Pemilu Indonesia 2019 dan Hoaks: Di Indonesia, menjelang Pemilu 2019, hoaks dan disinformasi beredar luas melalui media sosial. Salah satu contoh terkenal adalah hoaks tentang penunggang gelap yang mencoba merusak pemilu, dan informasi palsu tentang manipulasi suara. Hoaks ini berkembang dengan cepat, dibantu oleh algoritma yang mendahului kebenaran dan mempercepat penyebaran kebohongan.
Filter Bubble dan Echo Chamber di Media Sosial: Di Indonesia, seperti halnya di banyak negara lain, media sosial memperburuk polarisasi sosial melalui filter bubble, di mana algoritma hanya menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan politik atau sosial kita, memperparah ketidakpercayaan antar kelompok dan memperkuat bias yang sudah ada.
Manipulasi digital di era ini lebih halus, lebih efisien, dan jauh lebih terstruktur. Dengan menggunakan algoritma dan Big Data, social engineering telah mencapai titik di mana pengaruh yang diberikan sangat personal, tetapi sering kali tak terlihat oleh yang menjadi targetnya.
Pergeseran Dari Era ke Era: Skala, Alat, dan Target Manipulasi
Skala Manipulasi: Dari lokal, seperti yang terlihat di kerajaan-kerajaan Nusantara, ke nasional, seperti di masa Nazi dan era media massa, hingga global dalam konteks era digital dan Pemilu internasional.
Alat Manipulasi: Dari narasi mitos atau simbolik, ke media cetak dan audiovisual, hingga algoritma berbasis data yang semakin canggih.
Target Manipulasi: Dari kelompok masyarakat secara umum, ke individu dengan kebutuhan dan preferensi spesifik yang ditargetkan melalui micro-targeting.
Social engineering terus berkembang dan semakin canggih. Dari manipulasi langsung oleh pemimpin agama dan politik di era tradisional, ke propaganda massa di era media, hingga pengaruh tak tampak di balik layar oleh algoritma AI di era digital. Kini, kita berada di persimpangan jalan, di mana kebebasan berpikir kita berada di bawah ancaman yang lebih besar dari sebelumnya. Tantangan terbesar kita adalah menyadari bahwa kita hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh manipulasi digital, dan apakah kita akan memilih untuk membebaskan diri atau tetap menjadi bagian dari mesin yang lebih besar yang terus bergerak tanpa henti.
III. Bagaimana Social Engineering Bekerja di Era AI: Manipulasi yang Membentuk Masa Depan Kita
Di tengah kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI), social engineering mencapai dimensi yang lebih berbahaya dan mengancam. Menggunakan Big Data, algoritma pintar, dan otomatisasi, manipulasi tidak lagi bergantung pada upaya manual atau interaksi langsung. Kini, kita berada dalam dunia di mana sistem digital dengan cerdas dapat memprediksi, memahami, dan bahkan membentuk perilaku manusia dengan cara yang terstruktur dan sangat terukur. Pada titik ini, social engineering bukan hanya mengendalikan opini, tetapi juga dapat mengatur masa depan sebuah negara---bahkan lebih dari itu, merubah jalannya sejarah.
Dalam era digital, kita tak lagi hanya berhadapan dengan teori manipulasi, tetapi dengan realitas di mana algoritma mampu mengidentifikasi kelemahan kita dan memanfaatkan ketidaksadaran kita. Di Indonesia, misalnya, bayangkan jika kerusuhan yang terjadi pada 1998---yang meruntuhkan rezim Orde Baru---terjadi di tengah era AI. Kerusuhan tersebut, yang pada waktu itu melibatkan sentimen etnis, ketidakpuasan sosial, dan ekonomi yang memuncak, bisa saja dipicu lebih masif dan lebih cepat dengan bantuan teknologi yang ada sekarang. Penyebaran hoaks dan disinformasi dalam skala besar, yang bisa membentuk opini massa dalam hitungan menit, tentu akan memperburuk ketegangan yang ada, menjadikan krisis jauh lebih merusak dan lebih sulit dikendalikan.