Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilkardus

9 Juli 2021   20:23 Diperbarui: 9 Juli 2021   21:17 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Quinna membuka daun jendela kayu, satu-satunya jendela, dan sinar matahari yang terang menerobos masuk menerangi ruangan. Sebuah sofa merah mengisi sebagian besar ruang yang tidak ditempati dipan.

Lelaki itu mengelus sofa, senyum kecil mekar di wajahnya.

Sofa itu itu sofa yang terdapat di foto. Warnanya telah memudar dan berlubang, dan beberapa bulan yang lalu Quinna mengusir sekelompok tikus yang menjadikannya rumah mereka, tetapi masih memiliki nuansa mahal seperti dua puluh tahun yang lalu.

"Kami mengimpor ini dari Australia," katanya. "Ibumu menginginkan hadiah unik untuk keluarga kita."

Quinna duduk di tepi tempat tidur. Lelaki itu melihat ke sofa, ragu-ragu, mungkin bertanya-tanya apa yang telah dialami furnitur itu sehingga terlihat sangat menyedihkan, mungkin takut akan mengotori celana dan baju putihnya. Seperti sepatu itu, ibunya telah menyimpannya selama bertahun-tahun, dan sekarang tergantung longgar di tubuhnya, hampir seperti orang-orangan sawah.

Akhirnya, dia membentangkan tisu sebelum duduk, dan kemudian duduk dengan hati-hati, seolah-olah sofa itu akan roboh karena berat badannya.

"Apakah kamu senang tinggal di sini?" dia bertanya.

Ibunya tinggal di satu-satunya istana yang gagal disita oleh pengadilan dari mereka. Gedung itu telah disertifikatkan atas nama ibunya beberapa bulan sebelum kejatuhannya, tak lama setelah kelahiran Quinna, dan dia memiliki dokumen yang membuktikan bahwa dia telah membelinya secara sah dari negara.

Jauh dari kemewahan di masa jayanya, tanpa ada pelayan atau pengawal, ibu menjaganya dengan tetap bersahaja, menunggu kepulangannya dari penjara. Quinna pada awalnya mencintai istana. Sebagai seorang gadis kecil, banyak kamar kosong adalah taman bermainnya, dan mereka menjadi tempat pestanya ketika jiwa remaja menguasai dirinya. Kemudian, ketika dia berusia sekitar lima belas tahun, dia menemukan pintu rahasia ke ruang bawah tanah, dia menemukan sepotong jari manusia terkubur dalam debu di lantai.

Ibunya tidak bisa menjelaskan tentang jari itu.

Quinna kemudian mulai mempelajari sejarah negerinya, dan citra bapaknya, presiden yang membiarkan seorang gadis kecil bermain dengan brewoknya, menghilang. Dia mulai melihat hantu di rumah. Badan intelijen pernah menggunakannya sebagai rumah aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun