"Jika kamu bekerja untuknya?" tanya Quinna.
Wisnu menggeleng. "Aku seorang jurnalis independen," katanya. "Aku tidak bekerja untuk siapa pun."
"Tapi dia menawarimu akses eksklusif dengan imbalan membuat berita positif tentang dia, kan?"
"Bukan seperti itu," katanya.
"Kamu tidak bisa melihat bahwa dia telah merusakmu?"
"Tidak!" sanggah Wisnu, masih tak mampu balas menatapnya. "Aku seorang jurnalis. Aku tidak bisa dirusak."
"Dia akan menang karena kamu, dan kemudian dia akan merusak PILKARDUS."
Wisnu tertawa. "Dari semua orang, kamulah yang paling tahu bahwa PILKARDUS tidak bisa disogok. Ini tidak seperti dia akan menjadi presiden seluruh negara seperti dulu, jadi bagaimana dia akan merusak sistem? Dia hanya akan memerintah satu dari empat belas kelurahan di kota kita, hanya satu dari delapan puluh tiga ribu empat ratus empat puluh tujuh desa dan kelurahan yang ada di negara ini. Setiap kelurahan atau desa merupakan wilayah semi-otonom sehingga dia tidak akan memiliki pengaruh politik di luar keluarahannya. Kamu tidak perlu takut padanya sebagai lurah."
Quinna menggelengkan kepalanya. "PILKARDUS mendengarkan kita," katanya.
"Iya!" dia berkata. "Itulah keindahannya karena setiap orang memiliki suara dan setiap orang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi negara, jadi bapakmu--"
"Dia bukan bapakku!" Quinna mendesis marah.