Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Love in an Annoyed Look (Part 2)

14 Oktober 2024   23:12 Diperbarui: 14 Oktober 2024   23:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/YumikasariPutri412 

Bab 11: Rintangan di Depan

Keesokan harinya, Alya terbangun dengan perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Momen di pantai kemarin memberikan dorongan kepercayaan diri yang besar. Ia merasa siap menghadapi tantangan yang akan datang, baik dalam hubungan dengan Arga maupun di kehidupan sehari-hari.

Setelah sarapan, Alya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus untuk mempersiapkan presentasi mereka. Sambil mempersiapkan bahan-bahan, pikirannya melayang kembali ke perjalanan mereka kemarin. Alya tersenyum saat mengingat tawa dan obrolan mereka di tepi pantai.

Saat ia sedang asyik membaca buku, tiba-tiba pesan masuk dari Arga. "Hai, Alya! Apakah kita bisa bertemu sebentar? Aku ada yang ingin dibicarakan."

Alya merasakan sedikit kegugupan. "Tentu, ada yang ingin kau bicarakan tentang presentasi?" balasnya.

"Bukan hanya itu. Aku ingin membahas sesuatu yang lebih penting," tulis Arga.

Setelah setengah jam, mereka bertemu di kafe yang sama. Alya melihat Arga sudah menunggu dengan ekspresi serius. "Ada apa, Ga?" tanyanya, merasa cemas.

"Maaf jika ini membuatmu khawatir. Aku baru saja menerima pesan dari Mira," Arga berkata dengan nada rendah.

Alya tertegun. "Pesan? Kenapa? Apakah dia ingin kembali ke hidupmu?"

"Dia hanya ingin bertanya tentang kabar dan meminta maaf atas segala yang terjadi. Dia juga menginginkan penjelasan tentang hubungan kita," jelas Arga.

Alya merasa ada yang mengganjal di dalam hatinya. "Apa yang akan kau katakan padanya?"

"Aku tidak ingin terjebak dalam masa lalu, tetapi aku rasa kita perlu berbicara secara terbuka. Ini penting agar kita bisa melanjutkan dengan tenang," jawab Arga.

"Jadi, kau akan menemui dia?" tanya Alya, berusaha mengendalikan nada suaranya.

"Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu, tetapi aku rasa aku harus melakukannya. Kita harus menutup semua yang belum selesai," Arga menjawab.

Alya mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. "Aku mengerti. Tapi aku berharap kau tidak akan melupakan kita dalam prosesnya."

Arga menggenggam tangan Alya. "Kau adalah prioritas utamaku, Alya. Aku akan selalu memilihmu."

Setelah percakapan itu, Alya merasa cemas tetapi juga memahami keinginan Arga untuk menutup bab yang belum selesai. Namun, ia tahu bahwa pertemuan itu bisa menjadi momen krusial yang dapat memengaruhi hubungan mereka.

Hari-hari berlalu, dan Arga semakin sering berkomunikasi dengan Mira. Meskipun ia mencoba untuk tidak khawatir, Alya tidak bisa menghindari rasa cemburu yang terus menghantuinya. Ia berusaha fokus pada presentasi yang semakin dekat, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Arga dan Mira.

Suatu malam, Alya terbangun dari tidur dan melihat pesan masuk dari Arga. "Hai, Alya. Aku akan bertemu Mira besok. Apakah kau ingin ikut?"

Mendengar hal itu, jantung Alya berdegup kencang. "Aku... aku tidak tahu, Ga. Apakah itu ide yang baik?"

"Aku ingin kau di sampingku. Aku merasa lebih kuat jika kau ada di sana," tulis Arga.

Dengan keraguan, Alya akhirnya setuju. "Baiklah, aku akan ikut."

Keesokan harinya, mereka bertemu di kafe tempat Mira dan Arga sering pergi. Alya merasa jantungnya berdebar-debar saat mereka menunggu kedatangan Mira. Ia berharap pertemuan ini akan berjalan lancar, tetapi kecemasan terus membayangi pikirannya.

Ketika Mira datang, suasana terasa tegang. "Hai, Arga! Hai, Alya!" sapa Mira dengan senyum yang terlihat ceria, tetapi Alya bisa merasakan ketegangan di udara.

"Hi, Mira. Terima kasih telah datang," kata Arga, berusaha mengatur suasana.

Setelah berbincang sejenak, Mira akhirnya berbicara. "Aku ingin meminta maaf atas semua yang terjadi. Aku tidak bermaksud menyakiti kalian. Aku hanya ingin menjelaskan semuanya."

Alya mengamati dengan seksama, merasa tidak nyaman. "Kami mendengarkan," jawabnya, berusaha tenang.

Mira menatap Arga, "Aku tahu kita punya banyak kenangan, dan aku mengerti mengapa kamu memilih Alya. Tapi, aku berharap kita bisa berteman lagi."

Arga terlihat ragu. "Mira, aku sudah move on. Aku ingin fokus pada hubungan kami."

Mira mengangguk, tetapi Alya bisa melihat keraguan di matanya. "Aku mengerti, dan aku tidak ingin mengganggu hubungan kalian. Tetapi, aku berharap kita bisa berdamai. Kita pernah berbagi banyak hal."

Alya merasa cemburu melihat bagaimana Mira berbicara dengan penuh perasaan kepada Arga. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang kritis untuk hubungan mereka.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Mira?" tanya Alya, berusaha mendapatkan kejelasan.

Mira tersenyum. "Aku akan melanjutkan hidupku. Tapi aku ingin tetap berhubungan dengan kalian berdua. Kita semua adalah bagian dari masa lalu satu sama lain, dan aku percaya kita bisa saling mendukung."

Alya merasa hatinya bergetar. "Itu mungkin. Tapi aku harap kau juga bisa menghargai hubungan kami."

Arga mengangguk setuju. "Kami ingin semua ini menjadi bagian dari masa lalu. Kami ingin fokus pada masa depan."

Setelah pertemuan itu, Alya merasa sedikit lega, tetapi keraguan tetap ada. Ia tahu bahwa meskipun mereka berusaha untuk melanjutkan, bayang-bayang masa lalu masih bisa kembali menghantui.

Sepanjang perjalanan pulang, Arga tampak lebih tenang. "Bagaimana menurutmu, Alya?" tanyanya.

"Aku merasa sedikit lebih baik, tetapi ada banyak yang perlu kita bicarakan. Aku tidak ingin ada yang tertinggal di belakang," jawab Alya.

"Jangan khawatir. Kita akan melaluinya bersama. Kita harus saling percaya dan berkomunikasi," kata Arga, meraih tangan Alya.

Setibanya di rumah, Alya merasa lelah. Ia berbaring di tempat tidurnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Meskipun ada banyak rintangan di depan mereka, Alya tahu bahwa dengan saling mendukung dan berbagi perasaan, mereka dapat mengatasi apapun yang datang.

Dengan tekad baru, Alya menutup matanya, berharap untuk tidur nyenyak dan memulai hari baru dengan lebih baik. Dia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi cinta dan keberanian yang mereka miliki akan membawa mereka melewati segala halangan.

Bab 12: Dalam Ketidakpastian

Hari-hari berlalu, dan hubungan Alya dan Arga mulai terasa lebih stabil setelah pertemuan dengan Mira. Namun, meskipun mereka mencoba untuk fokus pada masa depan, ketegangan tetap ada. Alya sering kali merasa cemas ketika Arga menerima pesan dari Mira, dan meskipun ia berusaha untuk bersikap percaya diri, rasa cemburu kadang muncul tanpa diundang.

Pada suatu sore, setelah kuliah, Alya memutuskan untuk menemui Arga di perpustakaan kampus. Ia ingin berbagi perasaan dan mencari cara agar hubungan mereka semakin kuat. Saat ia masuk ke perpustakaan, ia melihat Arga duduk sendirian di meja yang terletak di sudut, terlihat serius membaca buku.

"Hai, Ga!" sapa Alya sambil tersenyum.

Arga menatapnya dan tersenyum kembali. "Hai, Alya! Bagaimana harimu?"

"Baik. Aku hanya ingin bertemu dan membicarakan beberapa hal. Bolehkah kita?" tanya Alya, merasa sedikit gugup.

"Tentu saja. Ada yang ingin kau bicarakan?" Arga menutup bukunya dan memberi perhatian penuh pada Alya.

"Aku merasa kita perlu berbicara tentang Mira. Meskipun aku mencoba untuk tidak cemburu, aku masih merasa tidak nyaman ketika kau berhubungan dengannya," kata Alya, mencoba untuk jujur.

Arga menghela napas. "Aku mengerti. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu, tetapi kita juga harus menghormati masa lalu kita. Mira adalah bagian dari hidupku yang harus aku hadapi."

"Aku tahu, tapi... kadang aku merasa kau lebih memperhatikan kenangan bersamanya daripada kita saat ini," Alya mengungkapkan keraguannya.

"Tidak, Alya. Setiap kali aku bersama Mira, aku selalu berpikir tentang kita. Kamu adalah masa depan yang aku inginkan," jawab Arga dengan tegas.

Mendengar kata-kata Arga, Alya merasa hatinya mulai tenang. "Tapi bagaimana jika Mira mengganggu kita lagi? Apa kau siap untuk menghadapinya jika itu terjadi?"

Arga meraih tangan Alya, menatapnya dengan serius. "Aku akan selalu memilihmu, Alya. Aku berjanji untuk berjuang demi hubungan kita."

Alya mengangguk, merasakan kehangatan dari tangan Arga. "Aku ingin percaya padamu. Kita harus saling berkomitmen untuk tidak membiarkan masa lalu mengganggu masa depan kita."

Setelah berdiskusi, Alya merasa lebih lega. Namun, di dalam hati, ia masih meragukan apakah mereka benar-benar bisa menutup masa lalu. Sementara itu, Arga tampak lebih optimis, bertekad untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bersama Alya.

Keesokan harinya, saat Alya sedang belajar di kamarnya, tiba-tiba ia menerima pesan dari Arga. "Alya, bisakah kita bertemu di taman setelah kuliah? Aku ada yang ingin dibicarakan."

Alya merasa jantungnya berdebar. "Tentu, ada apa?" balasnya, meskipun ia merasa sedikit cemas.

"Cuma ingin membahas tentang presentasi dan sedikit hal lainnya," tulis Arga.

Setelah kuliah, Alya bergegas menuju taman. Saat ia tiba, ia melihat Arga duduk di bangku, terlihat gelisah. "Hai, Alya. Terima kasih sudah datang," katanya saat melihatnya.

"Hai, Ga. Ada apa? Kau terlihat serius," tanya Alya, merasakan ada yang tidak biasa.

"Aku baru saja berbicara dengan Mira. Dia ingin kita bertemu lagi untuk membicarakan hal-hal yang belum jelas," jelas Arga.

Alya terkejut. "Apa? Kenapa? Aku pikir kita sudah menyelesaikan semuanya."

"Dia merasa ada beberapa hal yang perlu diperjelas, dan aku merasa penting untuk menanggapinya. Aku ingin memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal," jawab Arga.

Alya merasa bingung. "Jadi, kau akan pergi menemui dia lagi?"

"Ya, tetapi aku ingin kau menemaniku. Aku tidak ingin pergi sendirian. Ini tentang kita, dan aku ingin kamu ada di sampingku," kata Arga.

Dengan berat hati, Alya mengangguk. "Baiklah, aku akan ikut. Tapi kita harus memastikan bahwa ini tidak mengganggu hubungan kita."

"Setuju. Kita akan membicarakannya secara terbuka dan jujur. Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita," jawab Arga.

Malam harinya, Alya merasa gelisah. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa membawa banyak ketegangan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan bagi mereka untuk menyelesaikan semua ketidakpastian.

Keesokan harinya, mereka bertemu dengan Mira di kafe yang sama. Suasana terasa tegang saat mereka duduk berhadapan. Alya merasakan perutnya bergejolak, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang.

"Terima kasih sudah datang. Aku menghargai kalian berdua," kata Mira, terlihat sedikit canggung.

"Kenapa kau ingin bertemu lagi?" tanya Alya, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

"Aku hanya ingin memastikan bahwa semua ini bisa diselesaikan dengan baik. Aku tidak ingin menjadi penghalang dalam hubungan kalian," jawab Mira.

Arga menambahkan, "Kami berusaha untuk melanjutkan hidup, tetapi kami juga ingin menghormati masa lalu."

Mira mengangguk. "Aku mengerti. Aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak ingin mengganggu. Aku ingin kita semua bisa saling mendukung."

Alya merasa sedikit lega, tetapi ia tetap waspada. "Jika itu yang kau inginkan, maka mari kita jujur satu sama lain. Kita harus menghormati keputusan masing-masing."

Percakapan berlangsung dengan tenang, dan Alya berusaha untuk menjaga suasana agar tetap positif. Namun, di dalam hatinya, ia merasa masih ada keraguan.

Setelah pertemuan itu, Alya dan Arga kembali ke rumah. Dalam perjalanan, Alya merasa campur aduk. "Apakah kita sudah menyelesaikan semuanya, Ga?"

Arga menghela napas. "Aku berharap begitu. Tapi kita harus terus berkomunikasi dan saling mendukung. Kita tidak bisa membiarkan masa lalu mengganggu kita."

Alya mengangguk, berusaha menenangkan dirinya. "Aku akan berusaha untuk mempercayai kita, tetapi kita perlu terus membicarakan ini."

Keesokan harinya, saat Alya beristirahat di taman, ia merenungkan semua yang telah terjadi. Ia menyadari bahwa meskipun ada banyak ketidakpastian, mereka masih memiliki kesempatan untuk tumbuh bersama.

Dengan tekad baru, Alya memutuskan untuk fokus pada hal-hal positif dan berusaha memberikan dukungan kepada Arga. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi jika mereka saling percaya dan berkomitmen, mereka bisa melewati semua rintangan yang ada di depan.

Saat matahari terbenam, Alya berdiri di tepi taman, menatap langit yang berwarna jingga. Dalam hati, ia berjanji untuk tetap berjuang demi hubungan mereka, tidak peduli seberapa sulit perjalanan itu. Ia percaya bahwa cinta mereka akan menjadi kekuatan untuk mengatasi semua ketidakpastian yang mengintai.

Bab 13: Di Ujung Jalan

Minggu-minggu berlalu, dan hubungan Alya dan Arga tampak semakin kuat meskipun tantangan dari masa lalu terus mengintai. Mereka berdua semakin sering berbagi pikiran dan perasaan, menciptakan ruang aman untuk saling mengungkapkan kekhawatiran dan harapan. Namun, di balik senyuman dan tawa, Alya merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya selesai.

Suatu malam, setelah menyelesaikan presentasi bersama, Alya dan Arga memutuskan untuk pergi ke bioskop untuk menonton film. Saat mereka duduk berdampingan, Alya merasakan kehangatan tangan Arga di punggung tangannya. Namun, di dalam hatinya, ia merindukan momen-momen kecil yang pernah mereka miliki sebelum semua kerumitan ini datang.

Saat film berakhir, mereka berjalan keluar bioskop dengan langkah ringan, tetapi pikiran Alya tetap berputar. "Ga, aku ingin kita berbicara tentang hubungan kita," ucapnya tiba-tiba.

Arga menatapnya dengan serius. "Tentu, ada yang ingin kau sampaikan?"

"Aku merasa kita sudah melangkah jauh, tetapi aku juga merasa ada yang kurang. Aku ingin kita berbicara lebih dalam tentang masa depan kita," kata Alya, berusaha untuk tidak terlihat cemas.

Arga mengangguk, mengerti betapa pentingnya pembicaraan ini. "Aku setuju. Kita perlu membahas apa yang kita inginkan dari hubungan ini."

Mereka berjalan menuju taman yang sepi, dikelilingi oleh cahaya bulan yang lembut. "Aku ingin tahu apa yang kau bayangkan untuk masa depan kita," lanjut Alya, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya.

"Menurutku, kita harus fokus pada langkah-langkah kecil terlebih dahulu. Aku ingin menyelesaikan kuliah dengan baik dan kemudian memikirkan tentang pekerjaan. Setelah itu, kita bisa memikirkan langkah selanjutnya dalam hubungan kita," jawab Arga, terlihat serius.

Alya terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Arga. "Itu masuk akal. Tapi... bagaimana dengan komitmen? Aku ingin tahu apakah kau benar-benar siap untuk melangkah ke tahap berikutnya."

Arga menghentikan langkahnya dan menatap Alya dalam-dalam. "Alya, aku sudah siap untuk berkomitmen. Kau adalah orang yang ingin ku ajak berbagi hidupku. Namun, kita harus melakukannya dengan cara yang benar, tidak terburu-buru."

"Jadi, kita harus menunggu?" tanya Alya, sedikit kecewa.

"Bukan menunggu, tapi lebih kepada mempersiapkan diri. Aku ingin hubungan kita tidak hanya kuat saat ini, tetapi juga ketika kita menghadapi tantangan di masa depan. Kita harus membangun fondasi yang kokoh," jelas Arga.

Alya mengangguk, mencoba memahami sudut pandang Arga. "Aku ingin itu juga. Aku hanya tidak ingin kita terjebak dalam ketidakpastian. Aku ingin tahu bahwa kita bergerak ke arah yang sama."

Arga menggenggam tangan Alya. "Kita akan bergerak bersama. Kita bisa membahas semua hal yang ingin kita capai. Aku ingin mendengar impianmu."

Setelah beberapa saat, mereka duduk di bangku taman, dikelilingi oleh keheningan malam. Alya mulai bercerita tentang harapannya---tentang karier yang ingin dia jalani, tempat-tempat yang ingin dia kunjungi, dan kehidupan yang dia impikan.

"Aku ingin bisa bekerja di bidang yang aku cintai, membantu orang lain dengan cara yang positif," kata Alya dengan semangat. "Dan, aku ingin kita bisa menjelajahi dunia bersama. Aku ingin kita membangun kenangan yang indah."

Arga tersenyum, terinspirasi oleh impian Alya. "Itu luar biasa. Aku juga ingin mengembangkan karierku dan berkontribusi pada masyarakat. Kita bisa saling mendukung untuk mencapai impian kita."

Setelah beberapa lama berbincang, mereka merasakan kelegaan yang menyentuh hati. Mereka telah mengungkapkan harapan dan impian mereka tanpa rasa takut. Alya merasa seperti beban yang selama ini mengganjal di hatinya mulai menghilang.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Alya merasa ada yang masih mengganggu pikirannya. "Ga, bagaimana jika Mira kembali lagi ke hidupmu? Aku tidak bisa tidak memikirkan itu."

Arga menghela napas, menyadari betapa kuatnya ketakutan Alya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku berjanji untuk menjaga jarak dan fokus pada kita. Mira adalah masa lalu yang harus kita tinggalkan."

"Baiklah," jawab Alya, merasa lebih tenang dengan pernyataan Arga. "Tapi aku ingin kita tetap terbuka satu sama lain. Kita harus bisa membicarakan segala sesuatu yang membuat kita merasa tidak nyaman."

Arga mengangguk setuju. "Kita akan melakukannya. Kita harus terus berkomunikasi dan saling mendukung."

Setelah berbincang-bincang, mereka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, Alya merasakan perasaan bahagia dan harapan yang baru. Ia tahu bahwa meskipun masa lalu bisa menjadi bayangan yang mengganggu, mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi masa depan bersama.

Di malam yang sunyi itu, Alya memejamkan matanya dan berharap agar cinta mereka mampu mengatasi segala rintangan yang akan datang. Ia merasa lebih siap untuk menghadapi semua ketidakpastian, selama mereka tetap bersatu.

Hari berikutnya, Alya dan Arga memutuskan untuk merencanakan liburan kecil untuk menyegarkan pikiran dan meningkatkan kebersamaan mereka. Mereka ingin menciptakan kenangan baru yang akan menguatkan hubungan mereka. Dengan semangat baru, mereka mulai merencanakan perjalanan yang akan membawa mereka lebih dekat satu sama lain.

Saat mereka menghabiskan waktu bersama, Alya merasa percaya diri bahwa mereka bisa menghadapi apapun yang datang. Dengan harapan dan cinta yang tumbuh semakin kuat, Alya siap untuk melanjutkan perjalanan mereka ke depan, mengarungi segala ketidakpastian yang mungkin akan menghampiri.

Bab 14: Liburan yang Tak Terlupakan

Alya dan Arga merencanakan liburan kecil mereka ke pantai yang terletak tidak jauh dari kota. Sudah lama mereka tidak memiliki waktu berkualitas bersama, dan Alya merasa perjalanan ini akan menjadi kesempatan sempurna untuk mempererat ikatan mereka. Mereka bersemangat untuk menjelajahi keindahan alam dan menciptakan kenangan baru.

Hari liburan pun tiba. Pagi itu, Alya bangun lebih awal, penuh antusias. Ia memilih pakaian yang cerah dan nyaman untuk perjalanan ke pantai. Sesaat sebelum berangkat, ia mengirim pesan kepada Arga, "Siap untuk petualangan kita, Ga? "

Tak lama kemudian, Arga tiba di rumahnya dengan senyuman lebar di wajahnya. "Alya, siap untuk berangkat?" tanyanya dengan semangat, membawa ransel berisi bekal yang telah mereka siapkan bersama.

"Siap! Ayo kita pergi!" jawab Alya, merasakan kegembiraan yang mengalir di dalam dirinya.

Mereka berdua naik ke mobil dan memulai perjalanan menuju pantai. Di sepanjang jalan, mereka saling berbagi cerita, tertawa, dan mendengarkan musik favorit mereka. Alya merasakan kebahagiaan yang mendalam saat melihat Arga tersenyum. Rasanya seperti semua beban di masa lalu mulai menghilang.

Setelah perjalanan yang singkat, mereka akhirnya tiba di pantai. Air laut yang berkilauan dan pasir putih yang lembut menyambut mereka. Alya tak bisa menahan diri untuk berlari ke arah laut, merasakan ombak yang menyentuh kakinya.

"Ga, ini luar biasa!" seru Alya sambil tertawa, mengajak Arga untuk bergabung.

Arga mengikuti langkah Alya, dan mereka berdua berlari di tepi pantai, saling mengejar dan bermain air. Ketawa tawa mereka menggema di udara, membuat suasana semakin ceria.

Setelah bermain air, mereka memutuskan untuk duduk di atas tikar yang mereka bawa, menikmati bekal yang sudah mereka siapkan. Sambil makan, mereka membahas impian masa depan yang lebih dalam lagi. Alya merasa lebih terbuka dan percaya diri saat berbicara tentang harapannya.

"Aku ingin suatu hari nanti kita bisa memiliki usaha kecil bersama, seperti caf atau toko buku. Tempat yang bisa kita jadikan rumah kedua," ungkap Alya, matanya berbinar penuh harapan.

Arga tersenyum lebar. "Itu ide yang luar biasa! Aku bisa membayangkan kita mengelola tempat itu bersama. Kita bisa menghadirkan acara-acara kecil dan membuat orang-orang merasa nyaman."

Percakapan itu membuat keduanya semakin yakin akan masa depan yang ingin mereka ciptakan bersama. Setelah makan, mereka memutuskan untuk menjelajahi pantai lebih lanjut. Mereka berjalan-jalan, mengambil foto, dan menikmati keindahan alam di sekitar mereka.

Saat matahari mulai terbenam, mereka menemukan spot yang sempurna untuk menyaksikan momen indah itu. Alya dan Arga duduk bersebelahan, menikmati pemandangan langit yang berubah warna menjadi merah jambu dan oranye.

"Ga, aku sangat bersyukur bisa berada di sini bersamamu. Ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidupku," ucap Alya, menatap Arga dengan penuh rasa syukur.

"Aku juga, Alya. Setiap momen bersamamu selalu berarti," jawab Arga, menggenggam tangan Alya dengan lembut.

Matahari terus merunduk di balik cakrawala, dan langit semakin gelap. Mereka menikmati keheningan, merasakan kedamaian yang menyelimuti hati mereka. Namun, dalam keheningan itu, Alya merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap.

"Ga, tentang kita... aku merasa kita perlu memastikan semuanya jelas. Aku tidak ingin ada yang terpendam," Alya memulai, mengingat kembali perbincangan mereka sebelumnya.

Arga menatapnya, siap mendengarkan. "Apa yang kau maksud?"

"Aku ingin tahu, jika kita melanjutkan hubungan ini, seberapa jauh kau ingin melangkah? Aku tidak ingin terjebak dalam ketidakpastian lagi," Alya mengungkapkan kekhawatirannya.

"Ya, aku mengerti. Aku sudah memikirkan hal ini. Aku ingin kita bisa bersama, saling mendukung dalam segala hal. Jika semua berjalan baik, aku ingin berkomitmen untuk jangka panjang. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mendukung dalam mencapai impian masing-masing," jelas Arga dengan tegas.

Mendengar jawaban itu, Alya merasa beban di hatinya mulai terangkat. "Itu berarti banyak bagiku. Aku juga ingin kita terus melangkah bersama, menuju masa depan yang lebih baik."

Malam semakin larut, dan mereka kembali ke tikar untuk menyiapkan tempat tidur. Di bawah langit berbintang, mereka berdua terbaring sambil bercengkerama. Suara ombak yang tenang dan angin malam membuat suasana semakin romantis.

"Ga, terima kasih telah mengajakku ke sini. Ini benar-benar momen yang tidak akan pernah kulupakan," Alya berbisik, merasakan kehangatan cinta yang mengalir di antara mereka.

"Begitu juga aku, Alya. Kita sudah melewati banyak hal, dan aku tahu ini hanya permulaan. Kita akan terus maju bersama, apapun yang terjadi," jawab Arga, menatap langit berbintang.

Malam itu, di tengah keheningan dan keindahan alam, Alya dan Arga merasakan cinta mereka semakin kuat. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka tidak selalu mudah, tetapi dengan saling percaya dan mendukung satu sama lain, mereka siap untuk menghadapi semua tantangan yang akan datang.

Saat bintang-bintang bersinar terang di atas mereka, Alya menutup matanya dan mengucapkan doa dalam hati, berharap agar cinta mereka selalu diberkahi dan diizinkan untuk tumbuh lebih dalam. Di tengah kebahagiaan itu, Alya merasakan ketenangan yang selama ini ia cari, dan ia tahu bahwa inilah tempat di mana ia seharusnya berada---bersama Arga, dalam cinta yang tulus dan abadi.

Bab 15: Cinta yang Diuji

Liburan di pantai telah memberi Alya dan Arga kekuatan baru dalam hubungan mereka. Namun, saat mereka kembali ke rutinitas sehari-hari, tantangan baru mulai muncul. Suasana yang sebelumnya damai kini terganggu oleh ketidakpastian yang menyelimuti masa depan.

Hari-hari setelah liburan, Alya merasakan perubahan dalam diri Arga. Ia terlihat lebih sering termenung dan terlihat tidak fokus saat belajar. Alya khawatir ada sesuatu yang mengganggu pikiran Arga, tetapi ketika ia bertanya, Arga hanya menjawab dengan senyuman tipis.

"Semua baik-baik saja, Alya. Hanya sedikit stres dengan kuliah," kata Arga, berusaha meyakinkan Alya.

Namun, Alya tidak bisa mengabaikan firasatnya. Satu sore, setelah pertemuan kelas yang panjang, Alya memutuskan untuk mengunjungi Arga di rumahnya. Saat ia tiba, Arga sedang duduk di ruang tamu dengan tumpukan buku di sekelilingnya.

"Apa kau sudah makan?" tanya Alya, melihat Arga tampak lelah.

Arga menggeleng. "Belum. Aku terlalu fokus dengan tugas ini," jawabnya sambil meraih buku-buku di depannya.

"Ayo kita masak sesuatu bersama. Kita butuh istirahat," ajak Alya, berusaha mengalihkan perhatian Arga dari pekerjaan yang membebani pikirannya.

Setelah beberapa saat, mereka berdiri di dapur, memasak pasta sederhana sambil tertawa dan berbagi cerita. Namun, Alya merasa ada jarak yang tak terlihat antara mereka. Ia memutuskan untuk kembali menanyakan apa yang mengganggu pikiran Arga.

"Ga, aku merasa ada yang tidak beres. Jika ada yang ingin kau bicarakan, aku di sini untuk mendengarkan," ungkap Alya, menatapnya dengan penuh perhatian.

Arga terdiam sejenak, sepertinya sedang berjuang dengan kata-katanya. "Alya, aku merasa tertekan dengan ujian yang semakin dekat dan tugas yang terus menumpuk. Aku ingin mendapatkan nilai yang baik, dan kadang aku merasa tidak mampu."

Alya mengangguk, memahami rasa cemas yang Arga alami. "Aku mengerti. Tapi kau tidak harus menghadapinya sendirian. Kita bisa belajar bersama."

"Kadang, aku merasa takut mengecewakanmu jika aku tidak bisa memenuhi harapan. Aku tidak ingin menjadi beban dalam hubungan kita," Arga mengakui, wajahnya tampak penuh keraguan.

"Arga, kita berada di sini untuk saling mendukung. Ini bukan hanya tentang nilai, tapi tentang bagaimana kita bisa menghadapi semuanya bersama. Aku tidak akan pernah melihatmu sebagai beban," kata Alya dengan tegas, mencoba memberikan kepercayaan diri.

Mendengar kata-kata Alya, Arga merasa sedikit lebih baik. Namun, ia masih merasa tertekan. "Tapi, Mira masih ada di pikiranku. Aku khawatir tentang bagaimana kehadirannya akan mempengaruhi kita."

Alya menahan napas, merasakan sakit di hatinya. "Ga, kita telah berkomitmen untuk saling mendukung. Jika ada yang perlu kau katakan tentang Mira, katakanlah. Aku ingin kau terbuka."

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Arga akhirnya berkata, "Aku merasa bersalah karena pernah menyakiti perasaanmu. Meski aku sudah berusaha menjauh darinya, bayangannya tetap menghantuiku. Aku tidak ingin ini mengganggu kita."

Alya merasakan beratnya perasaan Arga. "Aku percaya padamu, Ga. Jika kau merasa perlu untuk berbicara tentangnya, kita bisa melakukannya. Tapi ingat, aku ada di sini untukmu, bukan dia."

Malam itu, setelah masakan mereka siap, mereka duduk bersama dan mulai makan dengan suasana yang sedikit lebih ringan. Meskipun ketegangan masih ada, Alya merasa bahwa mereka sedang membangun kembali kepercayaan di antara mereka.

Setelah makan, mereka memutuskan untuk belajar bersama. Alya menyiapkan catatan dan buku-buku pelajaran, berusaha membantu Arga menyiapkan ujian yang akan datang. Saat mereka belajar, Alya merasa semakin dekat dengan Arga, seolah-olah mereka kembali pada momen-momen indah yang pernah mereka alami.

Setelah beberapa jam belajar, Arga terlihat lebih ceria. "Terima kasih, Alya. Aku merasa lebih siap sekarang," ucapnya sambil tersenyum lebar.

"Kita bisa melakukannya bersama, Ga. Ingat, tidak ada yang perlu kau hadapi sendirian," kata Alya, merasa senang melihat semangat Arga kembali.

Meskipun malam itu berakhir dengan perasaan positif, Alya tidak bisa mengabaikan ketidakpastian yang masih membayang di antara mereka. Ia tahu bahwa mereka harus terus berkomunikasi dan mendukung satu sama lain untuk menjaga hubungan ini tetap kuat.

Keesokan harinya, saat Alya tiba di kampus, ia menerima pesan dari Arga yang membuatnya terkejut. "Alya, bisa kita bertemu sebentar? Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan denganmu."

Kecemasan mulai mengisi hati Alya. Ia berharap ini bukan tentang Mira atau hal lain yang bisa mengganggu hubungan mereka. Dengan rasa was-was, Alya menuju tempat yang telah mereka sepakati untuk bertemu.

Ketika Alya tiba, Arga sudah menunggu. Ekspresi wajahnya tampak serius, dan Alya merasakan ketegangan di udara. "Apa yang ingin kau bicarakan, Ga?" tanyanya, mencoba bersikap tenang.

"Aku merasa kita perlu berbicara tentang hubungan kita. Tentang masa depan dan apa yang kita inginkan," Arga mengawali percakapan, matanya menatap Alya dengan penuh arti.

Alya menelan ludah, merasakan jantungnya berdegup kencang. "Tentu, aku siap mendengarkan," jawabnya, berusaha untuk tidak menunjukkan ketakutannya.

"Sejak liburan itu, aku merasa kita semakin dekat, tetapi ada banyak hal yang belum kita bicarakan. Aku ingin memastikan bahwa kita memiliki tujuan yang sama," kata Arga, suaranya tegas namun lembut.

Alya mengangguk, menyadari betapa pentingnya pembicaraan ini. "Aku juga merasa hal yang sama. Aku ingin kita saling mendukung dan bertumbuh bersama, tapi aku perlu tahu kau benar-benar siap untuk itu."

Arga menarik napas dalam-dalam, lalu mengucapkan kata-kata yang telah lama ingin ia sampaikan. "Alya, aku mencintaimu. Dan aku ingin kita bersama dalam segala hal, meskipun ada tantangan yang akan datang."

Mendengar pernyataan itu, Alya merasakan haru yang mendalam. "Aku mencintaimu juga, Ga. Aku percaya kita bisa melewati semua ini jika kita saling mendukung."

Dengan pernyataan itu, mereka berdua merasa lebih tenang. Mereka tahu bahwa cinta mereka sedang diuji, tetapi dengan komunikasi yang terbuka dan keinginan untuk saling mendengarkan, mereka yakin bisa mengatasi apapun yang menghadang di depan mereka.

Satu langkah maju untuk menyatukan hati mereka. Keduanya siap menghadapi setiap rintangan yang akan datang---bersama.

Bab 16: Langkah Baru

Setelah percakapan yang mendalam dan penuh emosi di kampus, Alya dan Arga merasa bahwa mereka telah mengambil langkah besar dalam hubungan mereka. Keduanya berkomitmen untuk saling mendukung, dan rasa saling percaya di antara mereka semakin menguat.

Hari-hari berikutnya, Arga berusaha keras untuk belajar dan mengatasi rasa cemasnya tentang ujian yang akan datang. Alya, di sisi lain, selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan dan semangat yang ia butuhkan. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan, menyusun catatan, dan berbagi tips belajar.

Suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon besar di halaman kampus, Alya melihat Arga tampak lebih tenang dan fokus. "Aku bangga dengan kemajuanmu, Ga. Kau benar-benar berusaha keras," puji Alya.

Arga tersenyum, merasakan dorongan positif dari Alya. "Semua ini berkat dukunganmu. Tanpa kau, mungkin aku sudah menyerah," jawabnya, matanya berbinar.

"Jadi, setelah ujian ini, apa rencanamu? Apakah kau sudah memikirkan langkah selanjutnya?" tanya Alya, ingin tahu tentang masa depan Arga.

Arga terdiam sejenak, merenungkan pertanyaannya. "Aku ingin lebih fokus pada kuliah dan karir. Mungkin mencari peluang magang. Dan, tentu saja, aku ingin terus berusaha agar hubungan kita semakin kuat."

Mendengar kata-kata itu, Alya merasa harapannya tentang masa depan semakin cerah. "Aku juga ingin mengejar impianku. Setelah semua ini, mungkin kita bisa merencanakan sesuatu yang lebih besar, seperti usaha bersama."

Hari-hari berlalu, dan saat ujian tiba, Alya melihat Arga lebih percaya diri. Ia tahu bahwa semua usaha mereka akan terbayar. Dalam suasana tegang di ruang ujian, mereka saling memberikan semangat dengan saling tatap sebelum mengerjakan soal.

Setelah ujian berakhir, keduanya merasa lega dan siap merayakan hasil kerja keras mereka. Alya mengusulkan untuk pergi ke caf yang mereka sukai setelah mendapatkan hasil ujian.

"Aku sudah merindukan kue cokelat di caf itu! Kita harus merayakan!" seru Alya dengan antusias.

Arga setuju, dan setelah beberapa hari menunggu hasil ujian, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Keduanya berkumpul di kampus, menunggu hasilnya dengan penuh harap.

Ketika hasilnya diumumkan, Alya dan Arga saling memegang tangan. Ketika nama mereka dipanggil, Alya dan Arga hampir tidak percaya saat melihat nilai mereka---keduanya berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan.

"Ya! Kita berhasil, Ga!" Alya melompat kegirangan, dan Arga memeluknya dengan erat, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan.

"Semua usaha kita terbayar! Aku tidak akan melupakan momen ini," ucap Arga, tersenyum lebar.

Mereka memutuskan untuk merayakan pencapaian itu di caf kesukaan mereka. Dalam suasana yang ceria, mereka menikmati kue cokelat dan minuman favorit sambil tertawa dan bercerita tentang masa depan.

"Sekarang kita bisa memikirkan rencana kita selanjutnya. Mungkin merencanakan usaha kecil yang kita impikan?" Alya berkata dengan semangat, membayangkan apa yang bisa mereka capai bersama.

"Ya, kita bisa mulai membuat rencana dan melakukan riset. Siapa tahu, itu bisa menjadi awal dari sesuatu yang besar!" jawab Arga, merasa terinspirasi.

Ketika hari semakin malam, mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Suasana tenang dan bintang-bintang bersinar cerah, menciptakan latar belakang yang sempurna untuk momen-momen indah mereka.

Saat mereka berjalan beriringan, Alya tidak bisa menahan perasaannya. "Ga, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Tanpa dukunganmu, aku tidak akan bisa sejauh ini."

"Dan aku berterima kasih padamu, Alya. Kau telah mengajarkanku arti dari cinta dan persahabatan. Aku ingin kita terus melangkah bersama," jawab Arga, menatap mata Alya dengan penuh cinta.

Dengan hati yang penuh harapan dan cinta, mereka melangkah maju ke arah yang tidak pasti. Namun, mereka percaya bahwa bersama, mereka dapat menghadapi semua tantangan yang ada di depan mereka. Langkah baru telah dimulai, dan keduanya siap menjelajahi perjalanan yang lebih besar bersama.

Bab 17: Penghalang yang Tak Terduga

Setelah merayakan pencapaian mereka, Alya dan Arga merasa semangat dan optimisme mengalir di dalam diri mereka. Rencana untuk memulai usaha kecil semakin jelas, dan mereka berdua mulai melakukan riset tentang apa yang dibutuhkan untuk mewujudkan impian itu.

Namun, tidak lama kemudian, kehidupan mulai menampilkan tantangan yang tidak terduga. Suatu malam, saat Alya sedang menyelesaikan tugas kuliah di rumah, ia menerima pesan dari Arga yang membuatnya cemas.

"Alya, kita perlu bicara. Ada sesuatu yang terjadi," tulis Arga.

Hati Alya berdebar kencang. Ia segera membalas pesan itu dan meminta Arga untuk bertemu. Ketika mereka bertemu di sebuah kafe, Alya bisa merasakan ketegangan di wajah Arga.

"Ga, apa yang terjadi?" tanyanya, cemas.

Arga menghela napas dalam-dalam, tampak ragu untuk mengungkapkan apa yang mengganggunya. "Aku baru saja mendapatkan kabar bahwa ayahku sakit. Dia harus dirawat di rumah sakit," jawabnya dengan suara pelan.

Alya merasakan hatinya mencelus mendengar berita itu. "Oh tidak, Ga. Apa yang terjadi padanya?"

"Dia mengalami masalah jantung, dan dokter mengatakan dia harus menjalani operasi. Ini sangat sulit bagiku," Arga menjelaskan, matanya mulai berkaca-kaca.

Alya meraih tangan Arga, memberikan dukungan yang ia bisa. "Aku sangat menyesal mendengar ini, Ga. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?"

"Yang bisa kau lakukan hanyalah mendukungku. Aku harus fokus untuk merawat keluargaku sekarang," jawab Arga, suaranya penuh beban.

Mendengar jawaban itu, Alya merasa hatinya teriris. Ia tahu betapa pentingnya keluarga bagi Arga. "Aku akan selalu ada di sampingmu, Ga. Kita bisa menghadapi ini bersama."

Hari-hari berikutnya, Arga menghabiskan banyak waktu di rumah sakit, mendampingi ayahnya. Alya berusaha untuk memberikan dukungan dari jauh, tetapi ia merasakan adanya jarak yang mulai terbentuk di antara mereka. Mereka jarang bisa bertemu dan berbicara, dan itu membuat Alya merasa cemas.

Di saat-saat sulit itu, Alya memutuskan untuk tidak hanya menunggu Arga, tetapi juga mengunjungi ayahnya di rumah sakit. Ketika ia tiba, Arga tampak terkejut melihat Alya.

"Alya! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Arga, tercengang.

"Aku datang untuk menjenguk ayahmu. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja dan kau tidak sendirian," jawab Alya, senyumnya tulus.

Setelah berbincang sejenak, mereka berdua memasuki kamar tempat ayah Arga dirawat. Arga memperkenalkan Alya kepada ayahnya, yang tampak lemah tetapi tersenyum saat melihat putranya.

"Terima kasih sudah datang, Nak. Ini adalah teman baikmu?" tanya ayah Arga, berusaha untuk terlihat ceria.

"Iya, Ayah. Ini Alya," jawab Arga, menatap Alya dengan rasa bangga.

Momen itu membuat Alya merasa semakin dekat dengan keluarga Arga. Ia berusaha untuk menghibur ayah Arga, berbicara dengan hangat dan menciptakan suasana yang lebih nyaman. Saat mereka berbincang, Alya melihat betapa kuatnya hubungan antara Arga dan ayahnya, dan itu membuatnya semakin menghargai Arga.

Beberapa hari kemudian, setelah operasi yang dijadwalkan, ayah Arga mulai pulih. Keduanya merasa lega, tetapi Arga tetap merasa beban yang besar di bahunya. Ia berusaha menyeimbangkan antara kuliah, merawat ayahnya, dan hubungan mereka.

Alya berusaha keras untuk membantu Arga selama masa sulit ini. Ia mengantarkan makanan, membantu mengurus keperluan sehari-hari, dan selalu siap mendengarkan saat Arga merasa tertekan. Namun, Arga tampak semakin tertekan, dan Alya khawatir bahwa ia mulai menarik diri.

"Ga, aku merasa ada yang salah. Apakah kau baik-baik saja?" tanya Alya, suatu malam ketika mereka sedang duduk di luar rumahnya.

"Aku hanya merasa bingung dan lelah. Semua ini terjadi begitu cepat, dan aku merasa tidak bisa menangani semuanya," jawab Arga, suaranya penuh frustrasi.

"Aku di sini untukmu. Kita bisa membagi beban ini. Jangan ragu untuk berbagi apa yang kau rasakan. Kita bisa menghadapi semuanya bersama," Alya mencoba meyakinkannya.

Arga menatap Alya, merasakan ketulusan di matanya. "Kadang aku merasa terjebak, Alya. Antara memenuhi harapan keluargaku dan menjalin hubungan ini. Aku tidak ingin mengecewakanmu, tetapi aku juga tidak bisa meninggalkan keluargaku."

Alya merasakan sakit di hatinya mendengar kata-kata itu. "Ga, kau tidak perlu memilih antara aku dan keluargamu. Kita bisa saling mendukung dalam hal ini. Tapi kau harus membiarkanku masuk ke dalam hidupmu."

"Kadang aku merasa seperti semua ini lebih berat dari yang bisa aku tanggung," Arga mengakui, merasa putus asa.

"Semua orang menghadapi kesulitan, Ga. Ini adalah bagian dari hidup. Yang terpenting adalah kita tidak sendiri. Kita punya satu sama lain untuk saling mendukung," ucap Alya, berusaha memberi semangat.

Dengan perlahan, Arga mulai membuka diri tentang rasa takut dan cemasnya. Alya mendengarkan dengan sabar, berusaha untuk memberikan kenyamanan. Mereka berbagi impian dan harapan, meskipun situasi sulit di sekitar mereka.

"Aku ingin kita bisa melewati semua ini. Aku tidak ingin kehilanganmu, Alya," Arga mengungkapkan.

"Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Ga. Kita akan saling mendukung, tidak peduli seberapa sulitnya," jawab Alya, memberikan harapan bagi keduanya.

Malam itu, meskipun situasinya tidak mudah, mereka merasa sedikit lebih ringan setelah berbagi beban masing-masing. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan saling percaya dan mendukung, mereka akan menghadapi setiap tantangan yang ada di depan mereka.

Dengan tekad yang semakin kuat, mereka berdua bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang---bersama.

Bab 18: Melangkah ke Depan

Setelah beberapa minggu yang penuh tantangan, Arga dan Alya merasa seolah-olah mereka telah melalui badai bersama. Ayah Arga perlahan pulih dari operasinya, dan meskipun beban emosional masih ada, keduanya berusaha untuk mengubah kekhawatiran mereka menjadi kekuatan.

Suatu sore yang cerah, Alya mengajak Arga untuk berjalan-jalan di taman dekat kampus. Mereka duduk di bangku kayu yang nyaman di bawah naungan pohon besar, menikmati udara segar dan suara kicauan burung.

"Aku merasa seperti kita perlu merayakan hal-hal kecil," ucap Alya sambil tersenyum. "Sepertinya kita sudah banyak melalui bersama."

Arga menatap Alya, menyadari betapa pentingnya sosoknya dalam hidupnya. "Kau benar. Kita sudah melewati banyak hal, dan aku sangat berterima kasih padamu," jawabnya, merasa hangat di dalam hati.

"Bagaimana jika kita merencanakan sesuatu untuk memperingati semua ini? Mungkin piknik di akhir pekan atau jalan-jalan ke tempat yang kita suka?" usul Alya, bersemangat.

"Piknik terdengar menyenangkan! Aku setuju," balas Arga, senyumnya kembali merekah. "Kita bisa bawa makanan dan berbagi cerita."

Mereka sepakat untuk merencanakan piknik pada hari Sabtu. Selama seminggu ke depan, mereka mulai menyiapkan segala sesuatunya---makanan, minuman, dan permainan yang ingin mereka mainkan.

Hari yang ditunggu pun tiba. Cuaca sangat cerah, dan semangat mereka membara. Alya membawa keranjang piknik yang penuh dengan makanan, sementara Arga membawa selimut besar untuk mereka duduk. Saat mereka sampai di taman, suasana penuh keceriaan.

Mereka menemukan tempat yang sempurna di bawah pohon rindang dan segera mengeluarkan semua makanan. "Wah, ini terlihat lezat!" seru Arga, mengagumi keranjang yang dipenuhi berbagai hidangan.

"Semua ini untuk kita! Makan dan bersenang-senang," balas Alya, tersenyum lebar.

Mereka mulai menikmati makanan sambil berbincang dan tertawa, melupakan semua masalah yang sempat mengganggu mereka. Alya menceritakan kenangan lucu dari masa kecilnya, sementara Arga berbagi cerita tentang pengalaman konyol di sekolah.

Setelah makan, mereka memutuskan untuk bermain frisbee. Alya melempar frisbee pertama dan Arga dengan cepat mengejarnya. Keduanya tertawa gembira saat mereka berlari-lari, menikmati kebersamaan tanpa beban.

"Tahu tidak, aku merasa seperti kita kembali ke masa-masa bahagia," ucap Alya saat mereka duduk kembali setelah kelelahan.

"Aku merasakannya juga. Seperti semuanya terasa lebih ringan," jawab Arga, merasa lebih dekat dengan Alya.

Setelah bermain, mereka berbaring di selimut sambil melihat awan yang berarak di langit. Arga menatap Alya dan merasakan dorongan untuk mengungkapkan perasaannya. "Alya, aku ingin kita membahas rencana usaha kita. Aku merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mulai memikirkan hal itu."

"Ya, aku juga berpikir begitu! Kita bisa mulai dengan ide-ide yang kita miliki. Mungkin kita bisa menjual makanan ringan sehat? Aku tahu banyak orang yang tertarik dengan itu," saran Alya dengan antusias.

Arga mengangguk setuju. "Itu ide bagus! Kita bisa melakukan riset tentang resep dan cara memasarkan produk kita. Jika kita berhasil, ini bisa jadi langkah awal yang baik bagi kita."

"Mari kita buat rencana dan daftar apa yang perlu kita lakukan. Ini bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan!" ucap Alya, bersemangat untuk mulai.

Mereka menghabiskan sisa waktu piknik dengan merencanakan ide-ide usaha mereka, saling berbagi pemikiran dan gagasan. Dalam suasana ceria itu, mereka berdua merasa bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan menghadapinya bersama.

Saat matahari mulai terbenam, mereka berkemas untuk pulang. Alya menatap langit yang berwarna oranye keemasan dan berkata, "Hari ini benar-benar sempurna. Aku merasa lebih kuat bersamamu."

"Aku juga, Alya. Terima kasih telah ada di sampingku," balas Arga, menatapnya dengan penuh rasa syukur.

Dalam perjalanan pulang, mereka berdua merasakan harapan baru untuk masa depan. Dengan rencana usaha yang mulai terbentuk dan cinta yang semakin kuat, mereka siap untuk menghadapi setiap rintangan yang mungkin muncul.

Saat malam tiba, Alya dan Arga berpisah dengan janji untuk segera bertemu lagi dan melanjutkan rencana mereka. Dengan hati penuh semangat, mereka melangkah ke depan, siap menjelajahi petualangan baru yang ada di depan mereka.

Bab 19: Langkah Pertama

Minggu setelah piknik yang penuh kenangan itu, Alya dan Arga semakin bersemangat untuk memulai usaha kecil mereka. Mereka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca berbagai artikel tentang bisnis kuliner dan mencari inspirasi untuk produk yang ingin mereka tawarkan.

"Aku menemukan beberapa resep menarik untuk makanan ringan sehat. Apa kau ingin mencobanya?" tanya Alya, matanya berbinar penuh semangat.

"Ya, mari kita mulai dari sana! Kita bisa membuat beberapa sampel untuk dicoba oleh teman-teman kita," jawab Arga, merasa terinspirasi.

Mereka sepakat untuk mengadakan sesi uji coba di rumah Alya pada akhir pekan. Selama beberapa hari ke depan, mereka bekerja keras menyiapkan segala sesuatunya. Mereka memilih beberapa resep sederhana untuk dijadikan sampel, termasuk energi bar, keripik sayuran, dan smoothie segar.

Akhir pekan pun tiba, dan suasana di rumah Alya dipenuhi aroma makanan yang menggugah selera. Keduanya sangat bersemangat, meski sedikit gugup. "Ini adalah langkah pertama kita, Ga. Aku berharap semua berjalan lancar," ucap Alya sambil mengaduk adonan untuk energi bar.

"Jangan khawatir, Alya. Kita sudah melakukan persiapan dengan baik. Teman-teman kita pasti akan menyukai ini," jawab Arga, mencoba menenangkan perasaan mereka.

Setelah semua makanan siap, mereka mengundang beberapa teman dekat untuk mencicipi hasil kreasi mereka. Di antara yang diundang, ada Fira, sahabat Alya, dan Dani, teman dekat Arga yang selalu mendukung mereka.

Ketika teman-teman mereka tiba, suasana menjadi lebih ceria. Alya dan Arga menjelaskan tentang usaha kecil yang mereka rencanakan, dan semua orang tampak antusias.

"Aku tidak sabar untuk mencoba semuanya! Ini pasti enak," kata Fira, sambil tersenyum lebar.

Mereka mulai mencicipi satu per satu makanan yang disajikan. Alya dan Arga dengan penuh perhatian mengamati reaksi teman-teman mereka. Setiap senyuman dan pujian membuat mereka merasa lebih percaya diri.

"Energi bar ini luar biasa! Aku suka rasa kacangnya," komentar Dani, terlihat puas.

"Keripik sayuran ini juga enak! Ini bisa jadi camilan sehat yang menarik," tambah Fira, mengangguk setuju.

Setelah mencicipi semua makanan, teman-teman mereka memberikan masukan yang membangun. "Mungkin kita bisa menambahkan lebih banyak variasi rasa pada energi bar. Dan keripik ini bisa lebih renyah jika dipanggang lebih lama," saran Dani.

"Aku setuju! Semua ini sangat menjanjikan, dan kita harus melanjutkan ini!" ucap Alya, merasa senang dengan masukan yang mereka terima.

Setelah sesi mencicipi, mereka duduk bersama dan mulai merencanakan langkah selanjutnya. "Kita perlu membuat rencana pemasaran. Mungkin kita bisa memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan produk kita," usul Arga.

"Itu ide bagus! Kita bisa membuat akun Instagram dan Facebook untuk mempromosikan produk kita. Kita juga bisa membuat video pendek untuk menunjukkan cara pembuatannya," Alya menambahkan dengan semangat.

Setelah berdiskusi lebih lanjut, mereka merencanakan untuk membuat logo dan desain kemasan yang menarik. "Kemasan yang bagus bisa menarik perhatian orang, terutama jika kita ingin menjual secara online," kata Alya.

Mendengar ide-ide itu, Arga merasa bersemangat. "Dengan semua rencana ini, kita bisa melangkah lebih jauh. Ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang besar!"

Hari itu berakhir dengan penuh tawa dan harapan. Keduanya merasa bahwa usaha mereka bukan hanya tentang menjual makanan, tetapi juga tentang menciptakan sesuatu yang berarti bersama.

Setelah teman-teman pulang, Alya dan Arga duduk di teras rumah, berbagi perasaan mereka. "Aku tidak pernah membayangkan kita akan melangkah sejauh ini, Ga. Rasanya luar biasa," kata Alya, menghela napas bahagia.

"Aku juga merasa sama, Alya. Dan semua ini menjadi lebih berharga karena kita melakukannya bersama," jawab Arga, menatap Alya dengan penuh rasa syukur.

Keduanya menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Dengan langkah pertama yang telah diambil, mereka merasa optimis tentang masa depan. Semua tantangan yang mereka hadapi sebelumnya tampak lebih kecil ketika mereka bersama, dan mereka siap untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia usaha yang penuh potensi ini.

Dengan hati yang penuh harapan dan semangat, mereka berdua merencanakan hari-hari ke depan, menantikan setiap kesempatan yang akan datang.

Bab 20: Langkah Terakhir

Seiring berjalannya waktu, Alya dan Arga semakin terlibat dalam usaha kecil mereka. Mereka berhasil meluncurkan akun media sosial dan mulai menarik perhatian banyak orang dengan produk makanan sehat yang mereka buat. Komunitas di sekitar mereka sangat antusias, dan ini memberikan mereka semangat untuk terus berinovasi.

Hari demi hari, mereka terus memperbaiki resep dan kemasan, menjadikan produk mereka semakin menarik. Keduanya juga mulai berpartisipasi dalam bazaar makanan di kota, yang memberi mereka kesempatan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. Semua usaha ini membawa kebahagiaan tersendiri bagi mereka.

Pada suatu sore, setelah selesai berjualan di bazaar, Alya dan Arga duduk di sebuah kafe kecil, menikmati secangkir kopi. Mereka berdua tampak lelah namun sangat puas. "Aku tidak pernah menyangka kita akan secepat ini. Lihat semua orang yang menyukai produk kita!" ucap Alya, matanya berbinar penuh semangat.

"Ini semua berkat kerja keras kita, Alya. Aku merasa kita bisa lebih jauh dari ini," jawab Arga, tersenyum bangga.

"Mungkin kita bisa berpikir tentang memperluas produk. Apa kau berpikir tentang makanan lain yang bisa kita tambahkan?" Alya bertanya, penuh antusiasme.

"Bagaimana kalau kita menambahkan smoothie bowl? Itu lagi tren saat ini. Kita bisa menyiapkan berbagai topping yang menarik!" saran Arga, membayangkan berbagai kemungkinan.

Percakapan mereka penuh dengan ide-ide baru dan harapan. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Arga merasakan ketegangan yang menggelayuti pikirannya. Ia telah memikirkan sebuah keputusan penting, dan sekarang tampaknya adalah waktu yang tepat untuk membagikannya dengan Alya.

Setelah beberapa saat berbincang, Arga menghentikan pembicaraannya dan menatap Alya dengan serius. "Alya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."

Alya memperhatikan wajah Arga yang tampak lebih serius dari biasanya. "Apa itu, Ga? Kau terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting."

"Aku... aku sudah memikirkan tentang kita, tentang masa depan kita," Arga mulai, merasa jantungnya berdegup kencang. "Selama ini kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku merasa bahwa kita bisa mengatasi apapun jika kita bersama."

Alya mendengarkan dengan seksama, merasakan ketegangan yang ada di udara. "Ya, aku merasa sama. Kita sudah menghadapi banyak tantangan dan membuat kenangan indah bersama."

"Dan aku ingin kita melangkah lebih jauh lagi. Aku tidak hanya ingin berbagi usaha ini denganmu, tetapi juga hidupku. Aku ingin menjadikanmu bagian dari masa depan yang lebih besar," ucap Arga, mengambil napas dalam-dalam.

Mata Alya melebar, merasakan momen ini menjadi lebih dari sekadar percakapan biasa. "Apa yang kau maksud, Ga?"

Arga meraih tangan Alya, memegangnya erat. "Alya, maukah kau menikah denganku? Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, melalui setiap suka dan duka, dan menjalani semua petualangan yang akan datang."

Air mata kebahagiaan menggenang di mata Alya. Ia tidak menyangka Arga akan mengajukan pertanyaan itu. "Oh Ga... aku... aku sangat ingin! Ya, aku mau!" jawabnya, suaranya bergetar karena emosi.

Dengan senyuman lebar, Arga meraih Alya dan menariknya dalam pelukan hangat. "Aku sangat bahagia mendengar itu, Alya! Kita akan membuat masa depan yang indah bersama."

Mereka berdua saling berpelukan, merasakan cinta yang semakin kuat di antara mereka. Semua keraguan dan tantangan yang telah mereka hadapi terasa terbayar dengan momen ini. Keduanya tahu bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka---babak yang penuh dengan harapan, cinta, dan impian yang ingin mereka wujudkan bersama.

Sambil duduk di kafe kecil itu, mereka membayangkan masa depan mereka yang cerah---sebuah usaha yang sukses dan sebuah keluarga yang bahagia. Dengan semangat baru, mereka bersiap untuk menjalani petualangan hidup yang lebih besar bersama, mengukir kisah cinta mereka yang tak terlupakan.

Dan saat hari semakin gelap, dengan cahaya bintang mulai bermunculan di langit, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan cinta mereka akan selalu menjadi cahaya yang menerangi setiap langkah mereka.

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun