"Memang tidak biasa Handaka. Â Karena memang yang ingin ayah utarakan kepada kalian bukan hal yang biasa."
"Apa maksud ayah ?"
"Handaka, kelak jika Sembada datang lagi kemari, rubah sikapmu kepadanya."
"Memangnya kenapa ayah. Â Aku masih curiga kepada pemuda itu. Â Aku tidak suka gayanya yang sok sopan kepadaku."
"Itulah dirimu yang aku kurang berkenan. Â Meski kau anak seorang demang janganlah kau bersikap sombong kepada kawula kademangan. Â Apalagi kepada pemuda seperti Sembada. Â Ketahuilah sebenarnya Sembada itu seorang pendekar yang sangat tinggi ilmunya. Â Ia telah membantu kita saat perang di padang ilalang dekat dusun Wanaasri."
"Apakah ia pendekar bercambuk itu ayah ? " Â Sekarsari spontan bertanya. Â
"Benar. Â Dari mana kamu bisa menebaknya." Tanya ki demang.
"Perasaanku saja ayah. Â Gerak-gerik pendekar bercambuk itu mengingatkanku kepada pemuda yang pernah menolong kami saat di waringin Soban. Â Gaya bertempurnya juga mirip dengan Sembada saat bertempur dengan kakang Handaka di halaman ini. Â Ternyata benar dialah orangnya."
"Nah jika kalian sudah tahu, mulai sekarang kalian harus menghormatinya. Â Apalagi ia kini dipercaya Senopati Narotama untuk mengembalikan pusaka Medang yang hilang "
"Songsong Tunggul Naga ? " Handaka dan Sekarsari spontan bertanya berbarengan.
"Yah. Â Oleh karena itu ayah pesan kuda yang paling bagus untuk membantunya melaksanakan tugas."