Di Indonesia, yang dikenal dengan keragaman budaya dan keanekaragaman sosial, peran social engineering dapat menjadi sangat berbahaya. Negara ini telah mengalami berbagai ketegangan sosial yang tercatat dalam sejarah---mulai dari konflik kesukuan, ketegangan antara pusat dan daerah, hingga penyebaran paham-paham ekstremisme yang memecah belah tatanan sosial. Di tengah revolusi digital, manipulasi sosial dengan menggunakan data besar dan algoritma AI bisa memperburuk konflik-konflik ini, bahkan menciptakan dan memperbesar ketegangan yang ada, mengarah pada perpecahan yang lebih mendalam dan tak terkontrol.
1. Mempengaruhi Ideologi Melalui Data: Ekstremisme dan Fundamentalisme
Social engineering di era AI bukan hanya tentang memanipulasi pilihan konsumen atau politik, tetapi juga mampu membentuk dan menyebarkan ideologi tertentu---termasuk ekstremisme, fundamentalisme, dan ideologi radikal lainnya. Di Indonesia, kita tidak asing dengan munculnya kelompok-kelompok yang menyebarkan paham-paham radikal, dari kelompok yang mengusung paham ekstremisme agama hingga kelompok komunis yang pernah menjadi ancaman besar pada masa Orde Baru.
Penyebaran Paham Radikal: Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan penyebaran ideologi ekstremisme melalui media sosial yang semakin masif, berkat algoritma yang memperkuat keterpaparan pengguna pada konten yang mereka anggap sesuai dengan pandangan mereka. Dengan adanya filter bubble dan echo chamber yang diperkuat oleh algoritma, pengguna yang mungkin awalnya tidak terpapar ideologi tersebut, bisa jadi terjebak dalam lingkaran radikal tanpa sadar. Kasus penyebaran paham radikal yang terjadi di Indonesia bisa jadi lebih besar dan lebih terorganisir jika dikendalikan oleh sistem algoritma yang memanfaatkan data pengguna untuk menargetkan individu atau kelompok tertentu.
Penyebaran Ideologi Fundamentalisme: Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga keberagaman, terutama dalam menghadapi penyebaran paham fundamentalisme yang mengancam keutuhan sosial. Dengan kemampuan AI untuk memahami dan memanipulasi preferensi individu, algoritma bisa digunakan untuk menyebarkan pesan yang memperburuk ketegangan agama atau sosial, yang pada akhirnya dapat memicu kekerasan antar kelompok.
2. Konflik Kesukuan dan Polarisasi Sosial yang Dipicu Algoritma
Sejarah Indonesia, sejak kemerdekaan hingga sekarang, penuh dengan konflik antar kelompok etnis dan suku. Konflik antara suku Jawa dan Madura di Surabaya, ketegangan etnis di Papua, serta ketegangan antara pusat dan daerah di Aceh dan Timor-Timur adalah contoh nyata bagaimana perbedaan suku bisa disulut menjadi konflik yang dahsyat. Di era AI, potensi manipulasi konflik semacam ini bisa jauh lebih besar, lebih masif, dan lebih cepat.
Konflik Kesukuan di Indonesia: Algoritma media sosial yang bekerja berdasarkan data besar bisa menciptakan ketegangan etnis yang lebih besar di Indonesia. Misalnya, algoritma yang memperkuat berita atau konten yang mengandung kebencian atau stereotip terhadap suatu suku atau kelompok tertentu dapat memperburuk perpecahan sosial. Di tengah ketegangan politik dan sosial yang ada, media sosial bisa menjadi alat yang memperbesar kebencian yang sudah ada, mengarah pada ketidakpercayaan antar kelompok, bahkan menuju eskalasi kekerasan yang lebih besar.
Konflik Papua dan Pendekatan Pemerintah: Dalam beberapa dekade terakhir, Papua menjadi titik api yang sensitif bagi Indonesia. Dengan penyebaran informasi yang dikendalikan melalui media sosial dan teknologi digital, ketegangan antara pemerintah pusat dan kelompok pro-kemerdekaan Papua dapat diperburuk. Algoritma yang digunakan oleh media sosial dapat secara tidak sadar memanipulasi persepsi masyarakat tentang isu-isu tersebut, bahkan memanipulasi citra Papua di mata dunia internasional. Jika penyebaran hoaks yang menyudutkan pihak tertentu dapat dibiarkan tanpa kontrol yang ketat, bisa saja terjadi eskalasi ketegangan yang jauh lebih besar, yang dapat merugikan stabilitas politik Indonesia.
3. Konflik Pusat dan Daerah: Mengatur Arah Kebijakan Ekonomi dengan Data
Selain konflik sosial, kebijakan ekonomi juga menjadi sasaran dari social engineering di era digital. AI memungkinkan pengumpulan data dalam jumlah besar terkait dengan perilaku ekonomi masyarakat, yang dapat digunakan untuk mengarahkan kebijakan ekonomi dengan lebih terstruktur. Bahkan, bukan hanya untuk mengarahkan kebijakan, tetapi untuk merancang kebijakan yang bisa merubah arah perekonomian negara.