Mohon tunggu...
yeni purnama
yeni purnama Mohon Tunggu... -

apa nich

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Penjual Jamu Gendong Terakhir

18 April 2011   09:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:21 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nggih, Mbah… Matur nuwun sanget Mbah. Kulo mlampah rumiyin.” Edellia tersenyum tanda bepamitan pada Kakek tua. Dengan langkah pasti Edell berjalan menantang matahari yang makin terik.

“Jamuuu…Jamuuu..!” teriakannya kembali membahana. Teriakan seorang penjual jamu terakhir di kota Boyolali.

***

Hari sudah hampir senja ketika Edellia memasuki gapura desa. Beberapa petani yang baru pulang dari menggarap sawah berjalan di depan gadis itu. Beban di punggungnya masih terasa berat karena hari ini jamu tidak habis terjual. Tapi Edellia tidak terlalu kecewa karena paling tidak modal sudah kembali. Beras juga masih tersisa di rumah, sehingga dia bisa sedikit tenang. Besok adik-adik dan ayahnya masih bisa makan nasi.

Setelah kematian ibunya, Edellia jadi sedikit mengerti bagaimana rasanya menjadi orang yang bertanggung jawab akan rumah tangga. Betapa ibunya pusing apabila tiba saatnya bayaran sekolah. Betapa Ibunya harus pindah dari satu warung ke warung lain untuk berhutang bila keuangan sedang cekak. Edellia baru mengerti sekarang, dan berusaha menerima semua tanggung jawab yang dilimpahkan padanya dengan kapasitasnya yang tidak jauh berbeda seperti anak-anak gadis seusianya. Meskipun kalau sudah tujuh belas tahun dianggap dewasa, sebenarnya pada kenyataannya sebagian besar anak-anak umur segitu belum mampu lepas dari orang tuanya dan belum diberi wewenang untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan keadaan yang dialami Edellia sekarang, memaksanya untuk mengikuti jalan hidup yang disodorkan padanya. Seberapapun dia ingin membuka jalan hidupnya sendiri, dia tetap dipaksa untuk menyusuri jalan yang terbuka untuknya setelah kematian ibunya.

“Udah mandi belum, Mel?” tanya Edellia pada adiknya yang paling kecil, Melati. Anak itu tengah mengerjakan PR ketika Edellia memasuki ruangan.

“Udah, Mbak,” kata Melati sambil menoleh sekilas pada kakaknya. Edellia menaruh bakul berisi jamu di dapur dan segera mandi untuk menghilangkan penat. Kedua adiknya yang laki-laki, Dani dan Danu sedang bersama-sama melihat sponge bob di televisi. Setelah selesai mandi dia bergabung dengan adik kembarnya di depan televisi. Ayahnya baru pulang ketika adzan magrib terdengar dari mesjid. Mereka semua sholat magrib berjamaah kemudian bersama-sama berkumpul di meja makan sederhana yang ada di dapur.

Hidangan malam itu adalah makanan yang sudah dimasak Edell sejak pagi. Sayur bayam, ikan asin, dan sambal terasi. Edellia sengaja memasak dalam jumlah banyak supaya tidak usah memasak lagi sorenya.

“Pak.. hari ini jamunya nggak habis lagi,” kata Edell di sela-sela santap malam yang serba seadanya itu.

“Namanya juga jualan, Nduk… kadang habis kadang nggak.. sing sabar wae,” kata Bapak.

“Tapi udah tiga hari ini Pak nggak habis terus.”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun