Mohon tunggu...
Yuhana Kusumaningrum
Yuhana Kusumaningrum Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Tamu di Bumi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lucid Dreaming ( misteri )

3 Februari 2016   10:25 Diperbarui: 13 Desember 2017   10:25 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita sebelumnya

Pernah tidak, mengalami mimpi dimana kamu sadar bahwa kamu sedang bermimpi ? Dimana semuanya terlihat sangat jelas, tidak buram seperti gambaran mimpi biasa ?

Kamu juga bisa merasakan tekstur benda, mencium bau, dan merasakan lezatnya makanan yang kamu makan ?  

Dan kamu bahkan bisa ‘menyetir’ sendiri jalan ceritanya bagai sutradara film ?

Kalau pernah, dan belum tahu, itu namanya ‘Lucid Dream’.  

Di dalam lucid dream kita bebas berimajinasi.

Semua yang tidak bisa atau tidak boleh kita lakukan di dunia nyata, sah-sah saja kita lakukan di sana.  

Mau punya sayap dan bisa terbang sampai ke luar angkasa, mau jadi artis terkenal, mau makan makanan enak tanpa harus jadi gemuk, semua bisa. Bebas.

Nah, berikut ini adalah lanjutan cerita tentang si Vida ....

 

 

“Vid ! Mau pulang ya ? Nggak latihan hari ini ?”

“Mmh….. iya nih Fer…. maaf ya aku agak capek hari ini,” jawabku dengan senyum dipaksakan. Agar dikira sedang tidak enak badan.

“Oh begitu. Ya sudah istirahat saja Vid. Hati-hati ya pulangnya.”

“Oke Fer."

 

Aku tahu Fery tidak sedang memaksaku untuk latihan basket. Dia hanya berusaha bersikap biasa-biasa saja supaya aku merasa santai.

Dia memang teman yang baik.

Sebenarnya tidak enak juga dengan teman-teman anggota team basket  yang lain. Sejak terdaftar jadi anggota, aku belum pernah ikut latihan sekalipun. Tapi biarlah. Toh aku juga hanya pemain cadangan.  

Lagipula ada hal lebih asik yang bisa kulakukan dirumah.

 

Kuhabiskan makan siangku lambat-lambat. Menu yang sama. Ayam bumbu frozen yang kupanaskan sebentar di  microwave dan sayuran rebus dengan topping mayonnaise pedas. Aku tak bisa masak yang lain.  

Sempat terpikir ingin minta diajari masak oleh Ferry. Tapi kalau kami mulai akrab lagi, dia dan Hani akan mengetahui apa yang sering kulakukan belakangan ini. Dan mereka pasti akan langsung sibuk menasihatiku.

Aku sedang tidak ingin dinasihati.

 

Selesai makan, aku duduk di ambang jendela kamar sambil mengerjakan PR.

Udara sejuk sore hari masuk dari jendela kamar yang kubuka setengah. Aku memandang keluar. Ayunan yang tergantung di dahan pohon beringin bergoyang pelan tertiup angin.

Tanah di bawah ayunan tampak basah.

Kulirik genangan berwarna merah di lantai kamar.

Eh, iya. PR-ku belum selesai. Aku harus cepat-cepat.

 

Selesai mandi dan makan malam kunyalakan TV dan mulai membuka laptop. Kubaca lagi baik-baik semua artikel yang membahas tentang hal itu.

Banyak sekali cara untuk mendapatkannya. Tapi yang satu ini kurasa paling cocok untukku :

 

"Bagi anda yang sudah sering mengalami sleep paralysis,  cukup mudah untuk melanjutkan ke tahap Lucid Dream. Ikuti saja langkah berikut ini.

Saat anda sudah masuk ke dalam kondisi sleep paralysis, bertahanlah. Jangan berusaha untuk bangun. Apabila napas anda terasa sesak, tenangkan diri anda dan berusahalah bernapas dengan normal. Jika sulit bernapas normal, bernapaslah pendek-pendek dengan teratur. Yakinkan diri anda bahwaanda tidak akan mati kehabisan napas. Sekali lagi. Anda-tidak-akan-mati-kehabisan-napas. Abaikan saja perasaan seperti akan tertelan masuk ke dalam tempat tidur anda.

Lalu saat halusinasi mulai datang, segera sugestikan diri anda untuk melawannya. Katakan pada siapapun atau apapun yang muncul dalam halusinasi itu : “Hei, saya sedang dalam perjalanan menuju Lucid Dream saya yang indah. Saya tidak peduli padamu”. Katakan berulang-ulang dengan yakin dalam pikiran anda. Dan ingat, jangan mencoba untuk bangun.

Setelah halusinasi itu hilang, anda akan berpindah ke tahapan berikutnya yaitu tahap kegelapan kosong. Dimana anda akan merasa seolah-olah semua materi yang ada di sekeliling anda menghilang. Termasuk tempat tidur anda. Anda akan melayang di kegelapan yang pekat selama beberapa detik, kemudian tiba-tiba terjatuh dengan kecepatan tinggi. Jangan dilawan. Ingat, jangan dilawan. Lemaskan saja semua otot tubuh anda.

Setelah itu, anda akan masuk ke tahap Lucid Dream.

Nah, ini yang perlu anda perhatikan.

Apa yang akan muncul dalam Lucid Dream anda, sangat tergantung dari apa yang anda pikirkan saat sedang terjatuh dalam dunia kegelapan tadi.

Jadi, jangan biarkan rasa takut atau pikiran-pikiran menyeramkan mempengaruhi  anda dalam kesempatan yang hanya beberapa detik itu. Karena apabila itu terjadi, Lucid Dream anda yang seharusnya indah akan berubah menjadi Nightmare."

 

Aku yakin banyak orang yang menganggapku gila karena memilih bertahan sendirian dirumah bekas terjadinya pembantaian keluargaku.

Mungkin iya. Mungkin aku memang sudah gila.

Semua orang pasti semakin takut pada rumah ini. Sudah dua periode pembunuhan yang terjadi disini.

Tapi aku tidak merasa takut. Entah kenapa. Aku malah merasa sayang untuk meninggalkan tempat saat-saat terakhir kebersamaanku bersama Papa, Mama dan Ami.

Orang tua Hani juga sempat mengajakku untuk tinggal bersama mereka. Tetapi kutolak dengan penuh rasa hormat dan terimakasih karena mereka telah berbaik hati mengurusku selama dua minggu dirumah ini setelah kejadian itu.

Mega dan teman-teman lain di Jakarta yang merasa luar biasa heran dengan keputusanku untuk tetap tinggal di kota ini dan di rumah ini, mencoba membujukku hampir setiap hari lewat telepon dan bbm.

Tapi aku masih tetap ingin berada disini.

 

Beberapa minggu setelah kejadian itu, tanpa sengaja aku melihat sebuah artikel di internet tentang sleep paralysis, yang katanya bisa berlanjut ke tahap lucid dream.

Lucid dream adalah mimpi yang terasa sangat nyata. Yang bisa kita atur sendiri jalan ceritanya.

Aku ingin sekali mendapatkan lucid dream itu. Selagi ingatanku pada Papa, Mama dan Ami masih kuat. Selagi udara di dalam rumah ini masih membawa aroma mereka.

 

Setelah mematikan TV, kubawa segelas air putih naik ke kamar.

Kupijakkan kaki pada anak tangga kedua dan ketiga sambil menatap ke bawah. Terlihat wajah membiru Papa dan Mama dibalik plastik transparan yang dibebatkan dengan erat pada tubuh keduanya.

Huuft....... aku sangat rindu mereka.

 

Aku berbaring dengan posisi terlentang di atas kasur. 

Tring !

Notifikasi bbm masuk. Kulirik layar hp.

Vid, lagi apa?  Kalau perlu ditemani bilang yaa….

Isi bbm yang selalu sama dari Hani. Aku tersenyum dan membalasnya.

Oke Han. Nggak apa-apa kok. Aku sudah mau tidur nih. Makasih yaa….

Kumatikan hp dan meletakannya di lantai.

 

Untuk mendapatkan sleep paralysis sangat mudah bagiku.

Yang sulit adalah pada tahap mengalahkan halusinasinya. Sudah berhari-hari aku mencoba dan gagal terus.

Kali ini harus berhasil.

 

Pejamkan mata. Atur napas. Konsentrasi pada satu titik di belakang kepala.

Paksakan untuk tidur....

 

Oke. Aku sudah masuk ke SP.

Napasku mulai sesak.

Tenang. Ambil napas pendek-pendek.  Terus bernapas…. dan tetap tenang.

Sesuatu yang panjang dan meliuk-liuk seperti ular muncul dari balik kerai bambu penutup jendela.

Ini dia. Aku harus bisa.

Sesuatu itu melata di dinding lalu turun ke lantai, mendekati kasurku. Ujungnya yang tadinya tumpul itu mulai mengeluarkan ujung-ujung kecil lainnya yang kemudian memanjang membentuk jari-jari tangan.

Tangan berkuku tajam itu merayap mendekat.

Kamu tidak ada !!  Kamu tidak nyata !!

Tangan itu tetap menggeliat-geliat mendekatiku.

Aku tidak takut !!

Mundur kamu !!

Gerakannya mulai melambat.

Pergi !!  Pergi kamu !!

Aku ingin bertemu Papa, Mama dan Ami !!

Pergi sana !!  Jangan ganggu aku !!

Tangan itu berhenti.

Kemudian mundur perlahan-lahan.

Dan menghilang di balik kerai bambu.

Yeah !  Aku berhasil !!

Mendadak pandanganku menggelap.

Semuanya terlihat hitam pekat.

Kasurku menghilang. Aku merasa gamang.

Kemudian tiba-tiba terjatuh.

Aku terjatuh dengan sangat cepat. Seluruh tubuhku terasa bergetar. Rasanya seperti terjun ke dalam sumur gelap yang amat dalam.

Dan tiba-tiba aku sudah duduk di sebuah tempat yang terang dan berumput hijau. Tanganku menyentuh sesuatu yang tajam. Kulihat kebawah. Batu-batu kerikil kecil yang tersebar di rumput.

Wah… aku bisa merasakan permukaan batunya yang kasar. Nyata sekali rasanya di telapak tanganku.

Apa ini sudah di dalam lucid dream ?

Kulihat sekelilingku.

Ini halaman belakang rumah lamaku di Jakarta.

Mama muncul dari dalam rumah membawa sepiring kue dan minuman. Papa menggendong Ami tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ami menjerit-jerit kegirangan.

Dadaku terasa sesak. Mataku menghangat.

Mereka….. ada……?

Aku  berdiri hendak menghampiri mereka.

Tanah dibawahku bergoyang keras.

 

Aku terbangun.

Kenapa ?

Apa yang salah ?

 

Mungkin karena..... aku ragu.

Karena aku meragukan mereka.

Seharusnya aku tidak perlu ragu. Anggap saja mereka masih hidup.  

Kucoba lagi besok saja. Sekarang aku harus tidur kalau tidak mau terlambat sekolah.

 

***

 

“Vid, hari Minggu datang yaa ke ulang tahunku. Aku mau bikin acara barbeque nih di rumah,” ajak Hani sepulang sekolah.

“Eh kamu ulang tahun yah Han ? Tanggal berapa ?”

“Hari Sabtu sih, tanggal 12.  Tapi mau dirayakan hari Minggunya. Papa dan Mama juga mau mengundang teman-teman kantornya. Selain teman-teman sekelas, aku cuma undang Fery.”

“Oke Han, nanti aku datang.”  

“Nggak usah bawa kado ya Vid.  Semua orang sudah aku larang bawa kado,” ujar Hani.

“Tenang Han. Aku memang nggak punya uang buat beli kado kok,” sahutku sambil tersenyum.

Hani terbahak. Aku terkikik geli.

“Ya sudah, aku rapat OSIS dulu yah Vid. Hati-hati pulangnya,” Hani melambai dan melangkah menuju ruang OSIS.

Sebenarnya kangen juga ngobrol dan bercanda dengan Hani. Tapi saat ini aku punya kepentingan lain yang harus didahulukan.

 

***

 

Kasurku menghilang. Aku melayang dalam kegelapan. Lalu terjatuh.  Seperti dihisap oleh pusaran angin besar yang sangat kuat.

Beberapa nanodetik lagi aku akan sampai di halaman belakang rumah lamaku.

Rumput yang hijau, pohon mangga yang sedang berbuah, dan koleksi anggrek Mama.

Papa menggendong dan memutar-mutar Ami di udara. Ami tertawa-tawa gembira.

Mama keluar dari dapur membawa sepiring cheese rollcake kesukaanku dan empat gelas minuman sari jeruk.

Aku berdiri dengan mantap.

Tanah dibawahku tidak bergoyang lagi.

Aku berlari menghampiri Mama. Wangi cologne waterlily Mama menyebar di udara.  Kuambil sepotong rollcake dan memakannya. Rasanya enak sekali.

Papa datang menghampiri. Ami berteriak memanggilku dan mengulurkan kedua lengannya. Kuambil Ami dari gendongan Papa dan memeluknya. Kulitnya yang lembut menempel di wajahku. Kuhirup wangi sabun strawberry dari tubuhnya yang mungil.

Papa merangkul bahuku seperti yang biasa dilakukannya. Aroma aftershavenya yang maskulin tercium olehku.

Cahaya matahari sore yang hangat menerpa wajah kami. Kupandangi wajah Papa, Mama dan Ami sepuasnya.  

Kurekam dalam ingatanku ekspresi kegembiraan dan suara tawa mereka.

Eh….. kenapa ?  

Kenapa…..  harus kurekam ?

Oh….. iya…..

Mereka kan..... sudah .....

 

Aku terbangun.

Dadaku sesak. Bukan karena efek sleep paralysis sebelumnya. Tapi karena sakit yang kurasakan saat menyadari semua yang aku alami tadi hanya mimpi.

Hanya sebuah mimpi.

Ternyata bertemu mereka di alam mimpi malah membuatku merasa semakin sakit. Lebih sakit dibanding hari-hari kemarin.  

Penyesalan yang kurasakan justru semakin dalam.

Air mataku mulai menetes.

 

Seandainya aku tidak malas membersihkan rumah waktu itu. Aku pasti bisa tahu sejak awal kalau barang-barang Papa dan Mama masih ada di kamar. Dan aku bisa lebih cepat menemukan mereka.

Seandainya aku tidak terlalu egois, mungkin aku tidak akan asik sendiri mendengarkan musik sehingga aku akan segera terbangun saat mendengar jeritan minta tolong Ami.  

Seandainya aku tidak memanjakan rasa kesalku hanya karena tidak bisa ikut serta di acara pentas seni di sekolah lamaku, mungkin aku sudah sibuk membantu Mama mencuci piring malam itu sehingga bisa membantu Mama membela diri.

Atau aku akan menggoda Papa yang bertugas membuang sampah sehingga aku bisa melihat Pak Agus datang dan berteriak minta tolong.

Atau paling tidak, aku ikut mati terbunuh saja.

Lebih baik begitu.  

 

***

 

“Vid !”

Aku menoleh. Ferry berlari mendekat.

“Besok datang kan kerumah Hani ?  Aku jemput ya sore.”

“Datang Fer. Oke.”

“Siip ! Dandan yang cantik yaa….” ujarnya sambil tertawa dan melanjutkan larinya menuju lapangan basket.

 

Dandan yang cantik.

Aku mana bisa dandan.

Biasanya setiap ada acara pesta ulang tahun teman, pasti Mama yang mendandani aku. Mulai dari memilih baju, sepatu, tatanan rambut, make up yang natural, semua kuserahkan pada Mama. Aku hanya tinggal melihat hasil akhirnya di cermin.

Dan biasanya Ami yang melihat aku sedang didandani Mama, langsung ikut-ikutan sibuk ingin berdandan juga.

Setelah itu Papa akan mengantarku ke tempat pesta. Dan Ami yang sudah terlanjur berdandan, biasanya selalu ikut mengantar. Duduk di dalam mobil sambil berceloteh dengan riang seolah-olah dia yang mendapat undangan pesta.

Air mata mengambang di pelupuk mataku.

 

***

 

Aku melamun di depan lemari.

Pakai baju apa ya untuk besok ?

Karena acaranya barbeque, sebaiknya yang casual saja kan ? Atau harus sedikit girly karena ini pesta ? Yang dimaksud Ferry dengan dandan yang cantik itu bagaimana sih ….

Ahh…. Mama…. seandainya Mama ada ….

 

Tiba-tiba perutku terasa sangat mual.

Aku lari ke kamar mandi dan langsung membungkuk di atas kloset.

Lalu muntah.

Ada apa ya ? Apa ayam yang kumakan tadi sudah expired ?

Kutekan tombol flush sambil menegakkan badan.

Mualnya datang lagi. Aku membungkuk.

Kumuntahkan lagi isi perutku.

Berkali-kali.

Sampai kehabisan napas.

Sampai perutku kram.

Sampai badanku lemas dan terjatuh ke lantai kamar mandi tanpa sempat lagi menekan tombol flush.

 

Mama…..  

Papa…..

Vida sakit…..

Vida sakiiit  Maa… Paa…..

Kukeluarkan seluruh emosiku dalam tangis yang menderu.

Ingin rasanya kuhabiskan semua persediaan air mataku agar bisa merasa lega.  

Tapi meskipun sudah puluhan kali aku menangis seperti ini, rasa sakit dan penyesalan itu tetap ada.

Mengganjal di dada. Membuat sulit bernapas.

 

Lelah menangis, karena tak sanggup berdiri, aku merangkak kembali ke kamar.

Perutku terasa melilit. Kepalaku pusing.

Di lemari obat di dapur mungkin ada obat penurun demam. Tapi aku tak sanggup berdiri lagi.

Mungkin kalau kubawa tidur saja, besok bisa membaik.

Aku berbaring dengan terengah-engah.

Napasku terasa panas. Pandanganku berputar-putar.

Ini pasti demam tinggi.

Rasanya ingin sekali merengek pada Mama.

Ingin sekali.

Kalau ada Mama, pasti Mama sudah sibuk melakukan segala sesuatu yang bisa membuatku nyaman. Mengganti bajuku dan membuatkan minuman hangat.

Papa juga pasti sudah langsung menyiapkan mobil untuk membawaku ke dokter.  Kalau perlu Papa akan menggendongku dari kamar sampai ke mobil.

Air mataku kembali mengalir.

Ini semua gara-gara si Agus biadab itu.

Dengan seenaknya merampas nyawa keluargaku sebagai pengganti nyawa seekor anjing tua.

Kecelakaan itu kan bukan salah Papa dan Mama.  Apalagi Ami.

 

Pembunuh.

Aku benci dia.

P e m b u n u h.  

Seharusnya dia saja yang mati.

 

Aku melayang dalam kegelapan. Lalu terjatuh dengan cepat.  

Dan tiba di sebuah lorong berbatu yang gelap.

Disampingku ada sebuah lemari kayu dengan banyak perkakas diatasnya.

Aku perlu pisau. Kuambil sebilah pisau yang paling besar.

Di depan sana ada suara seseorang. Itu Pak Agus yang sedang berbicara.

Aku mengendap menyusuri lorong yang berliku.

Dan mengintip.

Pak Agus sedang berbicara dengan anjingnya yang sudah mati.

Bagus. Anjingnya tidak bisa menyerangku.

Aku melangkah maju dengan pisau di tangan.

Pak Agus terkejut dan berteriak.

Dia lari ketakutan.

Aku mengejar.

Pak Agus terus berlari sambil berteriak-teriak.

Tak ada yang mendengar.

Disini tidak ada siapa-siapa.

Berkali-kali ia menabrak dinding lorong yang berkelok-kelok.  

Ia tidak bisa melihat dengan jelas dalam lorong yang gelap ini. Mata tuanya sudah sedikit rabun.

Aku terus mengejar.

Larinya semakin lambat.

Ya. Begitu. Semakin lambat.

Sebentar lagi dia akan kelelahan. Dan aku bisa menyusulnya.

Lorongnya mendadak buntu. Dia terpojok.

Aku maju sambil menghunus pisauku.

Pak Agus memohon-mohon dengan tubuh gemetar.

Aku tak peduli.

Orang ini sudah mengambil nyawa keluargaku.

Aku benci dia.

Aku sangat benci dia.

 

Aku terduduk dengan gemetar.

Keringat membasahi baju tidurku. Sepertinya demamku sudah agak turun.

 

***

 

“Hai Vid !” seru Ferry dari atas motornya.

“Hai Fer,” sahutku sambil menghampirinya, “Maaf yah lama.”

“Nggak apa-apa Vid. Pestanya juga pasti baru mulai kok.”

Ferry menatapku.

“Kamu agak pucat deh. Sakit ya ?”

“Eh… masih kelihatan pucat ya? Iya Fer. Semalam tuh aku demam. Sampai muntah-muntah segala.”

“Ya ampun Vid.  Kenapa nggak telepon aku sih ? Kan sudah aku bilang kalau ada apa-apa langsung telepon aku atau Hani saja…”

“Iya sih. Tapi sekarang sudah nggak apa-apa kok,” jawabku sambil berusaha terlihat sehat.

Ferry masih saja menatapku.

“Ehm…. memangnya…. pucat banget yah?” tanyaku agak salah tingkah.

“Nggak sih….. sedikit. Tapi tetap cantik kok,” ujar Ferry sambil nyengir.

Aku tersenyum dan naik ke atas motornya.

 

Halaman belakang rumah Hani yang besar itu sudah ramai dengan tamu-tamu undangan. Hani mengenalkanku dengan beberapa orang. Aku mengucapkan salam dan tersenyum sopan.

Aku yakin semua orang disini pasti sudah tahu siapa aku. Dan pastinya orang tua Hani yang sangat baik hati itu sudah berpesan kepada tamu-tamunya untuk bersikap biasa saja kepadaku, karena sejak  tadi sedikitpun tak kulihat tatapan-tatapan iba dari mereka. Dan aku sangat menghargai itu.

Aku menyapa beberapa teman sekelas yang belum sempat kuakrabi. Mereka tersenyum dan membalas sapaanku.

Ferry mencarikanku tempat duduk yang cukup teduh di bawah pohon dekat meja prasmanan.  Aku bersyukur dalam hati. Karena sebenarnya kepalaku masih terasa pusing. Tapi aku tak mau membuat cemas Ferry dan Hani.

“Kamu jangan makan yang ini Vid, nanti mual lagi. Yang ini saja. Nah, ini juga boleh. Wah ada salad buah nih. Kamu suka kan. Aku ambil juga ya,” kata Ferry sembari sibuk memilihkan makanan untukku.

“Eh Fer…. nggak usah banyak-banyak. Makanku kan sedikit,” ujarku melihat tumpukan yang menggunung pada piring di tangan Ferry.

“Tenang. Ini porsi berdua kok,” sahut Ferry sambil tertawa.

“Oh…” aku ikut tertawa.

 

“Memang aneh sekali sih,” terdengar suara laki-laki dari deretan kursi di belakangku, “Alat apa ya, yang dia gunakan? Tidak ada satupun benda tajam di dalam sel yang bisa mengakibatkan luka seperti itu. Seperti luka tusukan pisau tajam .”

“Mungkin ada penyusup dari luar yang dendam pada si Agus itu ?” kata laki-laki yang lain.

“Tidak mungkin. Pintu selnya terkunci kok. Lagipula penjara di kota kita kan ketat sekali pengamanannya.”

 

Apa yang sedang mereka bicarakan?

Agus siapa ?

 

“Haaaiiii……,” Hani muncul dan langsung menghempaskan diri di sebelahku.

“Hai….. capek yah Han…?” tanyaku melihat wajah Hani yang memerah.

“Nggak capek sih. Cuma kepanasan saja. Yahh… luntur deh make-up ku,” keluh Hani sambil melirik cermin kecil yang dikeluarkannya dari sling-bagnya yang berbentuk kepala kucing.

Aku tertawa. Dalam hati aku merasa lega sudah memilih berdandan sedikit girly meskipun tetap kupadukan dengan celana jeans favoritku. Tidak enak pada Hani kalau pakaianku terlalu santai.

“Nih Vid. Ayo makan yang banyak. Biar nggak sakit lagi,” Ferry meletakkan piring besar berisi macam-macam makanan di hadapanku.

“Hahh ??  Kamu sakit Vid ?  Kapan ? Iihh kenapa nggak bilang aku sih ?” Hani melotot dengan wajah galak.

“Iya nih Vida. Lain kali langsung hubungi kami dong Vid. Kamu itu kan tinggal sendirian. Kalau ada apa-apa bagaimana?” timpal Ferry.

“Iyaa…. maaf deh maaf…. semalam aku cuma demam biasa kok.… mungkin juga cuma masuk angin…..”

“Ya tetap saja jangan dianggap remeh Vid,” kata Hani yang kembali sibuk dengan urusan touch-up nya.

"Iya iyaa...." sahutku sambil tersenyum dan mulai memilih makanan.

“Eh, Han…. Fer ….,” bisikku dengan suara rendah sembari menggigit sosis panggang, ”Memangnya....... ada kejadian apa sih…. di penjara kota ?”

Ferry langsung terpaku dengan sepotong daging menggantung di mulutnya.

Hani terdiam menatap cerminnya, tak berani melihatku.

“Nggak apa-apa kok,” lanjutku melihat reaksi mereka, ”Cerita dong. Aku pingin tahu…”

“Kamu dengar darimana sih Vid ?  Padahal harusnya kamu nggak perlu dengar….” Ferry melanjutkan mengunyah dagingnya.

“Bapak-bapak di belakang itu yang ngobrol tadi…” sahutku pelan.

“Hmmh….,” Hani mendengus kesal ke arah belakangku.

"Ya sudah ceritain deh...... kan aku juga sudah terlanjur dengar nih....."

”Sebenarnya sih agak aneh kejadiannya Vid,” Hani menggeser posisi duduknya menghadap kearahku.

“Jadi begini ceritanya. Tadi pagi Papaku dapat berita dari temannya, katanya Pak Agus ditemukan meninggal dalam kondisi luka-luka oleh petugas penjara yang biasanya mengantarkan sarapan.”

“Hah.....?  Meninggal ?” aku terbelalak menatap Hani.

“Iya Vid. Katanya kondisinya sangat mengenaskan. Di seluruh tubuhnya banyak luka dan lebam seperti bekas dipukuli. Lalu penyebab kematiannya adalah tusukan benda tajam di perut.  Yang anehnya, pada saat petugas pengantar makanan datang, pintu selnya masih terkunci rapat. Kamera CCTV yang terpasang di ruang jaga juga tidak memperlihatkan adanya orang asing yang masuk. Dan di dalam selnya juga tidak ditemukan satupun benda tajam yang bisa mengakibatkan luka-luka seperti itu.”

Aku tertegun.

“Yang membuat kami nggak ingin kamu dengar berita ini, karena setelah itu pembicaraannya jadi mengarah ke hal-hal supranatural Vid….” sambung Ferry.

“Maksudnya?”

“Yah…. itu…. karena kejadiannya aneh sekali, jadi…  orang-orang menduga kalau…. kalau pelakunya itu….”

Ferry menunduk terdiam.

Hani mengalihkan pandangan.

 

“Arwah keluargaku yang mau balas dendam ya ?” tebakku.

 

Hani langsung menggenggam tanganku erat-erat.

“Sudahlah Vid. Nggak usah dipedulikan berita seperti itu. Nanti kamu malah stress. Biar saja orang jahat itu mati. Oke.”

“Iya Vid. Namanya juga orang gila. Bisa menggunakan berbagai cara untuk melukai dirinya sendiri,” kata Ferry sambil mengangsurkan segelas ice lemon tea padaku,” Yuk, kita makan lagi.”

 

***

 

Kepalaku terasa pusing lagi. Sepertinya demamku kemarin memang belum sembuh betul. Makanya sekarang jadi kambuh lagi.

Mungkin juga karena tadi kena panas dan terlalu banyak makan di rumah Hani. Atau karena minum es.

 

Aku berbaring menatap langit-langit kamar.

Pak Agus meninggal….?

 

Kemarin malam di dalam lucid dreamku, Pak Agus berlari ketakutan di dalam gelap sehingga berkali-kali menabrak dinding lorong batu yang berliku-liku.

Sesuai dengan apa yang ada di pikiranku saat itu. Aku memang ingin membuat dia merasakan ketakutan dulu setengah mati.

Sebelum membunuhnya dengan menusuk perutnya.

Lalu….  kenapa tadi pagi Pak Agus juga ditemukan persis dalam kondisi seperti itu ?

Di tubuhnya banyak luka benturan. Dan penyebab kematiannya juga akibat luka tusukan di perut.

Ini pasti cuma kebetulan kan ?

Tidak mungkin kan lucid dreamku bisa jadi kenyataan ?

Atau jangan-jangan…. benar yang dikatakan oleh orang-orang ?

Bahwa arwah keluargaku yang membalas dendam ?

Iih…. ya ampun Vida. Kok bisa-bisanya berpikir seperti ini.

Papa, Mama dan Ami kan orang-orang baik. Mana mungkin mereka berbuat begitu?

Kalaupun arwah Ami pernah datang padaku, itu kan karena dia ingin memberitahu sesuatu.

Tapi…. kenapa bisa sama persis begitu ya, penyebab kematian pada Pak Agus ?

Tapi biarlah …. dia memang pantas mati.

 

Papa…

Mama…

Ami….

Sekarang pembunuh kalian sudah mati.  

 

Tapi….  sesuatu yang mengganjal di dadaku ini  tak mau hilang juga.

Kenapa ya ?

Kenapa aku tak bisa menghilangkan rasa dendam ini ?

Atau mungkin…..

Mungkin ini bukan dendam.

Mungkin sebenarnya aku hanya menyesali kepergian kalian.

Aku tidak ingin sendirian.

Aku sangat kesepian….

 

Aku melayang dalam kegelapan.

Aku ingin kembali ke malam terakhir bersama mereka. Sebelum akhirnya mereka ditemukan meninggal dalam kondisi mengenaskan.

Aku tiba di dapur.

Mama mengumpulkan piring kotor di meja makan dan membawanya ke bak cuci. Ami mengikuti di belakangnya.

Papa membuka tutup tempat sampah dan mengangkat plastik hitam penuh sampah dari dalamnya.

Aku mengikuti Papa keluar. Melirik ke segala arah sambil berjaga-jaga.

Tidak ada siapa-siapa.

Kami masuk kembali ke dalam rumah. Mama sedang mencuci piring ditemani Ami. Papa mengunci pintu dapur.

Aman. Kami selamat.

 

Aku terbangun.

Sakit di dadaku terasa lagi.

Setiap aku berusaha menghadirkan mereka kembali, hatiku malah terasa semakin sakit.

Kepalaku pusing luar biasa. Demamku semakin tinggi.

Tenggorokanku terasa kering. Kulihat ke atas meja. Aku lupa membawa air putih ke kamar.

 

Kupaksakan diri untuk bangun. Sekalian saja kucari obat penurun demam di lemari obat.

Terdengar suara-suara pelan dari bawah. Rupanya tadi aku lupa mematikan TV.

 

Aku sampai di  ruang TV.  

Ternyata TV nya mati.

 

Aku sampai di pintu dapur.

 

Papa duduk di kursi makan dengan wajah membiru dan leher bergaris lebam menawarkan semangkuk sereal susu padaku.

Mama tersenyum dengan wajah pucatnya di belakang Papa.

Ami dengan baju tidur bersimbah darah mengulurkan kedua tangannya.

”Ka-kaaak….” panggilnya dengan suara serak.

Serpihan tanah berjatuhan dari mulutnya yang mungil.

 

Aku berdiri terpaku.

Lucid dreamku tidak sempurna.

 

“Jangan biarkan rasa takut atau pikiran-pikiran menyeramkan mempengaruhi  anda dalam kesempatan yang hanya beberapa detik itu. Karena apabila itu terjadi, Lucid Dream anda yang seharusnya indah akan berubah menjadi Nightmare.”

 

 

Adakah diantara kalian para lucid-dreamer yang punya pengalaman unik saat sedang sakit panas dan demam tinggi ?

Misalnya saat sedang tidak bisa bangun dari tempat tidur dan merasa sangat kehausan, tapi tidak ada yang menolong mengambilkan gelas yang letaknya jauh, lalu kamu berusaha meraih gelas itu, dan tiba-tiba gelasnya bergerak sendiri ke arahmu ?

Kalau pernah, berarti kamu punya bakat yang sama seperti Vida.

 

Jadi ....

Hati-hati ya ....

( The Lucid Dreamer - selesai )

Selanjutnya : Sleep Paralysis-side story

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun