“Kenapa memangnya?”
“Mau reuni, Pak.. udah lama nggak ngumpul sama teman-teman.”
“Oh, yo uwis ..sing ngati-ati wae yo, Nduk. Jangan malem-malem pulangnya,” kata Bapak. Bapak mengusap parangnya yang sudah kelihatan tajam. Edellia menatap ke arah Bapaknya sebentar. Bapaknya yang sudah mulai berkepala lima itu tampak kokoh meskipun hampir tiap hari bekerja di sawah. Apabila tidak ada yang membutuhkan tenaganya, Bapak mencari rumput kolonjono untuk dijual pada pemilik hewan ternak di kampung.
Tiba-tiba terbersit perasaan bersalah pada hati Edellia. Dia rela berbohong pada Bapak karena besok dia sudah berjanji untuk bertemu dengan kekasihnya, Irfan. Akhirnya hari-hari yang dinantikannya selama berbulan-bulan tiba juga. Dan tidak mungkin Edell melewatkannya.
Edellia merasa benar-benar nelangsa waktu itu. Dia merasa sangat tersiksa karena harus berbohong pada dua orang yang sangat disayanginya. Pertama kebohongan yang sudah disimpannya sejak lama terhadap Irfan, dan kedua adalah kebohongan pada bapaknya itu.
“Kamu kenapa, Nduk?” tanya Bapak saat melihat air muka Edellia yang lain dari biasanya. Edellia hanya menggeleng, lalu masuk ke rumah. Dia harus segera mandi dan bersiap jualan jamu.
***
“Jamuuu-jamuuuuuuuuuuuuu!! Jamuuuuuuuuuu!” seruan Edellia memenuhi jalanan. Matahari bersinar hangat seperti biasa.
“Mbak.. jamu dong!” seorang pembantu rumah tangga memanggil dari balik teralis pintu gerbang.
“Eh.. iya Mbak..” kata Edellia sambil tersenyum manis. Pembantu tumah tangga yang bernama Fransisca itu membuka pintu pagar agar Edellia masuk. Penghuni rumah itu memang sudah menjadi langganannya.
“Biasa tho Mbak? Kunyit asam..?” tanya Edellia.