“Brotowali ya, Mbah. Oke dech Mbah… Ups!” Edell meringis kemudian menutup mulutnya dengan tangan kanan. Kadang dia lupa kalau dia adalah pedagang jamu yang kata Ibunya, tidak boleh bersikap seperti anak-anak di depan orang dewasa.
“Ha..ha…ha.. Nggak apa-apa nduk.. santai saja. Oke atau no way embah juga mudheng kok,” kata kakek itu sambil tersenyum.
“Iya..mbah..” Edell tersenyum sambil menyerahkan segelas jamu pahit itu. Setelah Kakek tua itu selesai minum jamu brotowali, Edell segera menyerahkan gelas kedua yang lebih kecil berisi air jahe, untuk menawarkan rasa pahit dari brotowali.
“Kamu.. baru ya jadi tukang jamu?” Kakek tua itu bertanya sembari menyerahkan gelas yang tadi berisi air jahe.
“Iya, Mbah,” kata Edell. Seyuman tidak pernah hilang dari bibirnya mungil dan segar itu.
“Ooo… begitu.. tapi dulu kayaknya Embah pernah melihat seseorang yang pake baju yang sama dengan yang kamu pakai itu.”
“Itu emak saya, Mbah. Sejak satu bulan setengah yang lalu saya gantikan Emak jualan jamu,” kata Edell.
“Memang kenapa dengan Emak kamu?”
“Meninggal, Mbah.” Hatinya sakit mengingat Ibunya yang belum lama meninggal. Tapi dia sadar kalau itu semua memang sudah suratan takdir, jadi dia tetap berusaha tegar dan tetap tersenyum.
“Ooo…maaf ya, Nduk.”
“Nggak apa-apa kok, Mbah. Sekarang saya yang harus meneruskan usaha Emak. Ayah saya cuma buruh tani. Adik-adik saya juga masih ada tiga. Jadi mau nggak mau saya yang harus jualan jamu. Sebenarnya saya ingin kuliah juga seperti teman-teman. Tapi sepertinya, saya harus bersabar dulu untuk beberapa tahun ke depan, Mbah. Lagipula siapa lagi yang mau melestarikan jamu gendong kalau bukan saya, Mbah. Adik saya yang perempuan masih kecil. Mana bisa kalau disuruh jualan jamu.”