Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 22, Perjalanan Ke Padepokan (Cersil STN)

22 April 2024   09:50 Diperbarui: 1 Juni 2024   14:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masih pagi ketika Sembada bertamu ke rumah ki demang.  Di depan pendapa rumah bertemu dengan Handaka.  Pemuda gemuk pendek itu menatap tajam kepadanya. Sembada menundukkan kepala.

"Kenapa kamu sepagi ini datang kemari ?" tanyanya agak sinis.

"Saya diperintah ki demang menemui beliau tuan." Jawab Sembada sopan.

"Ada urusan apa ayah memerintahmu kemari ?" tanyanya lagi.

"Tidak tahu tuan"jawab Sembada.

"Ayah belum bangun. Semalam beliau sibuk nganglang seluruh wilayah kademangan. Kalau mau kamu tunggu di sana. Di bawah pohon beringin sana." Kata Handaka dengan congkaknya.

Tiba-tiba datang Sekarsari mendekat. "Kakang semalam ayah berpesan, jika Kakang Sembada datang minta beliau dibangunkan."

"Tidak ! Tentu ayah masih lelah. Jangan kau bangunkan. Biar Sembada menunggu saja sampai beliau bangun. Enak saja."

"Kakang, ini amanah ayah Kang. Aku takut beliau marah padaku."

"Jangan takut. Aku yang bertanggung jawab."

Sembada balik badan hendak melangkah menuju pohon beringin yang ditunjuk Handaka. Namun batal karena suara berat dan dalam mencegahnya.

"Kau tak perlu menungguku di bawah pohon beringin itu Sembada. Masuklah ke pendapa, kau adalah tamuku. Duduklah ditikar itu, tunggu aku selesai membersihkan badan di pakiwan." Kata ki demang Sentika.

"Ayah!!??" Handaka sedikit terkejut dan heran atas kemunculan dan sikap ayahnya.

"Kau harus belajar sopan Handaka. Apalagi terhadap tamu ayah." Kata ki demang sambil berlalu menuju pintu belakang. Sebelum keluar ia berhenti dan menengok ke belakang memandang Sekarsari.

"Buatkan minuman hangat padanya. Layani dia dengan baik"

"Baik ayah." Jawab Sekarsari lantas beranjak melangkah menuju dapur.

Handaka berdiri agak kebingungan mendapati sikap ayah dan calon istrinya. Ia menoleh memandang Sembada yang baru duduk di atas tikar putih yang digelar di lantai pendapa.  Pemuda gemuk pendek itu menggerutu, mulutnya bergerak-gerak namun tak keluar suara apapun darinya. 

Pemuda gemuk itu lantas turun tangga pendapa, berjalan menuju kudanya yang tertambat di patok bambu sisi halaman kademangan. Meninggalkan Sembada sendirian di pendapa.

Sekarsari keluar dapur melangkah ke pendapa sambil membawa nampan berisi bumbung wadah minuman dan cobek berisi pisang goreng.

Sambil meletakkan hidangan berulangkali Sekarsari melirik Sembada. Pandangannya sedikit menyelidik untuk mengenali jatidiri tamu ki demang. Sembada yang menyadari tengah diawasi Sekarsari berusaha menutupi sebagian wajahnya dengan menutup mulutnya dengan tangan.

"Maaf kakang. Apakah kakang Sembada benar asli dari dusun Majalegi ?" Akhirnya Sekarsari bertanya.

"Benar nini. Saya asli dari dusun itu. Anak janda miskin bernama Mbok Darmi. Memangnya kenapa nini.?"

"Aku dulu punya sahabat saat masih kecil. Anak pamomongku sendiri, Nyai Kenanga. Namanya Sembada." Jawab Sekarsari.

"Tentu namanya saja yang sama." Jawab Sembada.

"Tidak kakang. Wajahmupun agak mirip dengannya. Tapi badannya tidak sekekar kakang. Sahabatku dulu tinggi kurus."

"Aku kira kebetulan saja nini. Banyak orang yang bukan sanak kadang berwajah mirip."

"Barangkali benar kakang. Bisa jadi aku agak terganggu oleh rasa rinduku saat masih kecil. Hidup bersama ayah bunda dan saudaraku Sekararum."

"Mungkin nini. Perasaan demikian memang sering mengganggu pikiran."

"Silahkan dimakan kakang pisang gorengnya"

"Baik nini. Terima kasih."

Sekarsari beranjak pergi ke dapur lagi. Namun berulang kali ia masih menoleh memandang Sembada. Hati kecilnya masih penasaran terhadap jatidiri pemuda itu.

Sebentar kemudian demang Sentika duduk di tikar pandan putih itu menemani Sembada. Ia segera menyeruput wedang sere gula aren yang telah dihidangkan Sekarsari.

"Wahhh segar sekali."

Sembada hanya tersenyum menanggapinya. Iapun kemudian menyeruput wedang serenya juga.

"Ayo teruskan makan pisang gorengnya. Tentu enak sekali ini" kata ki demang sambil mengambil pisang goreng dari atas cobek.

"Bagaimana, apakah kamu sudah siap berangkat ? Perjalananmu jauh. Kau bisa bawa kudaku ke padepokan gurumu."

"Aku akan berjalan kaki ki demang."

"Jangan kau menjatuhkan martabatku sebagai demang. Aku akan malu jika gusti senopati tahu kau pulang jalan kaki. Seolah aku  demang kikir yang tak mau meminjamkan seekor kuda demi kelancaran tugasmu."

"Jika alasannya itu mau apa lagi ki demang. Tentu saya sangat berterima kasih."

"Bawa kuda yang hitam. Kau pantas menaikinya. Ia sangat gagah." Kata ki demang.

Sembada mengangguk sambil tersenyum.

"Pekerjaanmu sangat berat Sembada. Juga resikonya tinggi. Waktunyapun tak bisa ditentukan kapan selesai. Bisa sebulan, dua bulan, bahkan setahun. Untuk menerobos padepokan besar di lodaya itu bukan pekerjaan yang gampang. Jika aku yang dipercaya bisa jadi aku merasa tak  akan sanggup."

"Mungkin karena tanggung jawab yang besar yang telah membebani ki demang di sini."

"Jika hanya itu bisa aku serahkan kepada Handaka urusan kademangan ini.  Karena menemukan pusaka itu jauh lebih penting daripada mengurus sebuah kademangan.  Pengaruhnya akan lebih luas. Namun aku sangsi pada diriku sendiri bilamana ketemu Singa Lodaya. Ilmu pendekar dari golongan hitam itu tak bisa diremehkan. Aji macan liwungnya sangat menggetarkan. "

"Apakah ki demang pernah bertempur dengannya ?"

"Aku sendiri belum. Tapi salah seorang guruku tewas karena terkamannya. Tubuhnya hancur tersobek-sobek jari tangannya."

"Mengerikan." Gumam Sembada.

"Yah !! Mengerikan sekali. " Kata ki demang mengulang gumam Sembada.

Mereka berdua menikmati hidangan sambil berbincang-bincang.  Sikap ki demang terhadap Sembada telah berubah sama sekali.  ia sangat menghormati pemuda itu.  Bahkan bisa dikatakan sangat mengaguminya.  Menurut ki demang Sembada tipe pemuda yang sangat ideal sebagai panutan generasi sebayanya.  Kecuali ilmunya sangat dalam dan sulit dijajagi, perilakunyapun sangat sopan.  Harus ia akui sendiri, sangat berbeda dengan anaknya, Handaka.

Tiba-tiba lelaki tinggi besar itu berdiri dan melangkahkan kakinya ke bilik tempat ia biasa istirahat.  Sebentar kemudian keluar sambil membawa kantong berisi keping-keping uang logam.  Benda itu diletakkan di depan Sembada duduk.

"Ini titipan Senopati Narotama.  Untuk bekalmu menjalankan tugas yang berat itu."

Sembada memandangi benda itu dengan berdebar-debar.  Jumlahnya tentu jauh lebih banyak daripada uang yang diterima sebagai hadiah memenangkan lomba ketangkasan berkelahi di Sambirame tempo hari.

"Banyak sekali ki demang." Kata Sembada spontan.

"Jika pekerjaanmu ringan dan hanya sehari dua hari bisa kau selesaikan, jumlah ini memang terlalu banyak.  Namun semua orang tentu tahu, tugas yang kau emban berat sekali.  Aku berdoa semoga kau selamat."

"Terima kasih ki demang. Pangestu ki demang sangat saya harapkan."

"Yah.  Hanya itu yang bisa aku berikan padamu. Pangestu."

Menjelang matahari sepengalah Sembada pamit pulang ke Majalegi.  Ki demang bertepuk tangan dua kali.  Seorang pengawal datang menghampirinya.

"Ada perintah ki demang ?"

"Panggilkan pekatik.  Bawa kuda hitam kemari.  Kuda itu hadiah dari Senopati untuk Sembada."

Pengawal itu segera berlari ke belakang pendapa menuju kandang kuda.  Ia menemui pekatik yang tengah membersihkan kandang itu.  Ia sampaikan perintah ki demang agar membawa kuda hitam ke depan pendapa.  Lelaki tua yang pernah bertemu Sembada di pinggir hutan saat mencari rumput itu segera membawa kuda hitam yang baru dua hari menghuni kandangnya ke depan pendapa.

"Berikan kuda itu kepadanya !" Perintah ki demang sambil menunjuk Sembada.

Lelaki itu menatap wajah Sembada.

"Kau !  Pemuda yang akan melamar menjadi pekatik di sini kan ?  Kita pernah bertemu di pinggir hutan."

"Benar ki.  Akulah itu."

"Melamar menjadi pekatik ?  Siapa yang kau katakan itu Kang Badra ?"

"Pemuda ini ki demang. " kata pekatik itu yang ternyata bernama Badra.

 "Husss jangan Sembrana kamu.  Meski masih muda ia pendekar yang sangat tinggi ilmunya.  Kini dia dipercaya Senopati Narotama untuk menjalankan tugas yang sangat berat.  Itulah sebabnya beliau membelikan kuda yang tegar untuknya."

Badra mendengarkan pernyataan ki demang dengan mulut menganga.  Tiba-tiba ia membungkukkan badannya memberi hormat kepada Sembada.

"Maaf tuan.  Saya tidak tahu kalau tuan priyayi agung." Katanya.

"Saya bukan siapa-siapa Ki.  Seperti dulu kita bertemu, saya hanya pencari kayu bakar untuk dijual."

"Sejak awal saya memang curiga Ki demang.  Pemuda ini badannya tegap dan otot-ototnya sangat kuat, tentu ia ahli ilmu kanuragan.  Ternyata tebakan saya benar."

Ki demang tertawa.  Iapun menepuk nepuk punggung Sembada sambil mendampinginya berjalan menuntun kudanya.  Sebentar kemudian Sembada melompat ke punggung kuda itu dengan ringannya.  Setelah menganggukkan kepala kepada ki demang pertanda pamit pergi ia segera menyentuh perut kuda itu dengan tumitnya.  Kuda tinggi besar itu segera melangkahkan kakinya.

Ki demang tetap berdiri di depan pendapa beberapa saat.  Ia mengawasi Sembada sampai hilang tertutup regol kademangan setelah membelokkan kudanya.  Lelaki tua itu nampak senang sekali hatinya.  Merasa telah menjalankan tugas yang telah dibebankan kepadanya oleh Senopati Narotama terhadap Sembada.  

Di balik pintu dapur Sekarsari mengawasi Sembada yang menaiki kuda hitam yang baru dibeli ki demang.  Ia heran kenapa kuda yang bagus itu diberikan kepada Sembada.  Ki demang dan Sembada sama-sama menyimpan rahasia yang tak dapat diketahuinya, pikirnya. Tentu ada sesuatu yang istimewa pada diri Sembada, sehingga ia menerima hadiah yang nilainya sangat berharga dari ki demang.  Bahkan konon itu semua atas perintah Senopati Narotama.

Ketika Handaka pulang ke rumah setelah beberapa saat meninggalkan pendapa kademangan, Ki demang segera memanggilnya bersama Sekarsari untuk  menemuinya.  Lelaki tua itu duduk di atas tikar pandan putih yang tadi dipakai menemui Sembada.  Segera Handaka dan Sekarsari menghadap.

"Ada apa ayah memanggil kami.  Tidak biasanya ayah melakukan hal ini."

"Memang tidak biasa Handaka.  Karena memang yang ingin ayah utarakan kepada kalian bukan hal yang biasa."

"Apa maksud ayah ?"

"Handaka, kelak jika Sembada datang lagi kemari, rubah sikapmu kepadanya."

"Memangnya kenapa ayah.  Aku masih curiga kepada pemuda itu.  Aku tidak suka gayanya yang sok sopan kepadaku."

"Itulah dirimu yang aku kurang berkenan.  Meski kau anak seorang demang janganlah kau bersikap sombong kepada kawula kademangan.  Apalagi kepada pemuda seperti Sembada.  Ketahuilah sebenarnya Sembada itu seorang pendekar yang sangat tinggi ilmunya.  Ia telah membantu kita saat perang di padang ilalang dekat dusun Wanaasri."

"Apakah ia pendekar bercambuk itu ayah ? "  Sekarsari spontan bertanya.  

"Benar.  Dari mana kamu bisa menebaknya." Tanya ki demang.

"Perasaanku saja ayah.  Gerak-gerik pendekar bercambuk itu mengingatkanku kepada pemuda yang pernah menolong kami saat di waringin Soban.  Gaya bertempurnya juga mirip dengan Sembada saat bertempur dengan kakang Handaka di halaman ini.  Ternyata benar dialah orangnya."

"Nah jika kalian sudah tahu, mulai sekarang kalian harus menghormatinya.  Apalagi ia kini dipercaya Senopati Narotama untuk mengembalikan pusaka Medang yang hilang "

"Songsong Tunggul Naga ? " Handaka dan Sekarsari spontan bertanya berbarengan.

"Yah.  Oleh karena itu ayah pesan kuda yang paling bagus untuk membantunya melaksanakan tugas."

"Ohhh karena hal itu tadi Sembada nampak menaiki kuda keluar halaman kademangan."

"Benar Sari.  Itu hadiah Senopati Narotama kepadanya."

Sesaat mereka berdiam diri.  Handaka dan Sekarsari hanya menundukkan kepala.  Sementara ki demang mengawasi keduanya dengan tatapan mata yang redup.

"Nah, kau tak perlu berkecil hati Handaka.  Bahwa kau tak mampu menandingi Sembada dalam perkelahian beberapa minggu yang lalu.  Akupun telah menjajagi ilmunya.  Dan harus aku akui bahwa akupun telah dikalahkannya."

"Benarkah ayah ?  Itulah rupanya aku tak mampu menyentuh kulitnya dengan pedangku.  Padahal aku telah berusaha sekuat tenaga melakukan perang tanding itu.  Jika ayah tidak segera melerai tentu aku sangat malu."

"Yah.  Aku meleraimu juga karena alasan itu.  Ilmumu masih terlalu dangkal di banding ilmunya. Saat Senopati Narotama juga menjajagi ilmunya akupun juga segera melerainya.  Jika diteruskan tentu salah satu dari mereka pasti tewas.  Keduanya telah sampai pada puncak ilmu yang sangat nggegirisi, menakutkan.  Senopati dengan pedangnya yang menyala-nyala. Sedang Sembada dengan cambuknya.  iapun bisa merubah badan jasmaninya menjadi badan cahaya yang tak bisa dilukai dengan senjata apapun juga. Kau bisa bertanya kepada Kartika dan Sambaya, dua orang itu juga menyaksikan perang tanding Senopati Narotama dengan Sembada. Nah ingat-ingatlah jika kalian bertemu lagi jangan kalian berperilaku tidak sopan lagi seperti pagi tadi."

"Baik ayah." Keduanya menjawab berbarengan.

Sementara itu Sembada telah sampai di rumah.  Kuda hitamnya ia ikat di pohon lamtara depan rumah.  Mbok Darmi terheran-heran anak angkatnya datang membawa seekor kuda yang sangat tinggi dan gagah.  Tentu kuda seperti itu harganya sangat mahal.  Dari mana Sembada mendapatkan kuda itu ?  Ia sungguh keheranan.

"Apakah simbok heran aku membawa kuda ?"

"Tentu, kuda siapa itu ? "

"Kuda ki demang.  Dipinjamkan kepadaku karena aku bercerita akan menengok guruku di Cemara Sewu, selatan lereng gunung Wilis."

"Apakah kau akan pergi kesana ?  Kenapa tidak minta izin padaku ?"

"Bukankah minta izin belakangan tidak apa-apa Mbok ?"

"Berapa lama kau akan tinggal di padepokan gurumu ?"

"Paling lama hanya sebulan.  Kecuali ada hal-hal tertentu yang mengharuskan aku tinggal di sana lebih lama ?"

"Kau tinggalkan aku sendirian di rumah ?"

"Terpaksa iya mbok.  Siapa yang akan aku minta menemani simbok di rumah ?  Dulu simbok juga sendirian."

"tentu Mbok.  Aku akan kembali kesini.  Dan tinggal disini menemai simbok."

"Baiklah. Pangestuku untukmu.  Semoga kau selamat di jalan."

Esok harinya Sembada berangkat pagi-pagi sekali.  Ketika matahari belum muncul, rumah-rumah pendudukpun masih tertutup rapat karena penghuninya masih tidur nyenyak Sembada telah melarikan kudanya menerobos pagi buta.  Sebagaimana dulu ia datang hanya membawa kain untuk mewadahi segala keperluannya di jalan, sekarangpun kain itu menyelempang di dadanya.  Hanya tongkat bambu tak lagi ia bawa.  Sekarang ia lebih percaya dengan cambuk yang melingkar di pinggangnya.

Ketika masih di tengah perkampungan penduduk, kudanya tidak ia larikan dengan cepat.  Namun setelah keluar pedesaan dan masuk jalan berbulak panjang kuda itu ia dera agar cepat berlari.  Seperti bayangan hitam kuda itu melezat membelah pagi yang masih dingin.  Dengan beraninya Sembada memasuki jalan yang membelah desa Sambirame.  Namun pagi itu tak ada penjagaan yang ketat di desa itu.  Sehingga ia bisa melaluinya dengan tenang.

Di dusun Suwaluh ia kurangi kecepatan lari kudanya.  Beberapa puluh langkah dari sebuah rumah yang penghuninya juga masih tidur itu ia berhenti.  Segera ia meloncat dari punggung kuda, dan menambatkan hewan itu pada sebuah pohon perdu di pinggir jalan. Dengan berjalan kaki ia berjalan mendekati rumah beratap ilalang yang dulu pernah disinggahinya.  Ia ambil beberapa keping uang dari kantong yang terikat dipinggangnya.  Meletakkan kepingan-kepingan uang itu di depan pintu rumah itu.  Kemudian ia balik berjalan kearah kudanya ditambatkannya.

Sembada meneruskan perjalanannya.  Kini ia telah memasuki hutan Waringin Soban.  Hutan yang sangat berbahaya bagi siapapun yang melewatinya, terutama bagi mereka yang membawa barang-barang berharga.  Namun Sembada sudah bulat hatinya untuk menerobos hutan itu apapun resikonya.

Ketika matahari sepengalah ia sampai di sebuah perkemahan para pedagang yang hendak menyebrang hutan itu.  Mereka sudah bersiap-siap hendak melanjutkan perjalanannya.  Seorang pengawal melihat kedatangan Sembada yang tengah menaiki kudanya. Pengawal itu segera menghampirinya.

"Siapa kau anak muda ? "

"Aku warga kademangan Majaduwur paman.  Aku akan menyebrang hutan ini pula."

"Benarkah kau warga kademangan Majaduwur ?  Bukan mata-mata para perampok yang biasa membegal pedagang di hutan ini ?"

"Tentu bukan paman.  Jika aku mata-mata tentu aku tidak berani terang-terangan datang sendirian menemui rombongan ini.  Aku akan bersembunyi mengawasi gerak-gerik kalian."

Pengawal itu merenung sejenak.  Ada kebenaran yang diucapkan pemuda berkuda itu.  Apalagi dia hanya sendirian.  jika membikin masalah tentu dengan gampang para pengawal rombongan pedagang itu akan meringkusnya.

"Terus apa maumu datang kemari."

"Saya ingin menyebrang bersama-sama paman.  Demi keselamatanku sendiri."

"Jika demikian maumu, baiklah.  Asal jangan membuat onar rombongan ini."

"Tentu tidak paman.  Keselamatanku ada di tangan para pengawal."

Sebentar kemudian rombongan pedagang dan pengawalnya melanjutkan perjalanan mereka.  Sembada dengan menaiki kudanya berjalan di belakang barisan itu.  Namun lama-kelamaan ia menjadi segan, karena semua orang dalam rombongan itu berjalan kaki. Kecuali pemilik-pemilik barang dagangan yang tinggal dalam gerobak berkuda yang mengangkut barang-barang mereka.  Nampak di sana ada juga beberapa perempuan keluarga pemilik barang.  Maka Sembada segera turun dari kuda dan berjalan sambil menuntun hewan itu.

Beberapa saat setelah matahari melewati puncaknya, rombongan itu beristirahat.  Masing-masing membuka bekal mereka untuk makan siang.  Tak terkecuali Sembada, yang telah dibekali simboknya dengan beberapa buah ketupat dan ikan bakar.  Bersama-sama dengan para pengawal Sembada menikmati makan siangnya dengan lahap.

"Kau akan pergi kemana anak muda ?  Menaiki kuda yang sangat bagus, melewati hutan Waringin Soban sangatlah berbahaya bagimu."

"Saya akan ke padepokan Cemara Sewu paman.  Sudah lama saya tidak menjenguk guru di sana."

"Kau murid Ajar Menjangan Gumringsing ?"

"Benar paman.  Lebih lima tahun saya berguru di sana.  Karena suatu hal saya terpaksa pulang ke kademangan Majaduwur."

"Andai kau tak bertemu rombongan ini, apakah kau akan nekad menyebrang sendirian."

"Tentu tidak paman.  Justru karena saya mendengar ada rombongan yang baru masuk hutan ini saya memberanikan diri untuk melanjutkan perjalanan saya.  Dengan harapan saya bertemu di jalan dan bersama-sama menyebrang."

"Hahaha yah.  Perhitunganmu tepat.  Tapi kau masih agak sembrono anak muda.  Untuk menyebrang hutan ini kami membawa teman lebih dari dua puluh orang.  Semata-mata untuk memastikan kami selamat dari gangguan kelompok Gagak Ijo.  Kami dengar Gagak Ijo terluka dalam pertempuran di wilayah kademangan Majaduwur.  Jadi kalaulah ada pembegalan tentu hanya anak buahnya saja.  Jadi kami berani menyebrang dengan separo pengawal dari biasanya."

Namun saat mereka asyik berbincang-bincang mereka mendengar bunyi burung kedasih merintih-rintih di kejauhan.  Suara burung itu kemudian disaut oleh suara yang sama namun pada arah yang berbeda.  Rombongan itu kemudian diam sesaat.  Memperhatikan suara burung yang tidak sebagaimana biasanya.  Pemimpin pengawal segera memberi peringatan kepada anak buahnya.

"Ternyata perjalanan kita sekarangpun tidaklah aman.  Bersiaplah kalian.  Kita akan bertemu dengan tamu yang tak diundang."

Para pengawal segera berdiri melingkari gerobak-gerobak yang mereka lindungi. Semua menghunus pedang menghadap keluar menanti datangnya musuh.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun