahian, melahirkan tangisan dan menjauhkan tawa kita

Sri, adakah kebahagiaan yang kekal di hati layaknyaq puisi yang terlahir hari demi hari bertuliskan "SRI" namamu?
Sri, jika segalanya berlalu di jalan masa lalu, lantas apa itu masa depan?

Apakah hantu-hantu yang mendewasakanku dengan ketakutan; atau hanya bait-bait hidup yang tak jua lelah mencumbui tulisan?

 

#CoffeeTime ~ Entah

Di sekelebat bayang-bayang penantian

Tiap waktu-Di setiap hela napasku

 

Seketika dalam hening, entah siapa lah ini. Puisi ke tiga di "Ahh, tampaknya pagi ini saya ingin bercerita mengenai Pemulung perasaan. Bagaimana kalau kita sarapan dulu? Mumpung masih ada waktu satu jam menjelang mata kuliah Hukum Internasional pukul 09.00 Nanti? Ucap Sri."

(Hehheee ... ) Dengan tawa kecilnya yang khas, BD mengiyakan Sri yang sedikit tertegun memandang jauh ke arah Timur Matahari yang sedang gagahnya mengusik adanya embun di ribuan dedaunan yang tak bosan-bosannya melambaikan kenyamanan di mata para perindu semu.

Perjalanan mereka diiringi rasa sunyi. Yang berkuasa di antara mereka hanyalah deru mesin yang tak henti-hentinya melaju di jalanan ibu kota. Berselang beberapa detik, terdengar suara "Kemana tujuan kita?" ucap BD.

Melihat ke arah BD yang sedang setia menggenggam Setir, Sontak Sri menjawab, "Sesukamu aja. Pikiran ini kalut, percuma kalau kita kuliah hari ini, nggak bakalan nyambung antara hati dan otak. Lagi Mager. Tangan kirinya meremas erat sepucuk surat yang ia terima.

"Kita atau kamu yang kalut?" ucap BD.

(Sri hanya diam memandangi BD derngan wajah sinis).

"Baiklah, kita akan menuju Pantai. Pantai dimana surat yang berada di genggamanmu bisa kau hanyutkan dan lenyap begitu saja. Hehehe ... Atau bisa kau simpan rapat di tiap jengkal memori pikirmu untuk waktu yang lama. BD tertawa kecil sembari menghibur hati yang sedang terbelah oleh keadaan.

"Sri hanya mengangguk dan meluruskan lagi tempat duduknya menghadap ke depan."

Sesampainya di Pantai Padang, BD membiarkan Sri meninggalkannya duduk manis di sebuah Caf kecil di Selatan Gedung Balai Budaya Sumatera Barat. Dua Cangkir Kopi berada di antara dia dan bungkusan tembakau liar yang terkemas rapi. Tapi matanya tak memperhatikan itu, hanya memandangi Sri melangkah jauh dari tempat dia duduk menikmati sepoi hembusan bayu pagi itu. Memainkan Imajinasi lewat Gadged yang ia genggam, BD menulis sebait frasa;

"(Jikalau deburnya mempunyai ritma, tentu Ombak akan menjadi nada-nada yang akan menghibur seluruh penghuni alam. Jikalau cinta bisa diatur dan menjadi cerita, tentu saja seluruh alam akan memainkan irama-irama bahagia saja; lalu kesedihan dikemanakan?)"

                                  

Ahh... Daun-daun yang lepas dari batangnya melayang serupa Camar yang setia menyuarakan suaranya bagi mereka sesama; tapi kenapa hanya ke arah bawah saja daun ini gugur? Diiringi suara riuh angin yang tak bosan-bosannya bergantian dengan sepi. Sri memandangi sekelilingnya pagi itu. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, hamparan lautan, angin, dan pepohonan. Sri masih berdiri.

Namun kemudian ia melihat sebuah Novel dan Koran tertinggal di bangku yang baru saja akan dia duduki. Pemilik ini mungkin sengaja meninggalkannya? Atau barangkali tertinggal. Buru-buru dijangkaunya novel itu dan hatinya demikian bergetar. Terbersit di pikirnya, " Apakah di dalam novel itulah seharusnya ia berada sekarang? Jika saja iya, bagaimana cara ia pulang ke sana?"

Sebelum ia meraih koran yang hampir terseret angin, Sri tersenyum membaca kolom di bagian kiri bawah halaman depan Koran tersebut. Gusarnya seketika hilang, pikiran-pikirannya yang tadinya jenuh kini kembali terbuka dan meluas entah kemana. Memutar arah Sembilan Puluh derajat, Sri berteriak riang "BD sini, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

*Seruput kopi* BD berjalan pelan ke arah Sri, layaknya biasa; di genggaman kiri jemari telunjuk dan jari tengah terselip udutan cinta yang dinamakan "Pria punya selera" tak lagi waah, tooh udah biasa saja. "Baca ini" ucap Sri sembari tersenyum riang. Terlampir jelas tulisanmu di Koran ini. "Aku tau inisialnya, @bang_dho ini pasti tulisanmu.iya kan, ucap Sri?" BD hanya mengangguk dan berharap Sri memahami makna kata-katanya tersebut.

"Banyak perkara menjadi cerita sedari kata-kata yang tak terhingga berapa jumlahnya. Meski tanpa bertanya, tanpa berucap apa, bahkan mungkin tanpa tersadar; kau rebahkan Kepalamu di Pundak seorang aku---meski tanpa bersentuhan, aku merasakan itu. ~ @bang_dho"

Sontak, Sri bertanya. "Apakah aku yang ada di tulisanmu itu? Seorang aku yang menyandarkan kepala di pundakmu, meski tanpa sadarku? Apakah sandaran itu beban bagimu; atau hanya sekedar kata yang tertuang saja?"

BD kembali tersenyum dan mengucapkan langsung kata TIDAK. Sri, kamu harus tau tentang satu hal. Tangan yang gemetar, mulut yang bicara; tapi mata(Pandangan) yang menyampaikan. Artinya, tanganku menuliskan apa-apa yang tengah aku rasakan. Mulutku menyampaikan pesan pada aksara demi aksara yang aku tuliskan. Sedangkan mata, mata berani menilai dan menyampaikannya ke pikiran; tentang apa yang telah aku tuliskan ringkas.

Sri hanya bisa mengangguk, memahami bahasa yang BD sampaikan. Siang itu, sepoi angin mengakhiri perbincangan mereka tentang tulisan seorang BD di halaman depan Surat kabar harian. Ya, meski percaya tak percaya; di balik semua itu, cinta bersemi diantara gadis penikmat kopi dan penyair tanpa media. Walau di antara mereka tidaklah mungkin kata tidak untuk ditidakkan, begitu jua sebaliknya.

Kedekatan mereka begitu menyisir pusat syaraf. Bahaya.!!! 

"Napas rahim mengalir dari mata setia, apa mungkin sebab wajah yang berbayang di antara suara yang panjang mengajakku menulis jejak-jejak masa silam ini? Ketika ada yang memanggilku pelan, saat itu jua berbilang-bilang takdir cinta seakan berdziki, menerus-terus. ~ @bang_dho"

 

Jum'at senja pukul Enam Tiga-Puluh, aku sedang mengubah posisi tas punggung ke depan dada saat debu-debu di sekitaran Loket Jasamalindo buyar diterpa angin akibat lalu-lalang penghuni ibukota melaju kendaraannya. Beberapa kali bertanya kepada mereka(Agen) Armada bus jurusan Padang -- Solok menjawab tanya yang sama. Tidak ada bus menuju Solok lagi. Artinya, aku harus menanti meski tak tahu harus berapa lama; Trayek jurusan lain yang juga melalui Kabupaten Solok tempat Anak dan Istriku menikmati bahagia mereka.

Yang aku tau sembari menunggu armada bus apa saja berikutnya, mari berpuisi seusai melaksanakan Tiga raka'at Wajib atasku yang dinamakan Shalat Maghrib. Bisa dibilang candu, bagiku berpuisi sudah mendarah daging sedari bosan merasakan pahitnya cinta untuk yang pertama kalinya. Hehehe ... Want to Know Ajhaaa ...

19.15Wib syukurlah, masih ada armada menuju Solok. Seorang anak paruh baya bersama pasangannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tak mau bergeser dari posisi duduknya yang candu. Yaa, tepat di barisan ke tiga dekat pintu masuk mini bus yang juga aku tumpangi. Bagaimana tidak, posisinya begitu dekat dengan jendela; dimana tiupan bayu mendayu-dayu menyisir rambutnya yang menguning laksana kuah sate yang tertumpah. Sementara waktu, aku Cuma bisa tersenyum sembari berusaha menuju bangku ke empat yang masih dalam posisi kosong; tepat di samping pasangannya; gadis belia mengenakan Swetter Ungu muda. (Rejeki nggak bakalan kemana) itu yang ada di pikiranku senja itu. Hehehe ...

Pelan-pelan, armada yang aku tumpangi mulai melaju. Empat Puluh menit lamanya di tengah perjalanan, sekujur rambut beraroma Melati makin melekat di Bahu kiriku. Sementara, di kanan sana ada tempat dimana seharusnya dia bersandar. Apa mungkin dikarenakan terpaan angin yang semakin menghantarnya ke Bahuku? Atau barangkali karena aroma-aroma nakal ini sedikit menempel ke arahnya? Bisa dikata, bak tarikan maghnetik yang begitu curang menipu butir-butir pasir semaunya. Atau barangkali karena pasangannya lebih memilih menikmati sepoi angin senja di sepanjang Jalur Sitinjau Laut, menghadap ke Jendela dan dengan mudahnya melupakan dia? Bisa saja. Hehehe ...

Sial ..., Di tengah perjalanan, Pengemudi yang masih berjiwa kesatria beranggapan lobang jalanan begitu indah dan datar, lalu menghantamnya begitu saja. Eehh ... yang ada, gadis belia ini terbangun dari tidurnya sontak mengelakkan rebah kepalanya terhadapku. Lalu seketika, tanpa pamrih dan bersuara sedikitpun, ia melemparkan seutas senyuman tanpa berani memandang ke arah mataku melebihi tiga detik waktu berlalu. Yaaps betul, hanya seutas senyuman saja.

"Seperti baru kulihat kelopak mata yang membawa sayap-sayap burung ke dalam keluasan langit. Sedangkan lekuk bibir yang tampak; seakan tengah tafakur di antara rerumputan yang tumbuh membagi sunyi. ~ @bang_dho"

 

Semisal aku bertanya tentang "ada apa?" tentu tidak lah pantas, sebab dia hanya sekedar perempuan yang duduk berdekatan denganku di satu tumpangan yang kebetulan sama. Namun yang jelas, aku mendengar dia berucap "Aku tak kuat begini terus tentang kita, udahi aja; cukup" yang bunyinya terdengar seiring deru mesin yang tengah berjuang menghantarkan kami ke tempat tujuan masing-masing; Kabupaten Solok.

Dan aku, lebih dulu turun dari mereka yang masih saja menikmati perjalanan. Yah, hanya sekedar berbagi kisah kecil di perjalanan pulang menuju keluarga kecilku.

Sabtu  itu, sepasang Camar menarikan tarian Rembulan

 

Suatu ketika, Di kala itu aku

Suatu saat, Di masa itu saya

 

Hei,

Ternyata ada dua Prasa

Antara waktu yang berlalu

Dan

Waktu yang akan datang

 

Lalu, Sri?

Lalu apa?

Lalu, bagaimana dengan sekarang; Sri?

 

Bung,

Sekarang hanya waktu yang kita tempuh

Bung,

Sekarang hanya klimaks Masalalu

Bung!!!

Sekarang hanya pencapaian hingga suatu waktu!

 

Kelak?

Kelak, ya Kelak!

Bukan Sekarang!

Sekarang ini, aku ataukah saya

 

 

#CoffeeTime ~ Entah

Di sekelebat bayang-bayang penantian

Tiap waktu-Di setiap hela napasku

@bang_dho

 

 

      Ada kalanya serasa mustahil bila terjadi, meski terkadang itu nyata adanya dan tengah terjadi! Ada kalanya sebuah gurauan menjadi batu loncatan bagi setiap Insan menikmati indahnya kehidupan. Ada kalanya tiada yang percaya dengan perputaram roda-roda Jaman. Di Dimensi apa kita, kita tetaplah kita yang sedia menikmati. Di segi mana kita, kita tetaplah kita yang harus melewati. Bukankah seharusnya kita menikmati waktu? Lalu apa yang meski kita perbincangkan lagi? Jalani dan lalui. Hidup ialah Misteri.

      Lalu? Lalu bagaimana dengan pertimbangan waktu? Tentang dahulu, sekarang, ataukah nanti! Ah, yang jelas, semua patut dipertimbangkan dan tak mengenal kata tidak. Dan waktu adalah apa yang seharusnya memang sebenarnya terjadi dan berlalu.

      "Selamat pagi duniaku saat ini, apa masih ada elegi yang akan aku karyakan? Jikapun ada, tolonglah; jangan tentang cinta." Ucapan yang terus menerus terucap dari bibir seorang Sri disetiap ia berdiri sejajar dengan Cermin yang sudah bosan dengan ucapan yang terlontar sama. Sementara ia masih setia tegak-bergelantungan di dinding kanan kamar Kontrakan.

      "Selamat pagi duniaku saat ini, apa masih ada elegi yang akan aku karyakan? Jikapun ada, tolonglah; jangan tentang cinta."  Bisa dibilang, dua tahun sudah ucapan itu terlontar manis dengan senyumnya yang kritis. Bagaimana tidak, tooh satu kata 'kepergian' menjadi batu penghalang bagi Sri membukakan pintu hatinya untuk dapat mudah tersenyum menikmati perjalanannya ke depan.

     

26 Maret 2019, Universitas Ekasakti

Hufftt... Dengan lembut Ari menendangi sebongkah blok mesin sepeda Scuternya(Besi lo Bro). Bidji!!! Kenapa juga Mesin ini sampai mati? Salah saya dimana? Tentang perbaikan; hampir ditiap 2000Km Perjalanan, Oli Scuter ini saya ganti, begitu pun bahagian lain. Saringan Hawa, Oli Samping bahkan Rem sekali pun pastinya. Why? Janjiku hari ini. Tapi aku kau abaikan begitu saja, duhai Scuter tua, "Ucap Ari menunjuk Scuter yang biasa dikendarainya".

"Olinya Nggak akan tembus kan, Id?" katanya.

Ridwan dengan manjanya menggeleng saja.

Yayat menepuk bahu Ari,. Scuter Abang mungkin demam diperkara Usianya hahhaaa. Jangan ragu, ini 2019 Usia Scutermu sudah hampir Tiga Dekade berjalannya waktu.

Hahhaaaa.. Penuh galak tawa, ari menjawab... "Jangan ragu Yat, tendanganku ini hanya pemancing saja," katanya. Geser mundur Pick-up ke arah Taman Kampus, biar nanti kita gotong barang antic ini bertiga. Tapi antar saya menuju bengkel Haji Mahmud ya, beliau biasa rawat inap disana(Tunjuk Scuter tua dengan mata tajamnya).

Sesampainya di bengkel tujuan, Ari menaiki sepeda Scuternya--mendorong hingga rodanya mencecah di tanah tempat biasa Haji Mahmud menelanjangi dengan Khidmad. Ia menahan ketegakannya dengan dua kaki yang mengangkang. Pak Haji, Langgananmu kangen bengkel ini, rintihnya berseragam Putih Hitam bak pegawai Honorrer di Hari Rabu.

Terbayang lagi olehnya, ayahnya memberikan pesan khusus yang harus diperhatikan agar ia bisa tetap memakai barang antik itu. "Ari, Ini bukan punyamu, ini kepunyaan bapak yang dititip-pakaikan kepadamu, karenanya akan ada evaluasi setiap minggu atau Bulannya-tentang apakah masih layak diinventariskan apa pasnya dicabut(dijual)."

Ya! Akan tetapi, seingatnya, gertakan itu cuma efektif Tiga bulan saja, seperti layaknya Semester yang lalu. Setelah itu ia benar-benar menguasainya. Dan palingan tentang Scuter ini kini, ia akan menjadikannya hadiah utama untuk keinginan anak Sulungnya berkuliah di Jurusan Hukum. "Semoga kelak posisiku bisa kau imbangkan", Ucap sang Ayah.

Beberapa Menit berselang, Telephone genggam di saku kanan Ari berdering. (Sri Putri Tanjung) Tertulis jelas nama itu di bagian depan LCD Gadged tersebut. Namun Ari tidak mengindahkannya secara langsung. Meski dalam hatinya berkata-kata.

Tiga kali dalam waktu yang berdekatan, namsa yang indah "Sri Putri Tanjung" masih terlampir indah di LCD Gadged hadiah ulang tahun pernikahannya yang ke dua tersebut. Ari hanya membalasnya dengan pesan, nati saya hubungi, lagi di Bengkel Motor di seberang kampus Ekonomi Universitas Ekasakti.

Okey!! Empat huruf yang bermakna setuju beserta dua tanda seru yang menjelaskan penegasan terlukis di Applikasi WhatsApp Ari.

Dua Jam berlalu, 11.45Wib ...

 

Selesai sudah Scuter tua milik Ari menyerahkan sekujur tubuhnya kepada Haji Mahmud. Di perjalanannya menuju Fakultas Hukum, Ari melihat Sentya yang baru saja turun dari Angkot dan menumpangkannya menuju Kampus. Syukurlah, ada tumpangan gratis, ucap Sentya waktu itu. Kenapa baru ke Kampus, tanya Ketua kelas 2H5, Sentya menjawab; banyak cucian bang, udah Tiga hari hujan begitu setia dengan kota kita. Makanya di cuaca yang cerah ini aku bisa mengambil kesempatan mencucinya. Hehheeee... Ari hanya menjawabnya dengan senyum, sembari membayangkan sang Istri yang juga tengah sibuk-sibuknya berkemas di rumah.

Terima kasih bang, ucap Sentya. Dengan perawakan yang penuh canda, Ari menjawab... "Tertulis disini 4000 Mbak, *Dengan melihat Gadged yang berada di tangan kirinya*. Pantang untuk kalah, Sentya menjawab, Ups...Abang Gojek ya? Kirain Opang, nggak pake Tarif. Hahaha...Galak tawa mereka saling beradu dan mengalihkan pandangan Mahasiswa/I yang juga berada di Parkiran Kampus.

Dengan sigap, Ari langsung menuju local dan menemui Sri dan duduk bersebelahan. Ada apa menelephone? Maaf, tadi aku sedang di bengkel. Sri Cuma menjawab, "Kan tadi udah kamu chat di WhatsApp tentang posisimu". Oh iya, aku lupa "tangkas Ari". Tadi Dosen Hukum Perdata menanyakan, makanya aku Telephone, jawab Sri. "Itu saja" Ucap Ari, "Ya" jika ada yang lebih dari itu, mungkin bukan denganmu aku memperbincangkan; Masalah pernikahan misalnya. Hahahaa ... Tawa yang kesekian bagi seorang Ari untuk mengobati Luka di Dompetnya sebab Scuter tua.

"Mana yang lain", tanya Utari waktu itu. "Mereka palingan di Kantin depan" jawab Ari. "Baiklah, aku ke sana dulu" Ucap Utari. "Aku ikut" jawab Sri sembari berdiri mengemasi beberapa Novel yang ada di mejanya ketika itu.

"Kita Kuliah Hukum TataNegara pukul 16.00 nanti, masih ada beberapa Jam waktu yang tersisa. Apa kita tetap disini, atau pergi Karaokean?" ucap Yulia. Dengan senang hati, Sri mengangguk-angguk kecil mengiyakan ucapan Yulia. "Yang lain", Tanya Yulia. "Kami setuju saja" jawab mereka serempak. Member Card Utari kan ada, langsung aja yuuk? Ucap Ari waktu itu. "Bagaimana kalau kita mengajak BD juga? Tooh dia hobby nyanyi dan habis ini kan Dosennya kan juga nggak hadir" Ucap Utari. Tapi apakah BD bisa ikut? Kalau nggak bisa? "Kalau nggak bisa, kita saja yang pergi." Ucap Vita. (Menoleh sedikit ragu-ragu) biar aku telephone dulu, Ucap Sri.

Lagi dan lagi di hari yang sama, panggilan Sri berbalas chattingan WhatsApp. Aku sedang Kuliah Hukum Pidana, kangen ya? Canda BD dalam chattingannya melalui WhatsApp kepada Sri. "Kangen? Lumayan daripada nggak, tapi lebih kangen nungguin kamu di Kantin depan dan kita bareng-bareng pergi Karaokean; gimana?" balas Sri. Asiiappp, duluan aja nanti aku nyusul, kirim lokasi dan room berapa, jawab BD.

Okey!! Empat huruf yang bermakna setuju beserta dua tanda seru yang menjelaskan penegasan terlukis di Applikasi WhatsApp BD.

Pukul 12.40Wib ...

 

BD menelephone balik kontak Gadis Minang berparas Melayu. Langsung Sri bergegas mengangkat Telephone dan berkata "Iya,Hallo" Jawab Sri sembari keluar dari room Karaoke. Setibanya di luar, dari arah Kanan Pot bunga Kamboja yang tengah mekar, terdengar suara; "Hanya sekedar itu saja?" Tanya BD yang berdiri tegak menyuguhkan senyumnya kepada Sri.

Seperti Gadis desa yang sedang jatuh cinta di film-film India, Sri membalas senyuman BD dengan sedikit sumbringah (Hmmmm) Maksudnya Nelephone apa? Tooh kamu kan tinggal masuk room. Ya, setidaknya tanpa mengetok pintu, kenapa juga pakai Nelephone segala? Usil kah? Ucap Sri sembari meluruskan gelang ungu di lengan kanan tangannya.

Dengan sedikit gombalannya BD menjawab "Hei, aku menelephone kan  hanya untuk mengetahui keadaanmu bagaimana, masih dalam posisi merindu atau sedang menunggu kedatanganku, itu saja." Gombalmu pak tua, canda Sri ... Yaa sudah, kita cerita disini, atau barengan di dalam sana sama yang lain; tanya Sri.

Heiii, aku kesini hanya untuk mencarimu, di sampingmu, menjagamu; bahkan kalau perlu untuk berdua denganmu.(Lagi-lagi Gombalan lelaki beranak Satu ini melayang ke telinga Sri) Apa mungkin mencapai Jantung Hati? Hehehe ... Entahlah.

Menyanyikan beberapa lagu, mereka tampak riang dengan penokohannya masing-masing.

 

"Memori Berkasih" Kamu hapal lagu ini, tanya Sri kepada BD. Waw, kenapa lagu ini? Tanya balik BD saat itu. Tidak apa-apa, aku hanya suka saja lagu itu; jawab Sri. Ya sudah, seusai giliran mereka, kita duet lagu itu; jawab BD.

Ups.., "BD, yuuk kita nyanyi lagu Seventeen -- Cinta tak Bertuan" ucap Utari. Dengan senang hati, BD langsung menyambut Microphone yang disuguhkan Ridwan ketika itu. Sembari berkata kepada Sri, "Untukmu sebuah lagu dariku, nanti setelah ini baru kita menyanyikan lagu untuk kita" hehheee... Gombalan kesekian untuk Sri hari ini. Nyata oh ternyata, Dua jam waktu berselang. Tepat pukul 15.30Wib.

Aba-aba di layar Televisi Room Karaoke 210 menandakan waktu yang bersisa hanya tinggal 5Menit. Lalu kamu pikir apa? Yaps, betul. Tidaklah mungkin masih ada lagi waktu untuk mereka berduet menyanyikan lagu Jiran-Malaysia yang berjudul "Memori Berkasih" Sementara durasi lagui ini membutuhkan waktu Enam Menit.

"Mungkin belum sekarang waktunya", Ucap Sri. "Hei, waktu kita bukan hanya sekarang, tapi kini dan selamanya. Jikapun tidak bisa sekarang, mungkin karena kita tidak di posisi berdua menyanyi di sini. Andai kita berdua punya waktu, kita bisa menyanyikan lagu ini Sembilan kali bahkan lebih", Candaan BD waktu itu.

"Aduuhhh Gombalannya Basiiiii, Pak Tua; ingat Anak Istri di rumah", ucap Sri. "Looh, untuk Anak Istri tentu aku tidak lupa, karena dia Anakku." Lalu? Sanggah BD untuk kesekian kalinya? Hahhaaaaa... (Dari jawabannya yang sejengkal barusan, aku kok merasa ada yang janggal. Bagian mana ya?) Tanya Sri dalam hati. Ah, tak perlu di pikirkan sekarang. Tooh masih ada waktu-waktu selanjutnya untuk aku memikirkan hal yang sepele ini, ucapnya lagi lagi dalam hati.

"Ya sudah, Yuuk balik ke Kampus. Sabtu depan kita ulangi lagi, semoga saja di jam yang sama", ucap Utari. Mereka semua tertawa melampiaskan bahagia yang tersisa.

"Kamu masih ada Kuliah habis ini", tanya BD.

"Iya, Hukum TataNegara sama bapak Onzu", Ucap Sri.

"Kalau begitu aku gabung 2H5, soalnya jam aku sama Bapak Onzu barusan; sementara aku kan sedari tadi disini sama kalian", Ucap BD

"Enak aja gabung gabung. Bayar Dua puluh Ribu", ucap Sri.

"Begitu saja Berbayar?", tanya BD

"Hari ini mana ada yang Gratis? 2019 Bro", canda Sri sembari tersenyum.

Menangkap senyum manis Gadis Solok Selatan itu, kincir-kincir BD langsung membalas tanggapan Sri. "Itu, yang barusan aku tak pernah bayar, ya meski jarang aku dapati. Palingan hanya beberapa kali untuk dua hari dalam Satu Minggu", Ucap BD.

Sri terheran, penuh kebingungan. Sontak bertanya! "Maksudnya?"

"Itu, Senyummu. Gratiskan untukku? Entah kalau untuk yang lain", Hehehe...

"Waah, Pak tua makin parah". Tanggap Sri kembali tersenyum riang."

"Tuuh kan, dapat Gratis lagi." *Ngakak* BD tertawa layaknya anak muda lupa Usia. Hehehe ...

Setibanya di kelas, beberapa menit berselang, Sentya menghubungi BD via Telephone genggam di tangan kirinya.

"BD masih kuliahkan besok?"

"Insya Allah iya", jawabnya. "Memangnya kenapa Tya? Kangen ya? Hehheee..", candaan BD Jum'at sore itu.

"Uhhh..Ingat Anak Istri bang", Ucap Tya sembari tertawa.. hehehe

"Besok sedari Solok, singgahi tya di PT tempat Tya kerja ya. Sekalian jemput, itupun kalau Ikhlas. Kalau nggak ikhlas, ya Paksakan sampai ikhlas", candanya...

"Ups, Maaf dek, salah sambung. Saya bukan Gocar atau Grab. Hahahaaa" jawab BD.

"Tya serius lo bang, jemput ya. Barengan kita ke Kampus."

"Insya Allah, iya. Nanti saya kabarkan kalau ke Padang." jawab BD.

Sabtu, 27 Maret 2019. 17.30 Wib

 

Pagi itu, gerimis menjadi topik pernyataan demi pernyataan untuk sebuah pertanyaan bagi seorang BD dalam menghasilkan karya yang tak kunjung dibukukan. Mungkin saja bersebab tiada takdir yang tertuliskan untuk terlahir sebagai seorang Penulis. Hehheee ...

 

"Apakah gerimis bisa dilogikakan kesedihan yang mendera? Atau sebaliknya, setelah adanya tangisan? Menurutku cinta adalah sebuah perasaan yang diberikan oleh Tuhan pada sepasang manusia untuk saling mencintai, saling memiliki, saling memenuhi, saling pengertian dan satu hal pasti; saling membutuhkan. Indah bukan? Tetapi faktanya tak semua insan bernyawa di dunia ini yang bisa menikmati."

 

Perjalanan pagi ini, aku ditemani embun. Bias-bias gerimis tak lagi ada ketika perbatasan Ibukota sudah terlihat samar. Sinar matahari sudah mulai menyayat di atas langit Barat Sumatera. Yang artinya kegiatan para manusia sudah dimulai lagi dengan kesibukan demi kesibukannya masing-masing. Dimana, Jalan raya semakin ramai karena waktu yang bertengger di jam tangan manusia-manusia itu sudah semakin mendekati pukul 07.00 Wib.

 

07.30 *Aku sudah di depan Kontrakanmu.* Isi Chattingan BD kepada Sri via Applikasi WhatsApp.

Sesaat berhenti, mata BD terpana pada satu titik di Parkiran sebuah Kontrakan. Sekuntum Mawar Putih, masih mekar lengkap dengan sepucuk surat yang dibagian sampul depannya bertuliskan "Sri, semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu. ~ Entah".

*Senyum miris* Kenapa juga senyuman menghiasi wajahku ketika aku membaca kata-kata ini? Siapa pemiliknya? Ada apa gerangan! 2019 masih berlakukah surat-menyurat untuk rasa yang sedianya ada?

Beberapa menit berselang, Sri keluar dari Kontrakannya. Sembari berkata, "Pagi BD, udah lama menunggu?". Pagi juga, ni baru sampai dan baru saja menikmati sebait syair di selembar Surat tak bertuan.

Penuh rasa penasaran, Sri menjangkau sepucuk surat di atas meja di beranda depan kontrakan tersebut. Lalu Sri, tersenta penuh cengang saat membaca bait demi bait yang terlampir disana.

"Semoga segera dipertemukan; kita, aku sedia untuk setia merindu"

 

Di kamar kejenuhan, tiba-tiba ingatan bangkit dari kasur yang gelisah
Kaki ini berat melangkah; bahkan enggan untuk membuka mata-mata jendela yang terlelap
Segala peristiwa, aku menganggapnya purba; lalu gugur, telah gugur bagai hujan mengekalkan keabadian.

 

Mengalir, beterbangan, bahkan hinggap sehelai Daun bertuliskan sejarah
Tentang cipta yang menjanjikan perkelahian, melahirkan tangisan dan menjauhkan tawa kita

Sri, adakah kebahagiaan yang kekal di hati layaknyaq puisi yang terlahir hari demi hari bertuliskan "SRI" namamu?
Sri, jika segalanya berlalu di jalan masa lalu, lantas apa itu masa depan?

Apakah hantu-hantu yang mendewasakanku dengan ketakutan; atau hanya bait-bait hidup yang tak jua lelah mencumbui tulisan?

 

#CoffeeTime ~ Entah

Di sekelebat bayang-bayang penantian

Tiap waktu-Di setiap hela napasku

 

Seketika dalam hening, entah siapa lah ini. Puisi ke tiga di "Ahh, tampaknya pagi ini saya ingin bercerita mengenai Pemulung perasaan. Bagaimana kalau kita sarapan dulu? Mumpung masih ada waktu satu jam menjelang mata kuliah Hukum Internasional pukul 09.00 Nanti? Ucap Sri."

(Hehheee ... ) Dengan tawa kecilnya yang khas, BD mengiyakan Sri yang sedikit tertegun memandang jauh ke arah Timur Matahari yang sedang gagahnya mengusik adanya embun di ribuan dedaunan yang tak bosan-bosannya melambaikan kenyamanan di mata para perindu semu.

Perjalanan mereka diiringi rasa sunyi. Yang berkuasa di antara mereka hanyalah deru mesin yang tak henti-hentinya melaju di jalanan ibu kota. Berselang beberapa detik, terdengar suara "Kemana tujuan kita?" ucap BD.

Melihat ke arah BD yang sedang setia menggenggam Setir, Sontak Sri menjawab, "Sesukamu aja. Pikiran ini kalut, percuma kalau kita kuliah hari ini, nggak bakalan nyambung antara hati dan otak. Lagi Mager. Tangan kirinya meremas erat sepucuk surat yang ia terima.

"Kita atau kamu yang kalut?" ucap BD.

(Sri hanya diam memandangi BD derngan wajah sinis).

"Baiklah, kita akan menuju Pantai. Pantai dimana surat yang berada di genggamanmu bisa kau hanyutkan dan lenyap begitu saja. Hehehe ... Atau bisa kau simpan rapat di tiap jengkal memori pikirmu untuk waktu yang lama. BD tertawa kecil sembari menghibur hati yang sedang terbelah oleh keadaan.

"Sri hanya mengangguk dan meluruskan lagi tempat duduknya menghadap ke depan."

Sesampainya di Pantai Padang, BD membiarkan Sri meninggalkannya duduk manis di sebuah Caf kecil di Selatan Gedung Balai Budaya Sumatera Barat. Dua Cangkir Kopi berada di antara dia dan bungkusan tembakau liar yang terkemas rapi. Tapi matanya tak memperhatikan itu, hanya memandangi Sri melangkah jauh dari tempat dia duduk menikmati sepoi hembusan bayu pagi itu. Memainkan Imajinasi lewat Gadged yang ia genggam, BD menulis sebait frasa;

"(Jikalau deburnya mempunyai ritma, tentu Ombak akan menjadi nada-nada yang akan menghibur seluruh penghuni alam. Jikalau cinta bisa diatur dan menjadi cerita, tentu saja seluruh alam akan memainkan irama-irama bahagia saja; lalu kesedihan dikemanakan?)"

                                  

Ahh... Daun-daun yang lepas dari batangnya melayang serupa Camar yang setia menyuarakan suaranya bagi mereka sesama; tapi kenapa hanya ke arah bawah saja daun ini gugur? Diiringi suara riuh angin yang tak bosan-bosannya bergantian dengan sepi. Sri memandangi sekelilingnya pagi itu. Tak ada siapa-siapa selain dirinya, hamparan lautan, angin, dan pepohonan. Sri masih berdiri.

Namun kemudian ia melihat sebuah Novel dan Koran tertinggal di bangku yang baru saja akan dia duduki. Pemilik ini mungkin sengaja meninggalkannya? Atau barangkali tertinggal. Buru-buru dijangkaunya novel itu dan hatinya demikian bergetar. Terbersit di pikirnya, " Apakah di dalam novel itulah seharusnya ia berada sekarang? Jika saja iya, bagaimana cara ia pulang ke sana?"

Sebelum ia meraih koran yang hampir terseret angin, Sri tersenyum membaca kolom di bagian kiri bawah halaman depan Koran tersebut. Gusarnya seketika hilang, pikiran-pikirannya yang tadinya jenuh kini kembali terbuka dan meluas entah kemana. Memutar arah Sembilan Puluh derajat, Sri berteriak riang "BD sini, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

*Seruput kopi* BD berjalan pelan ke arah Sri, layaknya biasa; di genggaman kiri jemari telunjuk dan jari tengah terselip udutan cinta yang dinamakan "Pria punya selera" tak lagi waah, tooh udah biasa saja. "Baca ini" ucap Sri sembari tersenyum riang. Terlampir jelas tulisanmu di Koran ini. "Aku tau inisialnya, @bang_dho ini pasti tulisanmu.iya kan, ucap Sri?" BD hanya mengangguk dan berharap Sri memahami makna kata-katanya tersebut.

"Banyak perkara menjadi cerita sedari kata-kata yang tak terhingga berapa jumlahnya. Meski tanpa bertanya, tanpa berucap apa, bahkan mungkin tanpa tersadar; kau rebahkan Kepalamu di Pundak seorang aku---meski tanpa bersentuhan, aku merasakan itu. ~ @bang_dho"

Sontak, Sri bertanya. "Apakah aku yang ada di tulisanmu itu? Seorang aku yang menyandarkan kepala di pundakmu, meski tanpa sadarku? Apakah sandaran itu beban bagimu; atau hanya sekedar kata yang tertuang saja?"

BD kembali tersenyum dan mengucapkan langsung kata TIDAK. Sri, kamu harus tau tentang satu hal. Tangan yang gemetar, mulut yang bicara; tapi mata(Pandangan) yang menyampaikan. Artinya, tanganku menuliskan apa-apa yang tengah aku rasakan. Mulutku menyampaikan pesan pada aksara demi aksara yang aku tuliskan. Sedangkan mata, mata berani menilai dan menyampaikannya ke pikiran; tentang apa yang telah aku tuliskan ringkas.

Sri hanya bisa mengangguk, memahami bahasa yang BD sampaikan. Siang itu, sepoi angin mengakhiri perbincangan mereka tentang tulisan seorang BD di halaman depan Surat kabar harian. Ya, meski percaya tak percaya; di balik semua itu, cinta bersemi diantara gadis penikmat kopi dan penyair tanpa media. Walau di antara mereka tidaklah mungkin kata tidak untuk ditidakkan, begitu jua sebaliknya.

Kedekatan mereka begitu menyisir pusat syaraf. Bahaya.!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun