"Jika hanya itu bisa aku serahkan kepada Handaka urusan kademangan ini. Â Karena menemukan pusaka itu jauh lebih penting daripada mengurus sebuah kademangan. Â Pengaruhnya akan lebih luas. Namun aku sangsi pada diriku sendiri bilamana ketemu Singa Lodaya. Ilmu pendekar dari golongan hitam itu tak bisa diremehkan. Aji macan liwungnya sangat menggetarkan. "
"Apakah ki demang pernah bertempur dengannya ?"
"Aku sendiri belum. Tapi salah seorang guruku tewas karena terkamannya. Tubuhnya hancur tersobek-sobek jari tangannya."
"Mengerikan." Gumam Sembada.
"Yah !! Mengerikan sekali. " Kata ki demang mengulang gumam Sembada.
Mereka berdua menikmati hidangan sambil berbincang-bincang. Â Sikap ki demang terhadap Sembada telah berubah sama sekali. Â ia sangat menghormati pemuda itu. Â Bahkan bisa dikatakan sangat mengaguminya. Â Menurut ki demang Sembada tipe pemuda yang sangat ideal sebagai panutan generasi sebayanya. Â Kecuali ilmunya sangat dalam dan sulit dijajagi, perilakunyapun sangat sopan. Â Harus ia akui sendiri, sangat berbeda dengan anaknya, Handaka.
Tiba-tiba lelaki tinggi besar itu berdiri dan melangkahkan kakinya ke bilik tempat ia biasa istirahat. Â Sebentar kemudian keluar sambil membawa kantong berisi keping-keping uang logam. Â Benda itu diletakkan di depan Sembada duduk.
"Ini titipan Senopati Narotama. Â Untuk bekalmu menjalankan tugas yang berat itu."
Sembada memandangi benda itu dengan berdebar-debar. Â Jumlahnya tentu jauh lebih banyak daripada uang yang diterima sebagai hadiah memenangkan lomba ketangkasan berkelahi di Sambirame tempo hari.
"Banyak sekali ki demang." Kata Sembada spontan.
"Jika pekerjaanmu ringan dan hanya sehari dua hari bisa kau selesaikan, jumlah ini memang terlalu banyak. Â Namun semua orang tentu tahu, tugas yang kau emban berat sekali. Â Aku berdoa semoga kau selamat."