"Ohhh karena hal itu tadi Sembada nampak menaiki kuda keluar halaman kademangan."
"Benar Sari. Â Itu hadiah Senopati Narotama kepadanya."
Sesaat mereka berdiam diri. Â Handaka dan Sekarsari hanya menundukkan kepala. Â Sementara ki demang mengawasi keduanya dengan tatapan mata yang redup.
"Nah, kau tak perlu berkecil hati Handaka. Â Bahwa kau tak mampu menandingi Sembada dalam perkelahian beberapa minggu yang lalu. Â Akupun telah menjajagi ilmunya. Â Dan harus aku akui bahwa akupun telah dikalahkannya."
"Benarkah ayah ? Â Itulah rupanya aku tak mampu menyentuh kulitnya dengan pedangku. Â Padahal aku telah berusaha sekuat tenaga melakukan perang tanding itu. Â Jika ayah tidak segera melerai tentu aku sangat malu."
"Yah. Â Aku meleraimu juga karena alasan itu. Â Ilmumu masih terlalu dangkal di banding ilmunya. Saat Senopati Narotama juga menjajagi ilmunya akupun juga segera melerainya. Â Jika diteruskan tentu salah satu dari mereka pasti tewas. Â Keduanya telah sampai pada puncak ilmu yang sangat nggegirisi, menakutkan. Â Senopati dengan pedangnya yang menyala-nyala. Sedang Sembada dengan cambuknya. Â iapun bisa merubah badan jasmaninya menjadi badan cahaya yang tak bisa dilukai dengan senjata apapun juga. Kau bisa bertanya kepada Kartika dan Sambaya, dua orang itu juga menyaksikan perang tanding Senopati Narotama dengan Sembada. Nah ingat-ingatlah jika kalian bertemu lagi jangan kalian berperilaku tidak sopan lagi seperti pagi tadi."
"Baik ayah." Keduanya menjawab berbarengan.
Sementara itu Sembada telah sampai di rumah. Â Kuda hitamnya ia ikat di pohon lamtara depan rumah. Â Mbok Darmi terheran-heran anak angkatnya datang membawa seekor kuda yang sangat tinggi dan gagah. Â Tentu kuda seperti itu harganya sangat mahal. Â Dari mana Sembada mendapatkan kuda itu ? Â Ia sungguh keheranan.
"Apakah simbok heran aku membawa kuda ?"
"Tentu, kuda siapa itu ? "
"Kuda ki demang. Â Dipinjamkan kepadaku karena aku bercerita akan menengok guruku di Cemara Sewu, selatan lereng gunung Wilis."