"Benar nini. Saya asli dari dusun itu. Anak janda miskin bernama Mbok Darmi. Memangnya kenapa nini.?"
"Aku dulu punya sahabat saat masih kecil. Anak pamomongku sendiri, Nyai Kenanga. Namanya Sembada." Jawab Sekarsari.
"Tentu namanya saja yang sama." Jawab Sembada.
"Tidak kakang. Wajahmupun agak mirip dengannya. Tapi badannya tidak sekekar kakang. Sahabatku dulu tinggi kurus."
"Aku kira kebetulan saja nini. Banyak orang yang bukan sanak kadang berwajah mirip."
"Barangkali benar kakang. Bisa jadi aku agak terganggu oleh rasa rinduku saat masih kecil. Hidup bersama ayah bunda dan saudaraku Sekararum."
"Mungkin nini. Perasaan demikian memang sering mengganggu pikiran."
"Silahkan dimakan kakang pisang gorengnya"
"Baik nini. Terima kasih."
Sekarsari beranjak pergi ke dapur lagi. Namun berulang kali ia masih menoleh memandang Sembada. Hati kecilnya masih penasaran terhadap jatidiri pemuda itu.
Sebentar kemudian demang Sentika duduk di tikar pandan putih itu menemani Sembada. Ia segera menyeruput wedang sere gula aren yang telah dihidangkan Sekarsari.