Mohon tunggu...
agusprasetyo
agusprasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa pascasarjana unma banten

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diskresi dalam Penegakan Hukum

19 Januari 2025   23:16 Diperbarui: 20 Januari 2025   12:59 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

DISKRESI DALAM PENEGAKAN HUKUM

Agus Prasetyo, SH.

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mathla’ul Anwar Banten

email: agoespras3tyo@gmail.com

ABSTRAK

Diskresi menjadi sangat penting dalam sistem hukum yang kompleks, di mana tidak semua situasi dapat diatur dengan jelas dalam undang-undang. Misalnya, dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran hukum yang bersifat ringan, seorang polisi mungkin memiliki kebijaksanaan untuk memberikan peringatan daripada melakukan penangkapan. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi memungkinkan penegak hukum untuk bertindak secara lebih fleksibel dan responsif terhadap konteks yang ada.

Pentingnya diskresi dalam penegakan hukum tidak dapat diabaikan, terutama dalam konteks sistem hukum yang berorientasi pada keadilan. Diskresi memungkinkan penegak hukum untuk mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan sosial dalam setiap keputusan yang diambil. Dalam banyak kasus, penerapan hukum yang kaku tanpa mempertimbangkan konteks dapat menghasilkan ketidakadilan. Misalnya, dalam kasus di mana pelanggaran hukum dilakukan oleh individu yang berada dalam keadaan tertekan atau terpaksa, penggunaan diskresi dapat membantu menghindari sanksi yang tidak proporsional.

Kata Kunci:   Unma, Banten, Pascasarjana, Dr. Ibnu Mazjah, S.H.M.H., Metode Penelitian Ilmu Hukum, Diskresi

ABSTRACT

Discretion becomes especially important in complex legal systems, where not all situations can be clearly regulated in law. For example, in cases involving minor legal offenses, a police officer may have the discretion to issue a warning rather than make an arrest. This shows that discretion allows law enforcers to act more flexibly and responsively to the existing context.

The importance of discretion in law enforcement cannot be ignored, especially in the context of a justice-oriented legal system. Discretion allows law enforcement to consider aspects of humanity and social justice in every decision taken. In many cases, rigid application of the law without considering context can result in injustice. For example, in cases where violations of the law are committed by individuals under duress or coercion, the use of discretion can help avoid disproportionate sanctions.

Keywords:     Unma, Unma, Banten, Postgraduate, Dr. Ibnu Mazjah, S.H.M.H., Legal Research Methods, Discretion

PENDAHULUAN

Diskresi dalam konteks hukum merujuk pada kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat publik, seperti aparat penegak hukum, untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan pribadi atau situasional dalam situasi yang tidak diatur secara spesifik oleh hukum. Menurut Black’s Law Dictionary, diskresi adalah “kekuasaan untuk memilih di antara beberapa pilihan yang mungkin dalam menjalankan tugas atau fungsi tertentu”.[1] Dalam praktiknya, diskresi memberikan ruang bagi penegak hukum untuk menilai dan mempertimbangkan berbagai faktor sebelum mengambil keputusan, seperti dalam penegakan hukum pidana, penegakan hukum administrasi, dan kebijakan publik.

Diskresi dalam penegakan hukum merupakan salah satu aspek penting yang sering kali menjadi perdebatan dalam praktik hukum. Diskresi merujuk pada kebebasan yang dimiliki oleh penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu, di mana hukum tidak memberikan pedoman yang jelas. Dalam konteks ini, diskresi dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai keadilan, tetapi juga dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Sebagai contoh, dalam kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas, seorang polisi mungkin memiliki kebebasan untuk memberikan peringatan alih-alih tilang, tergantung pada situasi dan niat pelanggar.[2]

 Dalam praktiknya, diskresi sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk norma sosial, nilai-nilai etika, dan tekanan publik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2021), terdapat lebih dari 60% penegak hukum yang mengaku menggunakan diskresi dalam mengambil keputusan sehari-hari, terutama dalam kasus yang melibatkan pelanggaran ringan. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi bukan hanya sekadar pilihan, tetapi juga merupakan bagian integral dari proses penegakan hukum yang efektif.[3]

Namun, penggunaan diskresi tidak selalu berjalan mulus. Terdapat banyak kasus dimana diskresi digunakan secara tidak tepat, yang mengakibatkan ketidakadilan. Misalnya, dalam kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran narkotika, terdapat laporan bahwa penegak hukum sering kali memberikan perlakuan yang berbeda kepada pelanggar berdasarkan latar belakang sosial dan ekonomi mereka. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.[4]

Dalam konteks global, diskresi dalam penegakan hukum juga menjadi perhatian di banyak negara. Menurut laporan dari Amnesty International (2020), terdapat banyak kasus di berbagai negara di mana diskresi penegak hukum digunakan untuk menargetkan kelompok-kelompok tertentu, seperti minoritas etnis atau politik. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi dapat menjadi pedang bermata dua, yang dapat digunakan untuk mencapai keadilan, tetapi juga dapat disalahgunakan untuk menegakkan ketidakadilan.[5]

Statistik menunjukkan bahwa penggunaan diskresi yang tepat dapat mengurangi jumlah kasus yang berujung pada proses hukum formal. Menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar 30% kasus pelanggaran hukum yang ditangani oleh kepolisian berhasil diselesaikan melalui mediasi dan penyelesaian di luar pengadilan, berkat adanya kebijakan diskresi yang diterapkan oleh aparat penegak hukum.[6] Hal ini menunjukkan bahwa diskresi tidak hanya berfungsi untuk memberikan keadilan, tetapi juga untuk mengurangi beban sistem peradilan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa diskresi juga membawa risiko penyalahgunaan. Ketika pejabat publik diberikan kebebasan untuk membuat keputusan, ada kemungkinan bahwa keputusan tersebut dipengaruhi oleh bias pribadi atau kepentingan tertentu. Oleh karena itu, penting untuk mengatur dan mengawasi penggunaan diskresi agar tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum.

Dalam konteks Indonesia, diskresi dalam penegakan hukum juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya, Pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa polisi memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam menjalankan tugasnya, asalkan tindakan tersebut sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku. Ini menunjukkan bahwa meskipun diskresi memberikan kebebasan, tetap ada batasan yang harus dipatuhi.

Secara keseluruhan, diskresi dalam penegakan hukum berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan dan efektivitas dalam sistem hukum. Namun, untuk memastikan bahwa diskresi tidak disalahgunakan, diperlukan pengawasan yang ketat dan pedoman yang jelas dalam penerapannya. Diskresi yang bijaksana dan bertanggung jawab dapat membantu menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengevaluasi penggunaan diskresi dalam penegakan hukum. Diskresi harus diimbangi dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas agar tidak mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Dalam artikel ini, penulis akan membahas lebih lanjut mengenai konsep diskresi, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaannya, serta implikasi dari penggunaan diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia.

PERMASALAHAN

Diskresi dalam konteks penegakan hukum merujuk pada kebebasan atau wewenang yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan subjektif dalam situasi tertentu. Diskresi adalah tindakan yang diambil oleh pejabat publik yang memiliki kekuasaan untuk menentukan pilihan di antara beberapa alternatif yang ada. Dalam praktiknya, diskresi sering kali muncul dalam situasi di mana undang-undang tidak memberikan petunjuk yang jelas atau ketika situasi yang dihadapi bersifat unik dan tidak terduga.

Penerapan diskresi dalam penegakan hukum dapat dilihat dalam berbagai konteks, seperti dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Misalnya, dalam kasus penyidikan, seorang penyidik mungkin menggunakan diskresi untuk memutuskan apakah akan melanjutkan penyelidikan terhadap suatu kasus berdasarkan bukti yang ada. Dalam hal ini, penyidik harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kepentingan publik, kemungkinan keberhasilan penyidikan, dan sumber daya yang tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi bukan hanya sekadar kebebasan, tetapi juga tanggung jawab yang harus diemban oleh aparat penegak hukum.

Tetapi, penggunaan diskresi juga dapat menimbulkan kontroversi, terutama ketika keputusan yang diambil dianggap tidak adil atau bias. Misalnya, dalam kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas, seorang petugas mungkin memutuskan untuk tidak menindak pelanggar tertentu karena alasan subjektif. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk menggunakan diskresi secara bijaksana dan bertanggung jawab.

METODE PENELITIAN

Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana akanmenggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, berdasarkan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Dalam penulisan ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan bentuk penelitian kepustakaan. Penulis menggunakan data sekunder sebagai pendekatan penelitian normatif yang mencari dan menggunakan bahan kepustakaan seperti tulisan-tulisan karya ilmiah maupun jurnal-jurnal Ilmiah, buku-buku tentang hak asasi manusia sebagai referensi dan juga mempelajari perundang-undangan berkenaan dengan hak asasi manusia.

PEMBAHASAN

Konsep Diskresi 

Definisi Diskresi

  • Pengertian Diskresi Menurut Para Ahli 

Diskresi adalah suatu wewenang yang diberikan kepada pejabat publik untuk mengambil keputusan dalam situasi di mana hukum tidak memberikan petunjuk yang jelas. Menurut Soerjono Soekanto, diskresi adalah kebijakan yang diambil oleh pejabat administrasi dalam menjalankan tugasnya, di mana keputusan tersebut tidak diatur secara eksplisit oleh peraturan perundang-undangan.[7] Hal ini menunjukkan bahwa diskresi merupakan elemen penting dalam penegakan hukum, terutama ketika menghadapi situasi yang kompleks dan dinamis.

Di sisi lain, menurut M. Ali, diskresi dapat diartikan sebagai kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat publik dalam mengambil keputusan yang dianggap tepat berdasarkan pertimbangan yang ada.[8] Dalam konteks ini, diskresi tidak hanya sekadar hak untuk memilih, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan publik. Diskresi sering kali diperlukan dalam situasi di mana hukum tidak mencakup semua kemungkinan yang ada, sehingga memberikan ruang bagi pejabat untuk menerapkan kebijaksanaan mereka.

Dalam perspektif hukum administrasi, diskresi juga diartikan sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk menentukan tindakan administratif berdasarkan pertimbangan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat dari D. J. W. G. v. der Molen yang menyatakan bahwa diskresi menciptakan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan, yang memungkinkan pejabat untuk merespons keadaan khusus yang mungkin tidak diatur oleh peraturan yang ada.[9] Dengan demikian, diskresi menjadi sarana bagi pemerintah untuk menyesuaikan tindakan mereka dengan kebutuhan masyarakat.

Bahwa penggunaan diskresi dalam penegakan hukum meningkat, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kebijakan publik. Menurut data dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sekitar 60% keputusan yang diambil oleh pejabat publik dalam konteks hukum administrasi melibatkan unsur diskresi.[10] Hal ini menandakan bahwa diskresi merupakan bagian integral dari sistem hukum yang ada, dan pemahaman yang baik tentang diskresi sangat penting bagi para praktisi hukum.

Contoh kasus yang relevan adalah keputusan yang diambil oleh polisi dalam menangani pelanggaran lalu lintas. Dalam banyak situasi, polisi memiliki diskresi untuk memutuskan apakah akan memberikan tilang atau hanya peringatan. Keputusan ini sering kali bergantung pada konteks dan perilaku pelanggar. Diskresi semacam ini penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum tetap manusiawi dan responsif terhadap situasi yang ada, meskipun tetap harus dilakukan dengan pertimbangan yang objektif dan adil.[11]

  • Diskresi dalam Konteks Hukum Administrasi dan Hukum Pidana

Dalam hukum administrasi, diskresi seringkali digunakan oleh pejabat publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik. Misalnya, dalam kasus pengeluaran izin usaha, pejabat berwenang dapat menggunakan diskresi untuk menilai kelayakan pemohon berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, meskipun tidak semua aspek dapat diatur secara rinci dalam peraturan. Hal ini diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang memberikan ruang bagi pejabat untuk menggunakan diskresi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Di sisi lain, dalam konteks hukum pidana, diskresi juga memiliki peran yang signifikan. Penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, sering kali dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memutuskan apakah akan melanjutkan suatu kasus atau tidak. Misalnya, dalam kasus tindak pidana ringan, seorang polisi mungkin memilih untuk memberikan peringatan alih-alih melakukan penangkapan. Keputusan ini mencerminkan penggunaan diskresi yang bertujuan untuk mencapai keadilan restoratif, bukan hanya hukuman semata.[12]

Namun, penggunaan diskresi dalam hukum pidana juga harus dilakukan dengan hati-hati. Terdapat risiko bahwa diskresi dapat disalahgunakan, yang dapat mengarah pada ketidakadilan. Sebagai contoh, dalam kasus diskriminasi rasial, penegak hukum mungkin menggunakan diskresi mereka untuk menargetkan kelompok tertentu secara tidak adil. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan dan regulasi terhadap penggunaan diskresi dalam sistem peradilan pidana (Harris, 2021).[13]

Dalam praktiknya, diskresi harus didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan keadilan. Pejabat publik yang menggunakan diskresi harus mempertimbangkan dampak keputusan mereka terhadap masyarakat dan individu yang terlibat. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan mengenai penggunaan diskresi yang tepat menjadi sangat penting bagi para penegak hukum dan pejabat publik lainnya.

Dengan demikian, diskresi memainkan peran yang krusial dalam penegakan hukum, baik dalam konteks hukum administrasi maupun hukum pidana. Namun, penting untuk memastikan bahwa diskresi digunakan secara bertanggung jawab dan tidak disalahgunakan, agar tujuan keadilan dan kepentingan publik dapat tercapai.

Jenis-Jenis Diskresi

  • Diskresi Yang Bersifat Administrative

Diskresi yang bersifat administratif merujuk pada kewenangan yang dimiliki oleh pejabat publik untuk mengambil keputusan dalam situasi yang tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, diskresi menjadi alat penting bagi pemerintah untuk menjalankan fungsi administratifnya dengan fleksibilitas yang diperlukan. Menurut S. Margono, diskresi administratif memungkinkan pejabat publik untuk menyesuaikan tindakan mereka dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.[14]

Salah satu contoh nyata dari diskresi administratif dapat dilihat dalam pengelolaan izin usaha. Dalam banyak kasus, pejabat yang berwenang memiliki kebijakan untuk memberikan atau menolak izin berdasarkan pertimbangan yang lebih luas, seperti dampak sosial atau lingkungan dari kegiatan usaha tersebut. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi memiliki kebijakan untuk tidak memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) di kawasan yang dianggap rawan bencana, meskipun secara teknis pemohon memenuhi semua syarat administratif.[15]

Berdasarkan statistik menunjukkan bahwa penggunaan diskresi administratif dapat berkontribusi pada pengurangan konflik dan peningkatan kepuasan masyarakat. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia Tahun 2022, sekitar 70% responden merasa puas dengan keputusan yang diambil oleh pejabat publik yang menggunakan diskresi secara bijak dan transparan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menghargai keputusan yang mempertimbangkan konteks dan kepentingan publik, meskipun keputusan tersebut mungkin tidak selalu sesuai dengan ketentuan yang ada. 

Tetapi, diskresi administratif juga memiliki risiko penyalahgunaan. Tanpa adanya pengawasan yang ketat, terdapat kemungkinan pejabat publik menggunakan diskresi mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, kasus korupsi dalam penguasaan izin tambang di Kalimantan Timur menunjukkan bagaimana diskresi dapat disalahgunakan untuk memfasilitasi praktik ilegal. Oleh karena itu, penting untuk memastikan adanya mekanisme kontrol dan akuntabilitas dalam penggunaan diskresi administratif.

Dalam rangka meminimalkan risiko penyalahgunaan, beberapa negara telah mengembangkan pedoman dan prosedur yang jelas untuk penggunaan diskresi administratif. Misalnya, di Singapura, terdapat kebijakan yang mengharuskan pejabat publik untuk mendokumentasikan setiap keputusan yang diambil menggunakan diskresi, serta alasan di balik keputusan tersebut. Hal ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memberikan dasar yang kuat untuk mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil. Dengan demikian, meskipun diskresi administratif memberikan fleksibilitas, tetap diperlukan kerangka kerja yang jelas untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah demi kepentingan publik. 

Diskresi yang bersifat administratif merupakan aspek penting dalam penegakan hukum dan pelayanan publik. Meskipun memberikan fleksibilitas yang diperlukan untuk menyesuaikan keputusan dengan kebutuhan masyarakat, penggunaan diskresi harus dilakukan dengan hati-hati dan di bawah pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan. Dengan demikian, diskresi dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, asalkan digunakan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

  • Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana

Diskresi dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu aspek penting yang sering kali menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Diskresi ini merujuk pada kekuasaan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang tidak sepenuhnya diatur oleh hukum. Dalam konteks ini, diskresi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan, tetapi juga dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Menurut R. Setiawan, diskresi dalam penegakan hukum pidana harus digunakan dengan hati-hati agar tidak melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.[16] 

Salah satu contoh nyata dari diskresi dalam penegakan hukum pidana adalah dalam kasus penahanan tersangka. Misalnya, dalam kasus yang melibatkan pelanggaran ringan, seorang polisi mungkin memiliki kebijaksanaan untuk memberikan peringatan atau menyelesaikan masalah secara damai tanpa harus membawa kasus tersebut ke pengadilan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahunn 2022 menunjukkan bahwa sekitar 30% kasus pelanggaran hukum ringan diselesaikan melalui mediasi, di mana aparat penegak hukum menggunakan diskresi mereka untuk menghindari proses peradilan yang panjang. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi dapat berfungsi untuk mengurangi beban peradilan dan memberikan penyelesaian yang lebih cepat bagi masyarakat.

Tetapi, penggunaan diskresi juga harus diimbangi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh J. S. Prabowo pada tahun 2021, ada kecenderungan di mana diskresi digunakan secara tidak adil, terutama terhadap kelompok masyarakat tertentu.[17] Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa aparat penegak hukum lebih cenderung memberikan diskresi kepada pelanggar hukum yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih tinggi, sementara mereka yang berasal dari latar belakang yang lebih rendah sering kali mengalami penegakan hukum yang lebih ketat. Ini menunjukkan bahwa meskipun diskresi dapat memberikan fleksibilitas, ia juga dapat memperkuat ketidakadilan yang ada dalam sistem hukum. 

Dalam konteks hukum pidana, diskresi juga terlihat dalam keputusan jaksa untuk melakukan penuntutan atau tidak. Jaksa memiliki kewenangan untuk menilai apakah ada cukup bukti untuk melanjutkan kasus ke pengadilan. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa memiliki hak untuk menggunakan diskresi dalam menentukan apakah suatu perkara layak untuk dituntut. Namun, keputusan ini sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tekanan publik dan pertimbangan politik. Sebagai contoh, dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, jaksa mungkin merasa tertekan untuk melanjutkan penuntutan meskipun ada keraguan tentang kekuatan bukti yang ada.

Diskresi dalam penegakan hukum pidana juga mencakup keputusan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Hakim memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan berbagai faktor, seperti latar belakang pelanggar, niat, dan dampak dari tindakan tersebut sebelum memutuskan hukuman. Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Etika Penegakan Hukum, sekitar 40% hakim menggunakan diskresi mereka untuk memberikan hukuman yang lebih ringan dalam kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran non-kriminal.[18] Ini menunjukkan bahwa diskresi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan yang lebih manusiawi, tetapi juga harus diimbangi dengan prinsip kesetaraan di depan hukum. 

Diskresi dalam penegakan hukum pidana memiliki peran yang sangat penting dan kompleks. Meskipun dapat membantu dalam mencapai keadilan dan efisiensi dalam sistem hukum, penggunaan diskresi juga harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan transparansi untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum untuk memahami batasan dan tanggung jawab yang melekat pada penggunaan diskresi dalam praktik hukum sehari-hari.

Dasar Hukum Diskresi 

  • Peraturan Perundang-Undangan Yang Mengatur Diskresi

Diskresi dalam penegakan hukum merupakan salah satu aspek penting yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Diskresi, yang berasal dari kata "discretion" dalam bahasa Inggris, merujuk pada kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pejabat publik dalam menjalankan tugasnya, terutama ketika menghadapi situasi yang tidak diatur secara eksplisit oleh hukum. Dalam konteks hukum Indonesia, diskresi diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan yang memberikan pedoman bagi aparatur negara dalam mengambil keputusan. 

Salah satu dasar hukum yang paling mendasar mengenai diskresi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap tindakan pemerintahan harus dilakukan berdasarkan hukum, dan dalam hal hukum tidak mengatur, pejabat yang berwenang dapat mengambil keputusan berdasarkan diskresi. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi merupakan instrumen yang sah dalam menjalankan fungsi pemerintahan, asalkan tetap berlandaskan pada prinsip keadilan dan kepentingan umum.

Selain itu, diskresi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini, diatur bahwa pejabat publik harus menggunakan diskresi dengan penuh tanggung jawab dan transparansi. Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat. Penggunaan diskresi yang tidak tepat dapat berpotensi menimbulkan praktik korupsi, sehingga pengawasan yang ketat terhadap penggunaan diskresi menjadi sangat penting.[19] 

Dalam konteks hukum pidana, diskresi juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Misalnya, dalam Pasal 14 KUHP, terdapat ketentuan yang memberikan kewenangan kepada jaksa untuk melakukan diskresi dalam menentukan apakah suatu perkara layak untuk dilanjutkan ke proses peradilan atau tidak. Diskresi ini penting untuk memastikan bahwa sistem peradilan tidak dibebani dengan perkara-perkara yang tidak substansial atau tidak memenuhi syarat hukum.[20]

Lebih lanjut, dalam praktik peradilan, diskresi juga sering kali diatur dalam peraturan internal lembaga penegak hukum, seperti Polri dan Kejaksaan. Misalnya, Polri memiliki pedoman operasional yang mengatur penggunaan diskresi oleh anggotanya dalam penanganan kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana ringan. Hal ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada aparat penegak hukum dalam menanggapi situasi yang dinamis, sambil tetap menjaga prinsip keadilan dan kepastian hukum.[21] 

Secara keseluruhan, dasar hukum diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia sangat penting untuk dipahami oleh para pelaku hukum dan masyarakat. Dengan adanya pengaturan yang jelas mengenai diskresi, diharapkan penggunaan kekuasaan oleh pejabat publik dapat dilakukan secara bijaksana dan bertanggung jawab, serta dapat meminimalisir potensi penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat. Sebagai catatan, meskipun diskresi memberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan, tetap diperlukan adanya pengawasan dan akuntabilitas untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan hukum dan prinsip-prinsip keadilan.

  • Contoh Kasus Hukum Yang Melibatkan Diskresi

Diskresi dalam penegakan hukum sering kali menjadi sorotan ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang memerlukan pertimbangan khusus dari pihak berwenang. Salah satu contoh yang relevan adalah kasus yang melibatkan kebijakan penegakan hukum terkait dengan narkotika. Di Indonesia, terdapat banyak kasus di mana aparat penegak hukum menggunakan diskresi dalam menentukan tindakan yang akan diambil terhadap pelanggar hukum. Misalnya, dalam kasus seorang pengguna narkoba yang tertangkap, pihak kepolisian dapat menggunakan diskresi untuk memilih antara penahanan atau rehabilitasi. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memberikan ruang bagi aparat untuk mempertimbangkan kondisi pelanggar dalam menentukan tindakan yang tepat.[22]

Selain itu, diskresi juga terlihat dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas. Dalam beberapa kasus, polisi sering kali menggunakan diskresi untuk memberikan peringatan kepada pelanggar ringan, seperti tidak menggunakan helm atau pelanggaran kecil lainnya, daripada langsung memberikan tilang. Keputusan ini sering kali didasarkan pada situasi dan kondisi di lapangan, serta pertimbangan apakah pelanggaran tersebut membahayakan keselamatan publik. Hal ini mencerminkan bahwa diskresi dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang lebih efektif dan manusiawi.[23] 

Contoh lainnya dapat dilihat dalam kasus pemilihan umum, di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberikan diskresi untuk menentukan kelayakan calon peserta pemilu. Dalam praktiknya, KPU harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk integritas dan rekam jejak calon. Pada tahun 2019, terdapat beberapa calon yang didiskualifikasi karena dugaan pelanggaran hukum, namun KPU menggunakan diskresi untuk memberikan kesempatan bagi calon tertentu untuk memperbaiki kesalahan administratif sebelum keputusan final diambil. Keputusan ini menunjukkan bagaimana diskresi dapat berfungsi untuk menjaga keadilan dalam proses pemilihan.[24]

Dalam konteks hukum administrasi, diskresi juga muncul dalam keputusan yang diambil oleh pejabat publik dalam penerbitan izin. Misalnya, dalam kasus izin lingkungan, pejabat berwenang dapat menggunakan diskresi untuk menilai dampak lingkungan dari suatu proyek. Jika suatu proyek dianggap memiliki dampak negatif yang signifikan, pejabat tersebut dapat menolak izin meskipun semua syarat administratif telah dipenuhi. Kasus ini menyoroti pentingnya diskresi dalam melindungi kepentingan publik dan lingkungan.[25] 

Akhirnya, diskresi dalam penegakan hukum juga dapat dilihat dalam konteks penanganan kasus-kasus korupsi. Dalam beberapa situasi, jaksa atau penyidik diberi kebebasan untuk menentukan apakah suatu kasus layak untuk dilanjutkan ke pengadilan atau tidak. Misalnya, dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, sering kali ada pertimbangan politik dan sosial yang mempengaruhi keputusan tersebut. Diskresi dalam konteks ini sangat sensitif dan dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem hukum.[26]

Diskresi dalam Penegakan Hukum di Indonesia 

Peran Diskresi dalam Penegakan Hukum 

  • Diskresi Sebagai Alat untuk Mencapai Keadilan

Diskresi dalam penegakan hukum merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Dalam konteks hukum, diskresi dapat diartikan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang tidak diatur secara eksplisit oleh undang-undang. Hal ini menjadi penting, terutama dalam upaya untuk mencapai keadilan, karena tidak semua situasi dapat dijelaskan dengan norma hukum yang kaku. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus yang melibatkan anak di bawah umur, aparat penegak hukum sering kali harus mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan dan sosial yang tidak selalu tercantum dalam undang-undang. Menurut Supriyadi, dalam situasi seperti ini, diskresi dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang lebih manusiawi dan adil.[27] 

Penggunaan diskresi dalam penegakan hukum dapat berkontribusi pada penurunan angka kriminalitas. Sebuah studi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa daerah yang menerapkan pendekatan diskresi dalam penegakan hukum mengalami penurunan angka kejahatan sebesar 15% dibandingkan dengan daerah yang menerapkan hukum secara ketat tanpa mempertimbangkan konteks sosial. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai tujuan hukum yang lebih luas, yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, penggunaan diskresi juga harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Dalam konteks penegakan hukum, diskresi yang digunakan secara sembarangan dapat mengakibatkan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk memiliki pedoman yang jelas dan transparan dalam menggunakan diskresi mereka. Pelatihan dan pendidikan yang memadai bagi aparat penegak hukum sangat penting untuk memastikan bahwa diskresi digunakan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab. 

Contoh kasus yang relevan adalah penanganan kasus tindak pidana ringan, seperti pelanggaran lalu lintas. Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum memiliki kebijakan untuk tidak memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar yang menunjukkan itikad baik, seperti meminta maaf atau berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi beban sistem peradilan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pelanggar untuk memperbaiki perilakunya. Hal ini sejalan dengan prinsip restorative justice, yang menekankan pentingnya pemulihan hubungan antara pelanggar dan masyarakat.

Dengan demikian, diskresi dalam penegakan hukum dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mencapai keadilan, asalkan digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memahami bahwa diskresi bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kewenangan yang harus dijalankan dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagai langkah ke depan, perlu ada kerangka kerja yang jelas untuk mengatur penggunaan diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia, sehingga dapat meminimalkan risiko penyalahgunaan dan memastikan bahwa keadilan dapat dicapai secara merata di seluruh lapisan masyarakat. 

  • Diskresi dalam Konteks Penegakan Hukum yang Fleksibel

Konteks penegakan hukum yang fleksibel sangat penting dalam penerapan diskresi. Fleksibilitas ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk menyesuaikan tindakan mereka dengan situasi yang dihadapi, yang sering kali kompleks dan tidak terduga. Dalam banyak kasus, hukum yang tertulis tidak dapat mencakup semua kemungkinan situasi yang ada di lapangan. Oleh karena itu, diskresi menjadi alat yang vital untuk menjawab tantangan tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo, fleksibilitas dalam penegakan hukum dapat meningkatkan efektivitas sistem hukum, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan ringan atau pelanggaran administratif.[28] 

Contoh dari penerapan diskresi yang fleksibel dapat dilihat dalam kasus penanganan tindak pidana narkoba. Di beberapa daerah, aparat penegak hukum diizinkan untuk menggunakan diskresi dalam menentukan apakah seorang pelanggar harus ditangkap dan diproses secara hukum atau diberikan rehabilitasi. Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2022 menunjukkan bahwa penggunaan diskresi dalam penanganan kasus narkoba dapat mengurangi angka penjara yang berlebihan dan lebih fokus pada rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi tidak hanya berfungsi untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk memberikan kesempatan kedua bagi individu yang terjebak dalam masalah hukum. 

Tetapi, fleksibilitas ini juga membawa risiko, terutama jika tidak ada pengawasan yang memadai. Ketiadaan pengawasan dapat menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa diskresi digunakan secara adil dan bertanggung jawab. Menurut Hasan, pengawasan yang baik dapat mengurangi potensi penyalahgunaan diskresi dan memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum selalu berlandaskan pada prinsip keadilan.[29] 

Diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan, tetapi juga memerlukan pendekatan yang fleksibel dan pengawasan yang ketat. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum untuk menyadari tanggung jawab mereka dan berkomitmen untuk menjalankan diskresi dengan cara yang etis dan adil. 

Contoh Penerapan Diskresi

  • Kasus-kasus yang Menunjukkan Penerapan Diskresi oleh Aparat Penegak Hukum

Penerapan diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia sering kali menjadi sorotan, terutama ketika aparat penegak hukum dihadapkan pada situasi yang kompleks dan memerlukan keputusan yang cepat. Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus penggunaan diskresi dalam penanganan pelanggaran lalu lintas. Misalnya, dalam kasus di mana seorang pengemudi melanggar lampu merah namun tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang lain, petugas kepolisian sering kali memilih untuk memberikan peringatan verbal ketimbang tilang. Keputusan ini mencerminkan penggunaan diskresi yang bertujuan untuk mendidik pengemudi daripada sekadar menghukum.[30] 

Dalam beberapa kasus, contohnya kasus penanganan tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil atau perusakan barang. aparat penegak hukum mungkin memilih untuk tidak menindaklanjuti laporan dari masyarakat jika pelaku menunjukkan itikad baik untuk mengganti kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa diskresi digunakan untuk mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas, di mana penegakan hukum yang ketat mungkin tidak selalu menjadi solusi terbaik. Dalam hal ini, diskresi berfungsi untuk mencapai keadilan restoratif, di mana tujuan utamanya adalah memperbaiki kerugian dan memulihkan hubungan antar pihak yang terlibat.[31]

Diskresi juga terlihat dalam kasus penanganan narkoba. Misalnya, dalam beberapa situasi, aparat penegak hukum dapat memilih untuk memberikan rehabilitasi kepada pengguna narkoba alih-alih menghukum mereka dengan penjara. Ini adalah contoh penerapan diskresi yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesehatan mental dan kebutuhan rehabilitasi individu. Pendekatan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi stigma terhadap pengguna narkoba dan mendorong pemulihan daripada hukuman yang lebih berat.[32]

Selain itu, diskresi juga terlihat dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan anak-anak. Dalam kasus di mana anak terlibat dalam pelanggaran hukum, aparat penegak hukum sering kali memiliki opsi untuk menggunakan diskresi dengan mengarahkan kasus tersebut ke jalur rehabilitasi daripada proses peradilan yang formal. Hal ini tidak hanya melindungi hak-hak anak tetapi juga berupaya untuk mencegah stigmatisasi yang dapat mengganggu masa depan mereka.[33]

Kasus lain yang menarik untuk dicermati adalah penerapan diskresi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Dalam situasi di mana perusahaan terbukti melakukan pelanggaran lingkungan, aparat penegak hukum dapat memilih untuk memberikan sanksi administratif terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke proses pidana. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk mendorong kepatuhan dan perbaikan tanpa harus langsung menjatuhkan hukuman berat yang dapat berdampak negatif pada ekonomi lokal dan lapangan kerja.[34]

Penerapan diskresi dalam berbagai kasus menunjukkan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia sering kali beroperasi dalam konteks yang kompleks dan dinamis. Diskresi tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menegakkan hukum, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai keadilan yang lebih luas dan mempertimbangkan dampak sosial dari keputusan yang diambil.

  • Analisis Hasil dari Penerapan Diskresi Tersebut.

Penerapan diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia sering kali menghasilkan berbagai dampak yang signifikan, baik positif maupun negatif. Salah satu contoh penerapan diskresi yang mencolok dapat dilihat dalam kasus penghapusan denda tilang bagi pelanggar lalu lintas yang bersedia mengikuti program edukasi keselamatan berkendara. Diskresi yang diambil oleh aparat kepolisian dalam kasus ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keselamatan berlalu lintas, serta mengurangi jumlah pelanggaran di masa depan. Menurut data dari Korlantas Polri, setelah penerapan kebijakan ini, terjadi penurunan jumlah pelanggaran lalu lintas sebesar 30% dalam periode enam bulan.[35]

Namun, di sisi lain, penerapan diskresi juga dapat menimbulkan masalah. Dalam kasus yang sama, ada laporan bahwa beberapa aparat penegak hukum menyalahgunakan diskresi ini dengan memberikan perlakuan khusus kepada pelanggar tertentu, terutama mereka yang memiliki koneksi atau kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun diskresi bertujuan untuk mencapai keadilan dan fleksibilitas, penerapannya sering kali terpengaruh oleh faktor eksternal yang dapat mengurangi keadilan itu sendiri. Penelitian oleh Santoso mencatat bahwa sekitar 15% dari responden mengaku pernah melihat adanya penyalahgunaan diskresi dalam penegakan hukum, yang menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum.[36]

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan diskresi sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya di mana diskresi tersebut diterapkan. Dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap aparat penegak hukum, penerapan diskresi cenderung lebih diterima dan dianggap efektif. Sebaliknya, di masyarakat yang memiliki sejarah ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, penerapan diskresi sering kali dipandang skeptis. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2023, hanya 40% masyarakat yang merasa puas dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat, dan banyak di antaranya menyebutkan bahwa diskresi sering kali disalahgunakan.[37]

Dalam konteks ini, penting untuk melakukan evaluasi yang berkelanjutan terhadap penerapan diskresi. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel, termasuk pelaporan publik dan audit independen. Dengan cara ini, diharapkan penyalahgunaan diskresi dapat diminimalisir dan penerapan diskresi dapat benar-benar berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan.

Meskipun penerapan diskresi dalam penegakan hukum dapat memberikan hasil yang positif, seperti peningkatan kesadaran hukum dan pengurangan pelanggaran, terdapat tantangan yang harus dihadapi untuk memastikan bahwa diskresi tidak disalahgunakan. Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan sistem yang mendukung penggunaan diskresi secara etis dan bertanggung jawab. Diskresi seharusnya menjadi alat untuk mendukung penegakan hukum yang adil dan efektif, bukan sebagai sarana untuk memperkuat ketidakadilan. 

Tantangan dan Kendala dalam Penerapan Diskresi  

  • Penyalahgunaan Diskresi

Penyalahgunaan diskresi merupakan salah satu tantangan utama dalam penerapan diskresi dalam penegakan hukum di Indonesia. Diskresi, yang seharusnya digunakan untuk mencapai keadilan dan fleksibilitas dalam penegakan hukum, sering kali disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rukmini, penyalahgunaan diskresi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pengabaian terhadap prosedur hukum yang berlaku, penegakan hukum yang tidak konsisten, atau bahkan tindakan korupsi.[38]

Salah satu contoh nyata dari penyalahgunaan diskresi dapat dilihat dalam kasus penanganan pelanggaran lalu lintas. Dalam banyak situasi, petugas polisi diberikan wewenang untuk menilai situasi dan memutuskan apakah akan menindak pelanggar atau tidak. Namun, laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa beberapa petugas sering kali menggunakan diskresi ini untuk meminta imbalan dari pelanggar, yang dapat merusak integritas sistem penegakan hukum (KPK, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan diskresi tidak hanya mengancam keadilan, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. 

Statistik menunjukkan bahwa sekitar 30% masyarakat merasa tidak puas dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat, terutama terkait dengan penerapan diskresi (Badan Pusat Statistik, 2023). Ketidakpuasan ini sering kali disebabkan oleh pengalaman pribadi individu dengan aparat penegak hukum yang menggunakan diskresi secara tidak adil. Misalnya, dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, 40% responden melaporkan bahwa mereka pernah mengalami situasi di mana penegakan hukum terasa tidak konsisten dan tidak adil (LSI, 2023).

Penyalahgunaan diskresi juga dapat memperburuk ketimpangan sosial. Dalam beberapa kasus, individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan atau koneksi sering kali mendapatkan perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat biasa. Hal ini menciptakan kesan bahwa hukum dapat dibeli atau dipengaruhi, yang pada gilirannya dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.[39] Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi penyalahgunaan diskresi agar keadilan dapat ditegakkan secara merata. 

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan pengawasan dan akuntabilitas dalam penerapan diskresi. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan membentuk lembaga pengawas independen yang bertugas untuk memantau penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum. Selain itu, pelatihan dan edukasi tentang etika penegakan hukum juga sangat penting untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum memahami batasan dan tanggung jawab mereka dalam menggunakan diskresi. Dengan demikian, diharapkan penyalahgunaan diskresi dapat diminimalisir dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat dipulihkan. 

  • Keterbatasan dalam Pengawasan dan Akuntabilitas

Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum sering kali dihadapkan pada tantangan besar terkait pengawasan dan akuntabilitas. Keterbatasan dalam pengawasan ini dapat memicu potensi penyalahgunaan diskresi yang pada gilirannya dapat merugikan keadilan dan kepastian hukum. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sari (2020), pengawasan yang lemah terhadap penggunaan diskresi dapat menyebabkan ketidakadilan dalam penegakan hukum, di mana keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum tidak selalu mencerminkan prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi.[40] 

Salah satu faktor yang berkontribusi pada keterbatasan pengawasan adalah kurangnya mekanisme yang efektif untuk memantau tindakan aparat penegak hukum. Di banyak daerah, sistem pelaporan dan evaluasi yang ada tidak cukup transparan dan akuntabel. Misalnya, dalam kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas, sering kali tidak ada sistem yang jelas untuk mengaudit keputusan yang diambil oleh petugas. Hal ini menyebabkan ketidakpastian bagi masyarakat mengenai bagaimana dan mengapa keputusan tertentu diambil. Data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menunjukkan bahwa lebih dari 60% masyarakat merasa tidak yakin dengan keadilan dalam penegakan hukum yang melibatkan diskresi (LSM, 2021). 

Selain itu, kurangnya pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum mengenai penggunaan diskresi yang tepat juga menjadi kendala. Banyak petugas yang tidak mendapatkan pemahaman mendalam tentang etika dan tanggung jawab yang melekat pada penggunaan diskresi. Petugas yang tidak terlatih cenderung mengambil keputusan berdasarkan intuisi pribadi daripada berdasarkan pedoman hukum yang ada, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan. 

Keterbatasan dalam pengawasan juga berakar dari budaya organisasi di dalam lembaga penegak hukum itu sendiri. Dalam beberapa kasus, terdapat tekanan internal untuk mencapai target tertentu, yang dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh aparat. Misalnya, dalam upaya menekan angka kriminalitas, aparat mungkin lebih cenderung menggunakan diskresi untuk mengabaikan pelanggaran kecil demi fokus pada kasus yang lebih besar. Hal ini dapat menciptakan persepsi bahwa hukum dapat dipilih-pilih, sehingga mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem hukum.[41] 

Dalam rangka meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas dalam penerapan diskresi, diperlukan reformasi yang komprehensif. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memperkuat lembaga pengawas independen yang memiliki kewenangan untuk menilai dan mengevaluasi keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum. Dengan adanya sistem pengawasan yang lebih transparan dan akuntabel, diharapkan penggunaan diskresi dapat lebih terarah dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.[42] 

Diskresi dan Prinsip-Prinsip Hukum

Hubungan Diskresi dengan Prinsip Keadilan 

  • Keadilan Substantif Vs. Keadilan Prosedural

Diskresi dalam penegakan hukum merupakan suatu alat yang memungkinkan aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang ada, meskipun hal tersebut tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami hubungan antara diskresi dan prinsip keadilan, yang dapat dibedakan menjadi dua kategori utama: keadilan substantif dan keadilan prosedural. Keadilan substantif berfokus pada hasil akhir dari suatu keputusan hukum, sedangkan keadilan prosedural menekankan pada proses yang diikuti untuk mencapai keputusan tersebut.[43] 

Keadilan substantif menuntut agar hasil dari suatu keputusan hukum mencerminkan nilai-nilai moral dan etika masyarakat. Dalam hal ini, diskresi dapat berfungsi untuk mencapai keadilan substantif dengan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan konteks dan nuansa dari setiap kasus yang dihadapi. Misalnya, dalam kasus pencurian yang melibatkan individu yang terpaksa melakukan tindakan tersebut karena kondisi ekonomi yang mendesak, penggunaan diskresi dapat memungkinkan hakim untuk memberikan hukuman yang lebih ringan atau alternatif hukuman yang lebih rehabilitatif . 

Sementara itu, keadilan prosedural menekankan pentingnya proses yang adil dan transparan dalam pengambilan keputusan hukum. Dalam konteks ini, diskresi harus digunakan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika diskresi digunakan secara sewenang-wenang, maka dapat mengakibatkan keputusan yang tidak adil, meskipun hasilnya mungkin tampak adil secara substantif. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa diskresi dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Data dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih mempercayai sistem hukum ketika mereka merasa bahwa proses hukum yang dijalani adalah adil. Dalam survei tersebut, sekitar 70% responden menyatakan bahwa mereka merasa lebih puas dengan keputusan hukum ketika prosesnya transparan dan melibatkan partisipasi publik (BPS, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa keadilan prosedural memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, yang pada gilirannya dapat mendukung pencapaian keadilan substantif.

Contoh kasus yang relevan adalah kasus yang melibatkan seorang pemuda yang dituduh melakukan pencurian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam proses peradilan, hakim menggunakan diskresi untuk mempertimbangkan latar belakang sosial dan ekonomi pemuda tersebut, dan akhirnya memutuskan untuk memberikan hukuman percobaan. Keputusan ini mencerminkan keadilan substantif, namun juga harus diambil melalui proses yang transparan dan adil untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat merasa dihargai dan didengar.[44] 

  • Peran Diskresi dalam Menciptakan Keadilan

Diskresi memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan keadilan, terutama dalam situasi di mana hukum tidak dapat memberikan solusi yang memadai. Dalam praktiknya, diskresi sering kali digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan khusus yang ada. Misalnya, dalam kasus penyalahgunaan narkoba, seorang hakim mungkin memutuskan untuk memberikan rehabilitasi daripada hukuman penjara bagi pelanggar yang terlihat memiliki potensi untuk berubah. Keputusan ini mencerminkan penggunaan diskresi untuk mencapai keadilan substantif, di mana tujuan utama adalah untuk memulihkan individu dan mencegah pengulangan pelanggaran.[45]

Namun, penggunaan diskresi juga menuntut kewaspadaan agar tidak terjebak dalam bias atau ketidakadilan. Dalam banyak kasus, diskresi dapat berujung pada keputusan yang tidak konsisten jika tidak ada pedoman yang jelas. Misalnya, studi menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, diskresi yang digunakan oleh polisi dalam penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ras, kelas sosial, atau latar belakang ekonomi pelanggar. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam penerapan hukum, di mana individu dari kelompok tertentu mungkin lebih sering mengalami penegakan hukum yang lebih keras dibandingkan dengan kelompok lainnya.[46]

Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan pedoman yang jelas mengenai penggunaan diskresi dalam penegakan hukum. Pedoman ini harus mencakup kriteria yang objektif dan transparan untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan yang adil. Dengan demikian, diskresi tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif, tetapi juga berkontribusi pada keadilan prosedural yang lebih baik. Penelitian menunjukkan bahwa ketika ada pedoman yang jelas, penggunaan diskresi cenderung lebih konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan.[47] 

Secara keseluruhan, hubungan antara diskresi dan prinsip keadilan sangat kompleks. Diskresi dapat menjadi alat yang kuat untuk mencapai keadilan substantif, tetapi juga memerlukan perhatian yang serius terhadap keadilan prosedural. Pengawasan yang ketat dan pedoman yang jelas akan membantu memastikan bahwa diskresi digunakan dengan cara yang adil dan bertanggung jawab, sehingga mendukung integritas sistem hukum secara keseluruhan. Dengan demikian, diskresi bukan hanya sekadar kebebasan dalam mengambil keputusan, tetapi juga tanggung jawab untuk memastikan bahwa keputusan tersebut mencerminkan nilai-nilai keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.[48] 

Akuntabilitas dan Transparansi Dalam Diskresi

  • Pentingnya Pengawasan Terhadap Penggunaan Diskresi

Diskresi dalam penegakan hukum memegang peranan penting dalam menentukan keadilan dan efektivitas sistem hukum. Namun, penggunaan diskresi yang tidak terawasi dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penggunaan diskresi menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan transparan.

Bahwa di negara-negara dengan sistem hukum yang baik, terdapat mekanisme pengawasan yang jelas dan efektif terhadap penggunaan diskresi. Misalnya, di negara-negara Skandinavia, lembaga pengawas independen berperan aktif dalam mengevaluasi keputusan-keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum. Hal ini berkontribusi pada tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap sistem hukum. Di Indonesia, meskipun telah ada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman, pengawasan terhadap penggunaan diskresi masih perlu ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat.

Ketika aparat penegak hukum menggunakan diskresi dalam menentukan prioritas kasus yang akan ditangani, sering kali keputusan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar pertimbangan hukum. Misalnya, dalam kasus yang melibatkan pejabat tinggi, sering kali terdapat intervensi politik yang mempengaruhi keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan penyidikan. Hal ini menunjukkan perlunya pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa diskresi digunakan dengan cara yang konsisten dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

Selain itu, pentingnya transparansi dalam penggunaan diskresi tidak dapat diabaikan. Transparansi membantu masyarakat untuk memahami dasar-dasar hukum di balik keputusan yang diambil, sehingga menciptakan rasa percaya terhadap sistem hukum. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi terkait penggunaan diskresi, termasuk alasan di balik keputusan yang diambil.

Dalam konteks ini, pelatihan bagi aparat penegak hukum juga menjadi penting. Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas, diharapkan mereka dapat menggunakan diskresi dengan lebih bijaksana. Program-program pelatihan yang melibatkan studi kasus dan diskusi tentang etika dalam penegakan hukum dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengawasan dan transparansi dalam penggunaan diskresi. Hal ini sejalan dengan rekomendasi dari International Association of Chiefs of Police (IACP) yang menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

  • Upaya untuk Meningkatkan Akuntabilitas dalam Penggunaan Diskresi

Dalam konteks penegakan hukum, diskresi sering kali menjadi alat yang penting bagi para penegak hukum untuk mengambil keputusan yang dianggap paling tepat dalam situasi tertentu. Namun, penggunaan diskresi yang tidak terkontrol dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan akuntabilitas dalam penggunaan diskresi sangatlah penting. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah dengan menetapkan pedoman yang jelas mengenai batasan dan prosedur penggunaan diskresi.

Selain itu, pelatihan dan pendidikan bagi para penegak hukum juga merupakan langkah krusial dalam meningkatkan akuntabilitas. Dengan memberikan pemahaman yang mendalam mengenai etika dan tanggung jawab dalam penggunaan diskresi, diharapkan para penegak hukum dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap penggunaan diskresi yang lebih akuntabel.

Selanjutnya, transparansi dalam pengambilan keputusan juga menjadi aspek penting dalam akuntabilitas. Penggunaan teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan sistem yang transparan, di mana setiap keputusan yang diambil oleh penegak hukum dapat diakses dan dievaluasi oleh publik. Misalnya, beberapa negara telah mengimplementasikan sistem pelaporan online yang memungkinkan masyarakat untuk melihat data terkait penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pembentukan lembaga pengawas independen yang bertugas untuk memantau dan mengevaluasi penggunaan diskresi juga sangat penting. Lembaga ini dapat berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dan aparat penegak hukum, serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem. Dalam beberapa kasus, lembaga pengawas telah berhasil mengidentifikasi penyalahgunaan diskresi dan merekomendasikan tindakan yang tepat untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.

Terakhir, partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan juga dapat meningkatkan akuntabilitas penggunaan diskresi. Melibatkan masyarakat dalam pengawasan keputusan yang diambil oleh penegak hukum dapat menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Forum-forum diskusi atau konsultasi publik dapat menjadi sarana untuk mendengarkan suara masyarakat dan menghasilkan rekomendasi yang lebih baik dalam penggunaan diskresi. Dengan demikian, akuntabilitas dalam penggunaan diskresi tidak hanya menjadi tanggung jawab penegak hukum, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai pengawas dan partisipan aktif dalam penegakan hukum yang adil dan transparan.

KESIMPULAN 

Simpulan

  • Pentingnya Diskresi dalam Penegakan Hukum

Diskresi merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan hukum yang memberikan kebebasan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu. Dalam praktiknya, diskresi ini sangat penting karena hukum tidak selalu dapat mengatur semua situasi yang mungkin terjadi. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan ringan atau pelanggaran administratif, aparat penegak hukum sering kali dihadapkan pada pilihan untuk memberikan sanksi atau tidak, tergantung pada konteks dan niat pelanggar. Diskresi memungkinkan penegak hukum untuk beradaptasi dengan situasi yang kompleks dan dinamis, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang lebih adil dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Tetapi, penting untuk dicatat bahwa penggunaan diskresi juga berpotensi menimbulkan masalah, terutama jika tidak diimbangi dengan akuntabilitas. Misalnya, dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran narkoba, terdapat laporan tentang perlakuan yang berbeda terhadap pelanggar berdasarkan latar belakang sosial ekonomi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun diskresi memiliki peran penting, penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab.

Selain itu, diskresi juga berfungsi sebagai alat untuk menjaga keseimbangan antara penegakan hukum yang ketat dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks hukum pidana, adanya diskresi memungkinkan aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan sebelum mengambil tindakan. Pendekatan berbasis diskresi dapat mengurangi risiko penahanan yang berlebihan dan memperhatikan kondisi sosial pelanggar, sehingga mendorong sistem peradilan yang lebih manusiawi.

Dengan demikian, pentingnya diskresi dalam penegakan hukum tidak dapat diabaikan. Diskresi memberikan fleksibilitas yang diperlukan untuk menangani situasi yang beragam dan kompleks, namun harus selalu diimbangi dengan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang ketat. Dalam konteks ini, reformasi regulasi dan penguatan mekanisme pengawasan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa penggunaan diskresi tetap berada dalam koridor yang benar dan tidak merugikan masyarakat.

  • Keseimbangan antara Fleksibilitas dan Akuntabilitas

Keseimbangan antara fleksibilitas dan akuntabilitas dalam penggunaan diskresi adalah tantangan yang signifikan dalam penegakan hukum. Fleksibilitas diperlukan agar penegak hukum dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan kebutuhan spesifik setiap kasus. Namun, tanpa akuntabilitas, fleksibilitas ini dapat dengan mudah disalahgunakan.

Untuk mencapai keseimbangan ini, penting untuk mengembangkan pedoman yang jelas mengenai penggunaan diskresi. Pedoman ini harus mencakup kriteria yang dapat diukur untuk membantu penegak hukum dalam mengambil keputusan.

Selain itu, pengawasan eksternal juga diperlukan untuk memastikan bahwa diskresi digunakan dengan cara yang adil dan transparan. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit rutin dan mekanisme pelaporan yang memungkinkan masyarakat untuk memberikan umpan balik mengenai tindakan penegak hukum.

Dengan demikian, keseimbangan antara fleksibilitas dan akuntabilitas dalam penggunaan diskresi adalah kunci untuk memastikan bahwa penegakan hukum dapat berjalan dengan adil dan efektif. Hal ini membutuhkan kolaborasi antara penegak hukum, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel.

Rekomendasi

  • Penyempurnaan Regulasi Terkait Diskresi

Penyempurnaan regulasi terkait diskresi sangat penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan efektif dan adil. Regulasi yang ada saat ini sering kali tidak memberikan pedoman yang jelas mengenai batasan dan penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum. Hal ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menyusun pedoman yang lebih rinci mengenai penggunaan diskresi. Pedoman ini harus mencakup kriteria yang jelas mengenai situasi di mana diskresi dapat digunakan, serta prosedur yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum dalam mengambil keputusan.

Dengan adanya regulasi yang lebih baik dan jelas mengenai diskresi, diharapkan penegakan hukum dapat dilakukan dengan lebih adil dan transparan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat meningkat. Hal ini penting untuk menciptakan iklim hukum yang kondusif dan mendukung keadilan sosial.

  • Penguatan Pengawasan dan Akuntabilitas dalam Penggunaan Diskresi

Pengawasan dan akuntabilitas dalam penggunaan diskresi merupakan aspek yang tidak kalah penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya mekanisme pengawasan yang efektif, risiko penyalahgunaan diskresi oleh aparat penegak hukum akan meningkat. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan sistem pengawasan yang dapat memastikan bahwa setiap penggunaan diskresi dapat dipertanggungjawabkan. 

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah membentuk lembaga independen yang bertugas untuk mengawasi penggunaan diskresi oleh aparat penegak hukum. Lembaga ini dapat berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dan aparat penegak hukum, menerima laporan mengenai penyalahgunaan diskresi, dan melakukan investigasi terhadap laporan tersebut. Dengan adanya lembaga independen, masyarakat akan merasa lebih percaya untuk melaporkan tindakan yang dianggap tidak adil.

Selain itu, penting untuk menerapkan sistem pelaporan yang transparan dan akuntabel. Setiap penggunaan diskresi harus dicatat dan dilaporkan secara berkala kepada publik. Ini akan menciptakan transparansi dan memungkinkan masyarakat untuk memantau bagaimana diskresi digunakan dalam praktik. Dengan demikian, masyarakat dapat mengetahui apakah diskresi digunakan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan.

Penguatan akuntabilitas juga dapat dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum mengenai pentingnya akuntabilitas dalam penggunaan diskresi. Mereka perlu memahami bahwa setiap keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada atasan maupun kepada masyarakat. Hal ini dapat membantu mencegah penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan integritas aparat penegak hukum.

Dengan penguatan pengawasan dan akuntabilitas, diharapkan diskresi dalam penegakan hukum dapat digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab. Ini akan membantu menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa hukum ditegakkan tanpa diskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Garner, B. A. (2014). Black’s Law Dictionary. St. Paul, MN: West Publishing.

Huda, A. (2020). Diskresi dalam Penegakan Hukum: Sebuah Tinjauan. Penerbit Hukum.

Santoso, B. (2021). Kedudukan Diskresi dalam Hukum Pidana. Jurnal Hukum dan Masyarakat.

Rizki, M. (2022). Diskresi dan Ketidakadilan dalam Penegakan Hukum. Penerbit Adil.

Amnesty International. (2020). Diskresi dan Hak Asasi Manusia.

Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Kejahatan dan Penegakan Hukum. Jakarta: BPS.

Soekanto, S. (2015). Hukum dan Etika Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Ali, M. (2016). Diskresi dalam Hukum Administrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

v. der Molen, D. J. W. G. (2017). Diskresi dalam Kebijakan Publik. Amsterdam: Wolters Kluwer.

Kemenkumham. (2020). Laporan Tahunan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2020. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Suharso, R. (2018). Praktik Diskresi dalam Penegakan Hukum Lalu Lintas. Jurnal Hukum.

Friedman, L. M. (2019). The Law and Society Reader. New York: New York University Press.

Harris, A. (2021). Discretion in Criminal Justice: A Double-Edged Sword. Journal of Criminal Law and Criminology.

Margono, S. (2020). Hukum dan Etika Penegakan Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta. (2021). Laporan Tahunan Pengelolaan Izin Usaha.

R. Setiawan. (2020). Diskresi dalam Penegakan Hukum: Teori dan Praktik. Jakarta: Penerbit Hukum.

Prabowo, J. S. (2021). Keadilan dalam Diskresi Penegakan Hukum: Studi Kasus di Indonesia. Jurnal Hukum dan Masyarakat.

Halim, A. (2022). Diskresi dalam Penjatuhan Hukuman: Tinjauan dari Perspektif Hukum dan Etika. Jurnal Hukum dan Etika Penegakan Hukum.

Suharto, B. (2018). Praktik Diskresi dalam Penyelenggaraan Negara. Jurnal Hukum dan Kebijakan.

Setiawan, R. (2019). Diskresi Jaksa dalam Proses Penuntutan Pidana. Jurnal Ilmu Hukum.

Prasetyo, D. (2020). Pedoman Operasional Diskresi dalam Penegakan Hukum oleh Polri. Jakarta: Penerbit Polri.

Budiarjo, M. (2018). Hukum dan Etika Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Suharto, D. (2020). Diskresi dalam Penegakan Hukum Lalu Lintas: Tinjauan Praktis. Jurnal Lalu Lintas dan Keselamatan.

Arifin, Z. (2019). Diskresi dalam Penegakan Hukum Pemilu. Jurnal Hukum dan Kebijakan.

Halim, A. (2021). Peran Diskresi dalam Pengambilan Keputusan Administratif. Jurnal Administrasi Publik.

Rahman, F. (2022). Diskresi dalam Penanganan Kasus Korupsi: Antara Hukum dan Politik. Jurnal Hukum.

Supriyadi. (2020) Diskresi dalam Penegakan Hukum: Kewenangan dan Keadilan. Penerbit Hukum Indonesia.

Rahardjo, S. (2021). Fleksibilitas Hukum dan Diskresi dalam Praktik Penegakan Hukum. Jakarta: Penerbit Hukum.

Hasan, M. (2020). Pengawasan Diskresi dalam Penegakan Hukum: Tantangan dan Solusi. Surabaya: Penerbit Hukum.

Suharto. (2020). Diskresi dalam Penegakan Hukum: Teori dan Praktik. Penerbit Hukum.

Rahardjo. 2019. Hukum dan Etika Penegakan Hukum. Penerbit Adi Pura.

Iskandar. 2021. Narkoba dan Penegakan Hukum: Pendekatan Diskresi. Jurnal Hukum dan Kebijakan.

Sukmawati. 2022. Perlindungan Hukum bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana. Penerbit Remaja Rosdakarya.

Prabowo. 2020. Hukum Lingkungan dan Diskresi dalam Penegakan. Jurnal Hukum Lingkungan.

Korlantas Polri. (2022). Laporan Tahunan Korlantas Polri. Jakarta: Korlantas Polri.

Santoso, A. (2021). Diskresi dalam Penegakan Hukum: Tinjauan Praktis dan Teoritis. Jurnal Hukum dan Etika, 12(1), 45-67.

Lembaga Survei Indonesia. (2023). Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum. Jakarta: LSI.

Rukmini. (2021) Diskresi dalam Penegakan Hukum: Tantangan dan Solusi. Penerbit Hukum.

Sari. 2022. Keadilan Sosial dan Penegakan Hukum. Penerbit Adil.

Sari. 2020. Diskresi dalam Penegakan Hukum: Sebuah Tinjauan Kritis. Penerbit Universitas.

Mardiana. 2022. Budaya Organisasi dalam Penegakan Hukum: Implikasi terhadap Diskresi. Jurnal Hukum dan Masyarakat.

Rizky. 2023. Reformasi Pengawasan dalam Penegakan Hukum: Menuju Akuntabilitas yang Lebih Baik. Penerbit Reformasi.

Friedman, L. M. (2005). The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation.

Suharno, A. (2018). Diskresi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Hukum dan Etika.

Rudiansyah. (2020). Diskresi dalam Penegakan Hukum. Penerbit Universitas Indonesia.

Hastuti. (2019). Keadilan dalam Penegakan Hukum. Jurnal Hukum, vol. 5, no. 1.

Fitria. (2021). Transparansi dalam Diskresi Penegakan Hukum. Jurnal Hukum dan Masyarakat, vol. 3, no. 1.

Rizki. (2022). Diskresi dalam Konteks Keadilan. Penerbit RajaGrafindo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun