Tiga hari setelah dibebaskan dari penjara, bapaknya mengumumkan bahwa dia akan mencalonkan diri untuk menjadi Lurah.
Saat itu Quinna sedang di workshop-nya. Jari-jarinya menari di atas keyboard yang kotor, baris data mengalir di layar datar kusam. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik dansa elektronik.
Kemudian, Qushe, avatar digital dan asistennya, mematikan musik dan memberi tahu dia peristiwa tersebut. Meskipun Quinna tidak memasukkan nama bapaknya di antara hal-hal yang dia anggap penting, meskipun dia bahkan tidak memberitahu siapa pun bahwa dia adalah bapaknya, Qushe meungkin menganggap hal itu adalah sesuatu yang ingin dia ketahui.
"Bapakmu ingin membangun KUD," kata Qushe, dengan suara yang persis suaranya sendiri, mengucapkan 'kaud' seolah-olah akronim itu bukan singkatan. "Mau lihat podcast-nya?"
Quinna melihat ke pojok atas dinding tempat dia memasang surround sound system, dan memperhatikan bahwa seekor laba-laba hitam membangun jaring di sekitar speaker utama. Dia bertanya-tanya apakah dia harus menangkap laba-laba dan menjadikannya hewan peliharaan, atau apakah dia harus menganggapnya sebagai makhluk yang menjijikkan dan membunuhnya dengan semprotan anti serangga.
Quinna ingin menjawab 'tidak', tetapi suaranya tidak keluar. Lampu kamera di samping speaker berkedip, memungkinkan Qushe untuk melihat wajahnya, dan dia pasti memiliki ekspresi yang diinterpretasikan Qushe sebagai jawaban 'ya', karena aplikasi podcast langsung menyala.
Wisnu, pacarnya, muncul di layar datar. Quinna menjadi emosi. Marah. Mengapa Wisnu tidak memberitahunya sebelum memuat berita seperti itu?
Podcast hanya berlangsung sekitar enam puluh detik, trailer untuk memancing pemirsa agar menonton versi yang lebih panjang. Setelah trailer berakhir, musik tidak dilanjutkan dan Qushe tidak bertanya apakah dia ingin menonton seluruh berita karena, kali ini, Qushe menafsirkan ekspresinya dengan benar. Quinna ingin melihat ke cermin untuk melihat apa yang dilihat avatarnya. Dia tahu avatar tidak bisa membaca pikiran, meskipun beberapa orang menganggap avatar mereka memiliki kemampuan supranatural layaknya cenayang. Cukup pintar untuk mengetahui bahwa dia sedang memikirkan satu-satunya foto 'keluarga' dari masa kecilnya, tetapi apakah tidak cukup pintar untuk mengetahui emosi membingungkan yang sekarang berkecamuk di dalam dirinya?
Dalam foto itu, ibunya duduk di sofa merah bersama bapak dan dia bayi yang di pangkunya, memegang kumisnya. Mereka semua sedang tertawa lebar.
Ibunya bilang dia suka saat dia bermain dengan kumis bapak yang besar dan panjang sehingga dijuluki Macan, meskipun kepalanya botak licin. Dia tertawa terbahak-bahak setiap kali Quinna memainkan kumisnya. Saat itu, fotografer istana sedang mencoba mengambil potret keluarga, tetapi Quinna tidak dapat menahan tangannya yang mungil.
Bapaknya adalah Presiden, ibunya merupakan Ibu Negara, dan ini adalah foto terakhir bapaknya sebagai orang bebas karena satu jam kemudian bapak ditangkap.
Podcast Wisnu akan menjadi viral, pikirnya.
Dua puluh empat tahun adalah waktu yang lama. Dunia seperti ketika bapaknya memerintah tak ada lagi. Negara telah menjadi entitas baru yang tidak akan dia kenali. Tetapi rencananya untuk maju menjadi lurah akan menjadi berita besar. Mantan Presiden ingin menjadi lurah sebuah desa. Mungkin Wisnu, sebagai satu-satunya jurnalis yang masih bertahan di situ, akhirnya akan mendapatkan peluang besar.
Mungkin aku akhirnya akan memegang kumisnya lagi ....
Quinna menutup matanya. Kenangan lama yang tercipta dari khayalnya membanjir, membuatnya hanyut terbawa gelombang pusaran ringan, memaksanya tersenyum bahkan ketika dia mencoba mengusir lamunan itu.
Dia ingat menggosok-gosokkan jarinya, merasakan tekstur brewok yang lembut seperti bulu kucing, dan dia bisa mendengarnya suara tawanya sendiri yang kegelian saat meminta bapak berhenti menggelitiknya.
Bapak dikirim ke penjara sebelum Quinna berumur satu tahun, namun dia tidak merasakan ketidakhadiran lelaki itu sepanjang hidupnya. Ibunya membuat Quinna merasakan kehadiran bapak di semua hari ulang tahunnya yang mereka rayakan secara diam-diam di bangunan istana kosong yang mereka sebut rumah, hanya mereka berdua.
Mama menceritakan kisahnya tentang bapaknya, tentang brewoknya yang lebat dan tebal dan tawanya yang lebar. Ibu menunjukkan video tentang bapaknya  sebanyak enam belas klip, masing-masing tidak lebih dari dua puluh detik, dia tertawa ketika Quinna menggelitik rambutnya, dia memberi makan seekor merpati, dia membelai seekor kucing, dia berpakaian seperti badut untuk membawa hadiah khusus untuk Quinna di hari ulang tahunnya. Apakah itu bapak, atau ibu membayar seseorang untuk menyamar jadi bapak?
Bapak adalah teman imajinernya semasa kecilnya, dan dia telah menunggu seumur hidupnya untuk bisa bertemu dengannya.
Untuk hari dia benar-benar bisa bermain-main dengan kumisnya.
Ribut-ribut di luar membuyarkan lamunannya. Quinna membuka mata, melirik sekilas ke jam digital di layar komputernya. Hampir tiga puluh menit berlalu sejak podcast Wisnu.
Terdengar nyanyian yang membahana di luar, lagu yang hanya dia lihat di film dokumenter tentang bapaknya. 'Pemimpin sejati! Wilogo! Hei! Hei! Wilogo!'
Apakah bapak ada di jalan depan workshop-nya?
Quinna mengintip keluar melalui jendela pajangan besar, tempat dua android berkarat melambai pada orang yang lewat, sebagian mengaburkan pandangannya.
Dia mendirikan bisnis teknologinya di tempat yang dulunya adalah toko kelontong yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-haria seperti gula, sabun, dan mi instan. Quinna melepas rak-rak dan menggantinya menjadi dua buah meja. Satu terisi rongsokan elektronik, suku cadang robot yang rusak, komputer, dan headset 3D virtual. Semuanya perlu diperbaiki.
Meja yang lebih kecil hanya memiliki layar tiga puluh dua inci, keyboard, dan teleponnya. Di sudut belakang terdapat lemari kaca dengan mendingin berisi empat server yang digunakannya untuk penyimpanan data.
Jendela tampilan tidak banyak berubah dari sebelumnya. Kusen aluminium kusam berjamur, dan nama toko lama masih membayang karena dia gagal membersihkan cat permanen. Neon sign tetap menyala pada siang hari, meski tdak seterang saat malam. Nama usahanya menyala berkedip-kedip: Cyber Princess. Quinna sukan berkhayal bahwa dirinya adalah seorang putri yang kerajaannya dicuri oleh ibu tiri yang jahat.
Sekelompok kecil orang, tidak lebih dari selusin, berjalan melintas dan dia melihat penyebab keributan itu. Mantan presiden ada di jalan, tepat di luar workshop-nya.
Untuk pertama kalinya setelah dia benar-benar bisa mengingat, dia melihatnya secara langsung.
***
Salah satu yang melekat dalam ingatan Quinna adalah mencoba mengunjungi bapak di penjara bersama ibunya, dan penjaga penjara mengancam akan menjebloskan mereka ke penjara jika berani muncul lagi. Quinna mengetahui, bertahun-tahun kemudian, bahwa istri pertama bapak mempunyai posisi dalam pemerintahan transisi. Dia memimpin komisi yang mengawasi perpindahan negara dari sistem presidensial terpusat ke 'sistem demokrasi modern', PILKARDUS, sebuah kecerdasan buatan yang memungkinkan delapan puluh ribu lebih lurah bersama-sama menjalankan negara seolah-olah mereka adalah sekelompok orang bijak yang duduk di balairung mendiskusikan masalah di wilayah mereka.
Rumor mengatakan bahwa dia telah mengatur kejatuhan suaminya, bukan demi kemajuan bangsa, tetapi sebagai pembalasan atas perselingkuhan bapak dengan ibunya. Maka saat bapak di penjara, dia melarang ibunya untuk bertemu dengannya. Ketika akhirnya larangan itu dicabut, Quinna masih remaja, dan takut bertemu dengan bapak.
Sekarang, dia melihatnya dan tidak tahu harus berbuat apa.
Dia mengenali bapaknya hanya karena dia menjadi pusat perhatian dan namanya dielu-elukan. Lelaki itu sangat berbeda dengan bayangan yang dipeliharanya dari kecil. Tak ada lagi brewok dan kumis.
Apa yang akan dia lakukan?
Sinar matahari menyinari kepalanya yang botak, yang membuatnya tampak seperti patung perunggu. Kurus, mengenakan kemeja putih dari dua puluh empat tahun silam ketika dia jauh lebih gemuk.
Ini bukan presiden yang duduk dengan ibunya di sofa merah, dengan pipi tembem bulat yang sepertinya akan jatuh lepas dari wajahnya. Tatapannya bukan mata bahagia yang menyombongkan diri sebagai ayah yang baik.
Ini bukan presiden yang dia impikan.
Tapi senyumnya tetap sama. Cara dia mengacungkan tinjunya ke udara berbau matahari persi fotonya yang paling terkenal, mengabadikan hari dia naik ke tampuk kekuasaan setelah pemilihan presiden yang penuh intrik.
Dia adalah seorang insinyur, baru berusia tiga puluh lima tahun, tetapi dia memenangkan cinta rakyat yang bosan dengan gurita oligarki. Kebijakannya memberikan pengampunan pajak, reformasi lahan dan perlindungan usaha kecil dan menengah memungkinkan penduduk lokal untuk mengendalikan ekonomi.
Kampanye nasionalisasi perusahaan transnasional menimbulkan kemarahan dan sanksi internasional, tetapi itu memperkuat statusnya sebagai penyelamat bangsa dan negara. Â Di bawah kepemimpinannya selama lima belas tahun, negara menjadi sangat makmur.
Dia berhenti di bawah pohon kecil tepat di depan workshop Quinna, menyapa seorang mekanik tua yang pernah menjadi pengawal istana saat awal pemerintahannya dulu. Montir itu berada di bawah mobil jip tua, hanya kepalanya yang menyembul keluar, dan dia meneriakkan slogan yang belum pernah digunakan siapa pun selama lebih dari delapan puluh tahun. "Merdeka atau mati! Sampai titik darah penghabisan!" Bapak tertawa terbahak-bahak, tawa yang mendekati apa yang Quinna bayangkan akan terdengar seperti itu.
Dia berjabat tangan dengan montir tua itu dan dengan semua orang, kemudian melambai ke kerumunan yang tak seberapa, seolah-olah kembali ke masa ketika ribuan pendukung memenuhi jalan-jalan dengan bendera partainya.
Dia melihat ke arah toko Quinna, dan gadis tersentak ketika mata mereka bertemu, meskipun dia tahu lelaki itu tidak bisa melihatnya karena sinar matahari memantul dari kaca jendela. Yang bisa dia lihat hanyalah robot dan neon sign berkedip-kedip dengan nama workshop, tapi tatapannya menyebabkan tubuh Quinna menggigil. Dia pamit diri dari orang-orang yang masih bersorak-sorai, lalu berjalan ke workshop Quinna.
Dia ingin melompat ke belakang komputernya dan kembali bekerja, berpura-pura bahwa kehadiran lelaki itu tidak memengaruhinya, bahwa dia tidak bermimpi tentang seorang gadis kecil yang bermain dengan brewok bapaknya, tetapi dia membeku.
Ketika lelaki itu masuk, orang banyak berhenti berteriak dan berkumpul di sekitar montir yang berkisah tentang seorang presiden melawan hegemoni Barat, yang pendengarnya terlalu muda saat peristiwa itu terjadi.
Dia berdiri tepat di ambang pintu, seolah menunggu sambutan. Matanya berputar melihat segala sesuatu, menghindari menatap Quinna seolah-olah dia tidak melihatnya.
Detik-detik berlalu. Quinna tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan kepadanya.
Akhirnya, pandangan mereka bertemu. Bapaknya tersenyum kecil, seolah-olah dia baru saja melihatnya.
"Siang," ujarnya. Kata itu keluar seolah-olah sedang membersihkan tenggorokannya.
"Anda mau apa?" Quinna tertegun dengan kata-katanya sendiri. Kalimat yang diperuntukkan bagi orang-orang asing yang tidak memiliki hubungan keluarga.
Dia mengingatkan dirinya bahwa baru tadi melamun tentang brewok bapak, tetapi jantungnya berdetak cepat dan dia mengepalkan tinjunya untuk menghentikan gemetar tangannya.
"Saya---" lelaki itu bicara, dan kemudian berhenti tiba-tiba.
Quinna menyelesaikan kata-kata itu dalam pikirannya. Saya ingin menjadi bapakmu. Saya ingin menebus ketidakhadiran saya. Saya ingin meminta maaf untuk .... Begitu banyak hal yang ingin dia katakan.
Lelaki itu berdeham dan menatap ujung sepatunya, mengerutkan kening pada permukaannya yang mengilap seolah-olah lumpur menempel di situ.
Kulit buaya, pikir Quinna, bertatahkan emas. Emas asli. Sepatu sebelum adanya PILKARDUS. Ibunya telah menyimpannya untuknya. Penampilannya bagai cowok remaja tanggung yang mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu seorang gadis betapa dia mencintainya. Quinna ingin tertawa.
"Saya mencalonkan diri untuk pemilihan Lurah," akhirnya dia berkata. Dia menatapnya, dan menatap tepat ke matanya. "Kamu bisa membantu saya untuk menang."
Quinna tertawa. "Gue?" Dia ingin menjawab secara formal, tetapi malah yang tercetus logat Betawi dan dia membenci dirinya sendiri karenanya.
Lelaki itu melirik ke meja komputernya, ke bagian elektronik yang rusak di atas meja panjang, ke server yang berkedip dalam kotak yang dingin. Dia menoleh dari balik bahunya ke orang-orang di luar, yang telah kembali bernyanyi. Seseorang memberi isyarat kepadanya, ingin dia menyelesaikan urusan yang membawanya ke workshop kecil itu, apa pun itu.
Mungkin mereka mengira akan seperti masa lalu ketika dia menraktir makan, minum dan membagikan bingkisan dan uang receh untuk ditukar dengan dukungan suara. Mungkin mereka pura-pura bodoh untuk mendapatkan uang yang mungkin dia sembunyikan sewaktu masih berkuasa dulu.
"Mari kita bicara di suatu tempat yang lebih tenang," katanya, mengangguk ke arah ruang belakang. Quinna mengeluarkan ponselnya dan mematikannya agar Qushe tidak mendengarkan.
"Gue sibuk," katanya.
Lelaki itu ragu-ragu sejenak, dan kemudian menutup pintu. Suara nyanyian di luar berhenti, dan seseorang mengerang kecewa.
Bibir Quinna terbuka hendak memprotes, namun batal. Sebagian dari dirinya berharap brewok lelaki itu akan muncul secara ajaib, dan lelaki bertampang tiran ini akan berubah menjadi ayah impiannya, teman rahasia di masa kecilnya. Dia berjalan ke pintu belakang dan berhenti sejenak, meskipun tidak terkunci.
Dia menghela nafas. Dia melirik ponselnya yang tegeletak di meja, bertanya-tanya apakah seharusnya dia membawanya untuk merekam apa pun yang dikatakan bapaknya, tetapi dia memutuskan mungkin yang terbaik adalah percakapan mereka adalah masalah pribadi. Dia membawanya ke ruang belakang.
Ruang itu gelap temaram.
Quinna membuka daun jendela kayu, satu-satunya jendela, dan sinar matahari yang terang menerobos masuk menerangi ruangan. Sebuah sofa merah mengisi sebagian besar ruang yang tidak ditempati dipan.
Lelaki itu mengelus sofa, senyum kecil mekar di wajahnya.
Sofa itu itu sofa yang terdapat di foto. Warnanya telah memudar dan berlubang, dan beberapa bulan yang lalu Quinna mengusir sekelompok tikus yang menjadikannya rumah mereka, tetapi masih memiliki nuansa mahal seperti dua puluh tahun yang lalu.
"Kami mengimpor ini dari Australia," katanya. "Ibumu menginginkan hadiah unik untuk keluarga kita."
Quinna duduk di tepi tempat tidur. Lelaki itu melihat ke sofa, ragu-ragu, mungkin bertanya-tanya apa yang telah dialami furnitur itu sehingga terlihat sangat menyedihkan, mungkin takut akan mengotori celana dan baju putihnya. Seperti sepatu itu, ibunya telah menyimpannya selama bertahun-tahun, dan sekarang tergantung longgar di tubuhnya, hampir seperti orang-orangan sawah.
Akhirnya, dia membentangkan tisu sebelum duduk, dan kemudian duduk dengan hati-hati, seolah-olah sofa itu akan roboh karena berat badannya.
"Apakah kamu senang tinggal di sini?" dia bertanya.
Ibunya tinggal di satu-satunya istana yang gagal disita oleh pengadilan dari mereka. Gedung itu telah disertifikatkan atas nama ibunya beberapa bulan sebelum kejatuhannya, tak lama setelah kelahiran Quinna, dan dia memiliki dokumen yang membuktikan bahwa dia telah membelinya secara sah dari negara.
Jauh dari kemewahan di masa jayanya, tanpa ada pelayan atau pengawal, ibu menjaganya dengan tetap bersahaja, menunggu kepulangannya dari penjara. Quinna pada awalnya mencintai istana. Sebagai seorang gadis kecil, banyak kamar kosong adalah taman bermainnya, dan mereka menjadi tempat pestanya ketika jiwa remaja menguasai dirinya. Kemudian, ketika dia berusia sekitar lima belas tahun, dia menemukan pintu rahasia ke ruang bawah tanah, dia menemukan sepotong jari manusia terkubur dalam debu di lantai.
Ibunya tidak bisa menjelaskan tentang jari itu.
Quinna kemudian mulai mempelajari sejarah negerinya, dan citra bapaknya, presiden yang membiarkan seorang gadis kecil bermain dengan brewoknya, menghilang. Dia mulai melihat hantu di rumah. Badan intelijen pernah menggunakannya sebagai rumah aman.
Banyak politisi oposisi meregang nyawa di ruangan itu. Beberapa kali, dia berpikir mendengar rintihan dan jeritan mereka. Dan sekarang dalam mimpi buruknya, dia bermain dengan tangan yang terputus, menggunakannya untuk mengelus brewok bapaknya.
Dia tidak pernah memberi tahu ibunya mengapa dia pindah.
"Jangan lama-lama," kata Quinna. "Gue banyak kerjaan."
Dia tersenyum. "Cyber Princess nama yang bagus," katanya.
"Nggak ada hubungannya dengan kam---... Anda," kata Quinna ketus.
"Betulkah?" dia berkata. "Saya tidak bilang---"
"Tiga menit," potong Quinna.
Dia diam sejenak, lalu menghela nafas yang nyaris tidak terdengar.
"Kenapa kamu tidak berbicara dengan ibumu?" dia bertanya.
Tenggorokannya tercekat. Jari-jarinya mencengkeram tempurung lututnya dan menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah, menahan diri agar tidak berteriak.
Dia tidak pernah mengerti mengapa ibunya tetap mencintai bapaknya, mengapa dia menyimpan baju-bajunya dengan rapi di lemari menunggunya kembali.
Dia telah membaca tentang perempuan-perempuan yang diperkosanya, berapa anaknya lahir karena itu, dan Quinna bertanya-tanya apakah dia termasuk dalam data statistik itu, apakah pernikahannya dengan ibu dimulai dengan kekerasan.
Mengapa ibu masih mencintainya?
Bahkan, terpikir olehnya bahwa ibunya mungkin memiliki andil dalam kejahatan yang dilakukan lelaki itu, karena tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana dia, dari semua perempuan, mendapatkan sebuah istana.
Pikiran itu yang membuat Quinna melarikan diri dari ibunya. Dia dan Lebih dari dua tahun dia tidak menemui ibunya meskipun mereka tinggal di kota kecil yang sama. Quinna sempat berkeinginan pindah ke kota besar, tapi jauh di lubuk hatinya dia mencintai ibunya. Jauh di lubuk hatinya dia berharap bapaknya adalah orang yang tertawa terbahak-bahak ketika seorang gadis kecil bermain dengan brewoknya, pemimpin besar yang menyeret negaranya keluar dari rantai kemiskinan dan neokolonialisme, bukan monster dalam buku-buku sejarah. Jauh di lubuk hatinya, dia berharap suatu hari ibunya akan menjelaskan semuanya dan semuanya akan baik-baik saja.
"Dua menit," katanya.
Mantan Presiden menatapnya untuk waktu yang lama, begitu lama sehingga dia pikir dia tidak akan menjawab.
Mata lelaki itu berkedip-kedip, dan Quinna bertanya-tanya apakah itu air mata yang tidak mampu menetes? Dia bertanya-tanya, apakah itu wajah seorang lelaki tua yang telah kehilangan segalanya, yang berusaha memenangkan hati satu-satunya anak yang dia miliki dengan seorang perempuan yang tetap mencintainya setelah sekian lama?
"Sekarang ini," akhirnya dia berkata, "saya akan mengatur aksi unjuk rasa, mencetak poster, dan baju kaos --"
"Anda membunuh lawan Anda," Quinna menyela. Dia terkejut karena kalimat yang keluar dari bebirnya seolah-olah dia sedang mengomentari sepatu kulit di kaki pria itu.
Dia mengerutkan kening. Bibirnya bergetar saat berjuang untuk menjawab pertanyaan Quinna. Perhatiannya tertuju pada sepatunya yang berkilauan di kegelapan seperti pantulan sinar magis.
"Mereka memanfaatkan aku." Bukan lagi 'saya'. Suaranya berderak sehingga Quinna ingin memberinya segelas air. Dia membenci dirinya sendiri karena pikiran itu. Aku seharusnya membencinya. pikirnya.
"Mereka berpesta pora," lanjutnya dengan gigi bergemeretak. "Mereka melakukan hal-hal untuk membuat aku tetap berkuasa, tetapi ketika keadaan memburuk, mereka mengorbankanku dan terus berpesta pora." Dia terdiam, dan Quinna berpikir mungkin air mata akhirnya akan mengalir di pipi bapaknya.
"Ibumu yang---" Dia mencoba melanjutkan kata-katanya, tetapi lidahnya kelu dan dia menggigit bibirnya erat-erat, seakan-akan berjuang keras menahan air mata.
Quinna bertanya-tanya apakah bapaknya sedang bersandiwara. 'Ibunya', istri kedua yang menggulingkan suaminya sendiri, telah muncul sebagai malaikat yang telah menyelamatkan negara dari seorang revolusioner yang berubah menjadi diktator, telah menjadi ibu sebuah bangsa yang tidak membutuhkan penguasa individu atau pemerintah pusat. Namun beberapa orang telah menuduh dia munafik. Seorang oportunis.
"Bapak selalu ingin menjadi pemimpin," kata lelaki itu. "Hanya itu yang Bapak tahu," menyebut dirinya 'Bapak'.
"PILKARDUS bukan tipe kepemimpinan yang Anda tahu," kata Quinna.
"Makanya Bapak ingin ikut pemilihan," katanya, suaranya mantap. Dia akhirnya menatap Quinna. Matanya basah. "Untuk menebus kesalahan Bapak. Jika Bapak mengabdi dalam sistem yang tidak dapat rusak seperti itu, Bapak akan berdamai dengan sejarah dengan membuktikan bahwa Bapak adalah pemimpin yang baik karena Bapak dilahirkan untuk itu. Bapak akan beristirahat dengan tenang ketika saatnya tiba, dan kamu dapat membantu Bapak .... Tolonglah, bantu Bapak."
Quinna menggigil jijik, membayangkan bantuan apa yang diinginkannya. Dia pasti membayangkan sistem surat suara pada masanya dengan kotak kardus bergembok, yang mereka bukan dengan kunci untuk menentukan penguasa berikutnya, dan dia mungkin berpikir bahwa avatar adalah versi digital dari kertas suara dan PILKARDUS adalah kotaknya. Memiliki satu-satunya bisnis layanan data berbasis awan di kota kecil itu, semua orang berlangganan layanannya, membuat dia memiliki akses langsung ke avatar setiap pemilih.
"Anda ingin aku mengacaukan data avatar agar memilihmu?" Quinna bertanya, susunan kalimatnya kacau.
"Tidak!" katanya, nada terkejutnya tidak bisa ditebak asli atau dibuat-buat. "Tentu saja tidak! Itu tidak mungkin! Meski Bapak dikurung selama bertahun-tahun, tetapi Bapak tahu bahwa PILKARDUS mempunyai kecerdasan dan belajar mandiri dan terus berkembang dengan menggunakan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun dan karenanya di luar manipulasi manusia. Bapak tahu semua itu. Tidak mungkin---"
Lalu dia terdiam, seolah-olah ide itu baru saja muncul di benaknya, memunculkan ekspresi bingung di wajahnya. "Apa itu mungkin?"
"PILKARDUS bukan kotak kardus," jawab Quinna.
"Oh?"
"Waktumu hampir habis."
"Aku mencoba untuk mengerti," potongnya, sekarang ber-aku. "Kotak kardus?" Dan setelah beberapa saat, dia sepertinya menyadarinya. "Oh, oh. Maksudmu cara kita memasukkan surat suara ke dalam kotak? Ah, saya tahu, PILKARDUS bahkan bukan terdapat hanya dalam satu server dan ponsel setiap warga. Server PILKARDUS tidak seperti kotak suara kita. Ya, ya, aku tahu semuanya---"
"Jika Anda tidak memiliki hal lain untuk dikatakan," potong Quinna. "Aku banyak kerjaan."
"Dengar, saya tahu cara kerja PILKARDUS, oke? Saya akan menjadi salah satu dari delapan puluh ribu presiden gabungan dan PILKARDUS akan mengatur koordinasi untuk memerintah secara efisien. PILAKRDUS akan memberi tahu kami dan memeriksa semua keputusan kami untuk memastikan kami bekerja untuk masyarakat. Saya tahu semua itu dan saya tahu bahwa avatar mengubah setiap warga menjadi anggota parlemen di sistem lama sehingga tidak ada peluang untuk korupsi. Tidak ada ruang sama sekali. Bagaimana bisa saya---"
"Anda hanya buang-buang waktu jika mencoba meyakinkanku," potong Quinna.
"Tentang avatar," kata bapaknya. "Saya tidak meminta kamu untuk mengubah mereka. Tapi apakah ada cara---yang mungkin kamu bisa, saya tidak tahu---berkampanye kepada mereka?"
Quinna sama sekali tidak punya keinginan untuk menjelaskan bahwa PILKARDUS secara otomatis menghapus iklan politik, jadi dia membiarkannya mengoceh.
"Kamu bisa membuatnya untuk meyakinkan pemakai mereka bahwa saya adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini, dan karena semua orang bergantung pada mereka untuk keputusan tata kelola.... Dengar, saya punya tabungan. Saya bisa saja pergi ke teknisi di kota besar dan memintakan mereka menggunakan cara lain untuk menargetkan pemilih, tetapi saya bertanya kepadamu karena--" dia berhenti, dan Quinna bisa melihat dia sedang mempertimbangkan kata-kata berikutnya dengan hati-hati, "-- putriku."
"Kamu bukan bapakku," balasnya cepat. Begitu gampangnya sehingga mengejutkan dirinya sendiri dan Quinna bertanya-tanya apakah sebenarnya dia memendam sakit hati sepanjang hidupnya sehingga melontarkan kata-kata itu.
Bapaknya terdiam untuk waktu yang lama, mata menatap Quinna tanpa berkedip, dan akhirnya dia melihat sesuatu yang berkilau mengalir di pipinya. Dalam cahaya redup, tampak seperti kristal bening.
"Saya ingin menjadi Bapakmu," katanya.
"Waktunya habis," ucap Quinna.
Lelaki itu tetap duduk di sofa untuk beberapa saat, dan kemudian sambil menghela nafas dia berdiri, mengusap wajahnya dengan punggung tangan.
Dia menghindari menatap Quinna. Dengan cepat membuka pintu belakang yang menuju ke halaman dan lorong di belakang, jalan keluar tercepat dari showroom-nya.
"Lain kali," kata Quinna, saat bapaknya melangkah keluar, "jangan coba-coba untuk menemuiku lagi."
Dia berdiri tepat di luar pintu, mulutnya sedikit ternganga. Kerutan di wajahnya bergerak selaras dengan rasa sakit penolakan yang dibayangkan Quinna berkecamuk di kepalanya.
Quinna menutup pintu, tetapi sadar bahwa ekspresi wajah bapaknya akan menghantui mimpinya.
Dia menempelkan telinganya ke pintu. Rasanya waktu membeku. Dia takut lelaki itu akan terus berdiri di luar pintunya selama sisa hidupnya, memohon untuk diizinkan masuk. Kemudian terdengar gema suara telapak sepatu menjauh. Tetap saja, Quinna tak bergerak, takut dia akan kembali dan memasang tenda dan berkemah di luar workshop-nya.
Dia akan mengatakan 'ya' jika bapak kembali, dan itu membuatnya takut.
Sesuatu yang panas mengalir di pipinya dan untuk sesaat dia mengira seekor serangga, mungkin laba-laba hitam dan merah menempel di sana. Dia berharap itu laba-laba.
Dia membenci dirinya sendiri. Mengapa aku memiliki perasaan seperti ini tentang monster?
***
Terhuyung-huyung, Quinna kembali ke workshop-nya, bertekad untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengusir pikiran tentang bapak. Lampu berkedip di ponselnya memberi tahu ada notifikasi penting baru. Avatarnya cukup pintar untuk tidak mengganggu pembicaraannya dengan bapaknya. Meskipun tidak bisa mendengarkan, jadi qushe tidak membunyikan sederet notifikasi yang dibuat Wisnu.
Kali ini, dia menyaksikan seluruh tayangan podcast kekasihnya itu, karena ibubya akhirnya membuka rahasia yang dia simpan selama dua puluh tahun. Meskipun orang-orang telah menduga bahwa ibunya punya anak dari mantan presiden, dia tidak pernah mengumumkan secara terbuka.
"Kami punya anak perempuan," kata ibunya, memamerkan foto keluarga untuk pertama kalinya di depan umum. "Beri dia kesempatan untuk melihat bahwa bapaknya adalah pemimpin yang baik."
Tanggapan orang-orang sebagian besar hangat. Banyak komentar memujinya karena tetap setia pada pria yang dipenjara selama dua dasawarsa. Banyak lagi yang mengatakan bahwa jika ibunya tetap mencintainya selama ini, maka dia tidak seburuk yang dicatat dalam buku sejarah, bahwa mungkin sisi yang dilihatnya seseorang yang memimpin bangsa keluar dari kemiskinan dan neokolonialisme, melebihi keburukannya, yang muncul hanya karena dia berusaha melindungi negara dari lawan di bawah pengaruh kekuatan asing. Tidak ada yang bisa mencintai monster, bantah mereka, dan dia bisa melihat semua itu karena cara Wisnu menyusun berita.
Dia menggigit bibirnya, karena amarahnya terhadap Wisnu berkobar. Emosi karena bertemu bapaknya berhasil dikendalikannya, tetapi sekarang, melihat bagaimana kekasihnya dengan hati-hati mengucapkan kata-katanya untuk mengubah opini publik agar mendukung mantan presiden Wilogo, membuat lahar panas mengalir keluar dari matanya dan membakar pipinya.
Mengapa, Wisnu? Mengapa?
Wisnu tahu bagaimana perasaannya tentang ibunya, tentang bapaknya, jadi mengapa beritanya menjadi kampanye publisitas untuk bapaknya? Mengapa dia membuang semua etikanya sebagai jurnalis? Mengapa dia tidak mengingatkan pemirsa bahwa bapaknya memperkosa banyak wanita, dan bahwa dia telah menyiksa sampai mati dua puluh ribu lawan politik di tahun-tahun terakhir pemerintahannya yang korup?
Mengapa, Wisnu, mengapa?
Quinna menyeka air mata dari pipinya dan sekaligus membencinya karena itu mengingatkannya pada yang telah diperbuatnya.
Aku adalah salinan bapak.
Dia meraih ponselnya dan keluar dari pintu belakang. Ragu-ragu sejenak, mendengarkan dari balik pintu untuk memeriksa apakah ayahnya masih di luar sana.
Setelah membuka, dia melihat sekeliling, mencari, dan mengembuskan napas lega ketika dia tidak seorang pun di sana.
Sepeda listriknya terparkir di belakang. Baterainya tinggal dua puluh persen karena pengisi daya suryanya rusak, tetapi itu cukup untuk membawanya melintasi kota ke rumah sekaligus studio Wisnu. Sepedanya tidak mengeluarkan suara ketika dia memutar kunci kontak selain desir lembut, tapi ini cukup untuk menarik perhatian Rama, tetangganya.
"Quinna!" Rama memekik sambil berlari. "Kok kamu tidak bilang kalau kamu putri mantan Presiden? Aku senang akhirnya dia bebas! Dia pasti masih punya uang, kan? Katakan padanya untuk mentraktir kami!"
Quinna tersenyum kecil dan melambaikan tangan, lalu membawa sepedanya keluar dari pekarangan belakang.
***
Wisnu tinggal di sebuah paviliun kecil dekat pasar dengan pemancar digital besar di atapnya. Ruang tamu juga berfungsi sebagai tempat urusan bisnis dengan Lesti, seorang sekretaris paruh baya mengelola meja resepsionis.
Quinna menyerbu melewati Wati tanpa mengucapkan salam, dan wanita itu hanya melongo, tidak mampu memprotes. Dia langsung pergi ke salah satu kamar tidur yang telah diubahnya menjadi, kedap suara untuk menghilangkan semua kebisingan dari pasar. Ragu-ragu dia tegak berdiri di pintu.
Bagaimana jika bapaknya ada di dalam?
Quinna menatap tanda kecil di atas pintu. OFF AIR. Setidaknya Wisnu tidak sedang siaran langsung. Dia mendorong pintu hingga terbuka.
Wisnu sedang mengedit video. Jelas sekali yang sedang dikerjakannya adalah segmen berita tentang bapaknya. Wisnu menoleh, dan saat melihatnya, tersenyum lebar.
"Quinn!" dia berkata.
"Mengapa?" Quinna bertanya.
Senyum Wisnu langsung menghilang. Dia menoleh ke layar, pada video laki-laki yang tersenyum ke kamera, dan kemudian dia menekan tombol memadamkan layar, seolah-olah itu akan menghapus kejahatannya.
Wisnu bangkit perlahan, dan Quinna bisa melihat bahwa dia sedang memikirkan sebuah alasan.
"Aku mencintaimu," ujarnya.
"Katakan saja kenapa," kata Quinna.
Hening sejenak.
Dia menatap Wisnu. Ar mata mengaburkan penglihatannya. Wisnu tak membalas tatapannya.
"Aku tahu, seharusnya aku memberitahumu," kata Wisnu. "Tapi, yah, kamu tahu, bapakmu---"
"Dia bukan bapakku," kata Quinna.
"Oke, oke," kata Wisnu. "Mantan Presiden, dia datang kepadaku tadi malam dan menawari akses eksklusif kalau aku ... kamu tahu," dia terdiam, menatap kakinya yang telanjang karena malu.
"Jika kamu bekerja untuknya?" tanya Quinna.
Wisnu menggeleng. "Aku seorang jurnalis independen," katanya. "Aku tidak bekerja untuk siapa pun."
"Tapi dia menawarimu akses eksklusif dengan imbalan membuat berita positif tentang dia, kan?"
"Bukan seperti itu," katanya.
"Kamu tidak bisa melihat bahwa dia telah merusakmu?"
"Tidak!" sanggah Wisnu, masih tak mampu balas menatapnya. "Aku seorang jurnalis. Aku tidak bisa dirusak."
"Dia akan menang karena kamu, dan kemudian dia akan merusak PILKARDUS."
Wisnu tertawa. "Dari semua orang, kamulah yang paling tahu bahwa PILKARDUS tidak bisa disogok. Ini tidak seperti dia akan menjadi presiden seluruh negara seperti dulu, jadi bagaimana dia akan merusak sistem? Dia hanya akan memerintah satu dari empat belas kelurahan di kota kita, hanya satu dari delapan puluh tiga ribu empat ratus empat puluh tujuh desa dan kelurahan yang ada di negara ini. Setiap kelurahan atau desa merupakan wilayah semi-otonom sehingga dia tidak akan memiliki pengaruh politik di luar keluarahannya. Kamu tidak perlu takut padanya sebagai lurah."
Quinna menggelengkan kepalanya. "PILKARDUS mendengarkan kita," katanya.
"Iya!" dia berkata. "Itulah keindahannya karena setiap orang memiliki suara dan setiap orang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi negara, jadi bapakmu--"
"Dia bukan bapakku!" Quinna mendesis marah.
Akhirnya, Wisnu menatap ke dalam matanya. "Aku mencintaimu Quinn," katanya. "Aku ingin menikahimu. Kami akan menjadi keluarga, dan saya percaya kami harus mendukung -- "
"Dia merusakmu," potong Quinna. "Kamu terlalu bersemangat untuk menjadikan liputanmu---dirimu---viral secara nasional, sampai-sampai tak melihat bahwa dia merusakmu, dan jika dia menjadi lurah dia akan merusak semua orang, dan kemudian PILKARDUS akan mulai mendengarkan orang-orang yang korup dan orang-orang yang memperkosa wanita dan membunuh dua puluh ribu lawan politik. Ini akan menjadi akhir dari demokrasi kita."
Wisnu menatapnya dengan mata membelalak. Quinna tahu dia sudah mengerti sudut pandangnya. Pacarnya itu terduduk kembali ke kursinya, seolah-olah kakinya tidak bisa menopangnya lagi.
"Itu bukan korupsi," katanya dengan suara lemah.
"Selamat tinggal," kata Quinna. "Terima kasih untuk empat tahun kebersamaan yang indah."
Wisnu menatapnya tajam. "Apa yang kamu katakan?" Sebersit ketakutan terdengar dalam suaranya.
Quinna tidak berkata apa-apa lagi saat dia berjalan keluar dari studio Wisnu.
***
 Kembali ke workshop-nya, Quinna mengeluarkan ponselnya dan melihat sederet notifikasi---kebanyakan dari orang-orang yang menanyakan tentang berita ibunya. Dia menekan tombol 'DELETE ALL', dan kemudian dia menginstruksikan Qushe untuk membisukan notifikasi yang berkaitan dengan ibunya, bapaknya, dan Wisnu.
Kemudian dia mengetuk ikon PILKARDUS dan dengan denting pelan aplikasi itu memenuhi layar. Halaman beranda menampilkan topik yang sedang tren.
Meskipun baru mengumumkan pencalonannya sekitar dua jam yang lalu, bapaknya menempati trending topic nomor satu di kotanya, menurunkan ranking diskusi jembatan yang runtuh pada hari sebelumnya dan mengalahkan polling tentang pajak air tanah yang menyebabkan kerugian besar bagi bisnis. Di tab Nasional, dia nomor tiga, menyalip RUU dekriminalisasi upaya aborsi. Meter pemilihan menempatkan dia sebagai favorit untuk menang, berdasarkan komentar dan reaksi terhadap keputusannya dan pengumuman ibunya.
Quinna mengetuk tab 'Aturan dan Hukum', dan mengklik 'Usulkan Hukum Baru'.
Qushe menghidupkan kamera dan dia menatap ke lensa. Qushe akan menerjemahkan pidatonya ke semua bahasa, termasuk bahasa isyarat.
"PILKARDUS adalah pilar fundamental demokrasi kita," dia memulai. "Namun ia memiliki kelemahan yang sangat besar. Itu bergantung pada kita. Avatar mendengarkan kita. Mereka mempelajari apa yang kita sukai dan memahami pandangan kita dan kemudian memberikannya kepada PILKARDUS, yang menggunakan data itu untuk menyetujui keputusan Lembaga Dewan Lurah, untuk memberi saran kepada Lembaga, dan untuk membantu membuat kebijakan. Kita mengira bahwa mesin itu cukup cerdas untuk membedakan yang baik dari yang jahat dan untuk menegakkan hak asasi manusia. Tetapi ingat, beberapa dari kita tidak dapat menikmati hak-hak kita karena mayoritas tidak berpikir secara benar di bawah pengaruh influencer atau buzzer. Bahkan, sudah pernah kita lihat mayoritas ditindas minoritas atas nama keadilan."
"Jadi apa yang akan terjadi jika---" hampir saja Quinna menyebut 'bapak saya,' "--- jika mantan tiran memegang jabatan? Mungkinkah dia mempengaruhi mayoritas untuk mengampuni kejahatan korupsi dan ideologi sistem masa lalu di mana beberapa orang terpilih menikmati kekayaan dan kekuasaan? Mungkinkah orang-orang ini pada gilirannya mempengaruhi algoritma PILKARDUS? Sebelum kita menyadarinya, PILKARDUS akan menyetujui keputusan yang berbau korupsi dan nepotisme dan tirani dan memperkosa perempuan dan membunuh dua puluh ribu lawan politik."
"Jadi saya mengusulkan undang-undang baru. Siapa pun yang telah dihukum karena korupsi atau kejahatan yang terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan tidak berhak untuk untuk memegang jabatan publik apa pun."
Dia menekan tombol 'SUBMIT' dan meletakkan ponselnya ke atas meja, menyadari bahwa proposalnya akan menjadi tren dalam beberapa menit.
Pertama, PILKARDUS akan menyebarkannya kepada penduduk kelurahannya dan mendesak mereka untuk mengambil tindakan pada hari itu juga karena pemilihan akan dilakukan dalam tiga minggu. PILKARDUS tidak akan menyerahkan pengambilan keputusan kepada avatar, karena yang diajukannya adalah referendum Undang-Undang Dasar, dan karena dia telah menunjukkan kelemahan dalam sistem.
Gawai semua orang akan membeku saat memperdebatkan tentang rancangannya dan membuat keputusan. Kemudian, jika kelurahannya memutuskannya menjadi undang-undang, PILKARDUS akan menaikkannya ke tingkat kota, kemudian ke tingkat nasional, dan memastikan bahwa setiap orang dewasa mengambil tindakan segera.
PILKARDUS akan menambahkan metadata penting ke proposalnya, bahwa dia berpendapat dari sudut pandang pakar basis data, dan bahwa dia adalah putri mantan Presiden.
Dia memejamkan mata, terbayang ekspresi terakhir di wajah bapaknya. Quinna membiarkan air matanya mengalir. Hatinya berharap untuk mampu melupakan semua yang telah dia pelajari tentang bapaknya setelah menemukan potongan jari di ruang bawah tanah.
Dia berharap yang bertahan dalam ingatannya adalah kenangan tentang seorang presiden yang membiarkan seorang gadis kecil bermain dengan kumisnya.
Â
Bandung, 8 Juli 2021
Sumber ilustrasi