"Saya ingin menjadi Bapakmu," katanya.
"Waktunya habis," ucap Quinna.
Lelaki itu tetap duduk di sofa untuk beberapa saat, dan kemudian sambil menghela nafas dia berdiri, mengusap wajahnya dengan punggung tangan.
Dia menghindari menatap Quinna. Dengan cepat membuka pintu belakang yang menuju ke halaman dan lorong di belakang, jalan keluar tercepat dari showroom-nya.
"Lain kali," kata Quinna, saat bapaknya melangkah keluar, "jangan coba-coba untuk menemuiku lagi."
Dia berdiri tepat di luar pintu, mulutnya sedikit ternganga. Kerutan di wajahnya bergerak selaras dengan rasa sakit penolakan yang dibayangkan Quinna berkecamuk di kepalanya.
Quinna menutup pintu, tetapi sadar bahwa ekspresi wajah bapaknya akan menghantui mimpinya.
Dia menempelkan telinganya ke pintu. Rasanya waktu membeku. Dia takut lelaki itu akan terus berdiri di luar pintunya selama sisa hidupnya, memohon untuk diizinkan masuk. Kemudian terdengar gema suara telapak sepatu menjauh. Tetap saja, Quinna tak bergerak, takut dia akan kembali dan memasang tenda dan berkemah di luar workshop-nya.
Dia akan mengatakan 'ya' jika bapak kembali, dan itu membuatnya takut.
Sesuatu yang panas mengalir di pipinya dan untuk sesaat dia mengira seekor serangga, mungkin laba-laba hitam dan merah menempel di sana. Dia berharap itu laba-laba.
Dia membenci dirinya sendiri. Mengapa aku memiliki perasaan seperti ini tentang monster?