Sembada balik badan hendak melangkah menuju pohon beringin yang ditunjuk Handaka. Namun batal karena suara berat dan dalam mencegahnya.
"Kau tak perlu menungguku di bawah pohon beringin itu Sembada. Masuklah ke pendapa, kau adalah tamuku. Duduklah ditikar itu, tunggu aku selesai membersihkan badan di pakiwan." Kata ki demang Sentika.
"Ayah!!??" Handaka sedikit terkejut dan heran atas kemunculan dan sikap ayahnya.
"Kau harus belajar sopan Handaka. Apalagi terhadap tamu ayah." Kata ki demang sambil berlalu menuju pintu belakang. Sebelum keluar ia berhenti dan menengok ke belakang memandang Sekarsari.
"Buatkan minuman hangat padanya. Layani dia dengan baik"
"Baik ayah." Jawab Sekarsari lantas beranjak melangkah menuju dapur.
Handaka berdiri agak kebingungan mendapati sikap ayah dan calon istrinya. Ia menoleh memandang Sembada yang baru duduk di atas tikar putih yang digelar di lantai pendapa. Â Pemuda gemuk pendek itu menggerutu, mulutnya bergerak-gerak namun tak keluar suara apapun darinya.Â
Pemuda gemuk itu lantas turun tangga pendapa, berjalan menuju kudanya yang tertambat di patok bambu sisi halaman kademangan. Meninggalkan Sembada sendirian di pendapa.
Sekarsari keluar dapur melangkah ke pendapa sambil membawa nampan berisi bumbung wadah minuman dan cobek berisi pisang goreng.
Sambil meletakkan hidangan berulangkali Sekarsari melirik Sembada. Pandangannya sedikit menyelidik untuk mengenali jatidiri tamu ki demang. Sembada yang menyadari tengah diawasi Sekarsari berusaha menutupi sebagian wajahnya dengan menutup mulutnya dengan tangan.
"Maaf kakang. Apakah kakang Sembada benar asli dari dusun Majalegi ?" Akhirnya Sekarsari bertanya.