Dia meraih ponselnya dan keluar dari pintu belakang. Ragu-ragu sejenak, mendengarkan dari balik pintu untuk memeriksa apakah ayahnya masih di luar sana.
Setelah membuka, dia melihat sekeliling, mencari, dan mengembuskan napas lega ketika dia tidak seorang pun di sana.
Sepeda listriknya terparkir di belakang. Baterainya tinggal dua puluh persen karena pengisi daya suryanya rusak, tetapi itu cukup untuk membawanya melintasi kota ke rumah sekaligus studio Wisnu. Sepedanya tidak mengeluarkan suara ketika dia memutar kunci kontak selain desir lembut, tapi ini cukup untuk menarik perhatian Rama, tetangganya.
"Quinna!" Rama memekik sambil berlari. "Kok kamu tidak bilang kalau kamu putri mantan Presiden? Aku senang akhirnya dia bebas! Dia pasti masih punya uang, kan? Katakan padanya untuk mentraktir kami!"
Quinna tersenyum kecil dan melambaikan tangan, lalu membawa sepedanya keluar dari pekarangan belakang.
***
Wisnu tinggal di sebuah paviliun kecil dekat pasar dengan pemancar digital besar di atapnya. Ruang tamu juga berfungsi sebagai tempat urusan bisnis dengan Lesti, seorang sekretaris paruh baya mengelola meja resepsionis.
Quinna menyerbu melewati Wati tanpa mengucapkan salam, dan wanita itu hanya melongo, tidak mampu memprotes. Dia langsung pergi ke salah satu kamar tidur yang telah diubahnya menjadi, kedap suara untuk menghilangkan semua kebisingan dari pasar. Ragu-ragu dia tegak berdiri di pintu.
Bagaimana jika bapaknya ada di dalam?
Quinna menatap tanda kecil di atas pintu. OFF AIR. Setidaknya Wisnu tidak sedang siaran langsung. Dia mendorong pintu hingga terbuka.
Wisnu sedang mengedit video. Jelas sekali yang sedang dikerjakannya adalah segmen berita tentang bapaknya. Wisnu menoleh, dan saat melihatnya, tersenyum lebar.