Mereka semua tertawa, merasa senang karena berhasil menggoda sang Ratu di rumahnya. Sedangkan sang Ratu? Diam-diam ia merutuki kelakuan keluarganya ini.Â
"Udah ah! Aku mau pamit dulu. Dengerin," Maura menjeda ucapannya. Ia mendekat kepada orang tuanya. "Ayah, Ibu, Maura pergi dulu ya ... Doa-in aku selamat sampai tujuan. Maaf karena Maura ngotot untuk pergi ke Jakarta,"Â
"Kamu ngomong apa sih? Ibu sama Ayah pasti doa-in kamu, Maura. Kami cuma minta supaya kamu jaga diri kamu baik-baik," Maura pun mendekati ibunya. Ibu, ayah, dan adiknya berangsur mendekat, memeluk Maura. "Pesan ayah sama seperti ibu. Jaga diri! Ayah percaya sama kamu. Makanya ayah izinin kamu pergi."Â
Kini giliran Azra yang berbicara. "Jangan lama-lama ya kak. Nanti nggak ada yang ladeni aku adu mulut. Oh iya, jangan lupa titip salam buat penulisnya. Siapa tau dia mau ngasih bukunya buat aku." Maura terkekeh mendengar ucapan adiknya ini. Bisa dibilang, ini kali pertama mereka akur. "Iya, pasti! Kamu jaga ibu dan ayah ya. Jangan ganggu kalau mereka mau pacaran," Azra mengangguk cepat.Â
"Aku udah nggak sabar pengen ketemu penulisnya. Kalau gitu aku pamit ya," Setelah selesai dengan sesi pelukannya, Maura pergi. Namun siapa yang tahu kalau ternyata Maura benar-benar pergi. Pergi untuk pulang. Bukan pulang kepada keluarganya. Namun, pergi untuk tak kembali.
...
"Untuk semua penumpang diharapkan untuk tidak panik dan jangan diam di dekat platform kereta. Pegangan yang kuat semuanya!"
Suara itu membangunkan Maura dari tidurnya. Dalam keadaan belum sadar sepenuhnya, Maura merasa ada yang tidak beres dengan laju kereta api ini. Semua penumpang terlihat panik, anak-anak pun menangis ketakutan. Kereta api ini melaju begitu cepat, secepat Cheetah yang berlari untuk mengejar mangsanya.
Suara tangisan dan gesekan antara roda dan rel kereta api menambah kepanikan Maura. Suara itu, ia tidak ingin mendengarnya lagi. Walaupun dirinya yakin bahwa inilah kali pertama dan terakhir ia mendengar suara-suara itu. Maura sangat menyesali kepergiannya ini.
Ia menyesal karena tidak mendengarkan ibunya agar tidak pergi ke Jakarta. Ia juga merasa bersalah karena telah mengingkari janji kepada orang tuanya untuk bisa menjaga dirinya, dan kepada adiknya yang pasti tengah menunggu untuk beradu mulut lagi.
Bayangan tentang dirinya dan keluarganya terlintas di kepala. Semua kejadian-kejadian yang telah mereka lewati bersama membuat Maura kembali diselimuti rasa penyesalan. Tanpa sadar, setitik air menetes dari pelupuk matanya. "Ibu, Ayah, Azra. Maafkan Maura. Maura harus pergi. Pergi untuk pulang," gumam Maura.
Lamunan Maura buyar saat mendengar jeritan-jeritan dari gerbong paling depan. Dan tidak butuh waktu seperkian detik, kesadaran Maura hilang. Semua penumpang yang semula berisik, panik, dan ketakutan, kini tidak lagi bersuara. Kesunyian menyelimuti setiap gerbong. Hanya suara minta tolong yang terdengar dari beberapa orang.