"Apakah kau akan pergi kesana ? Â Kenapa tidak minta izin padaku ?"
"Bukankah minta izin belakangan tidak apa-apa Mbok ?"
"Berapa lama kau akan tinggal di padepokan gurumu ?"
"Paling lama hanya sebulan. Â Kecuali ada hal-hal tertentu yang mengharuskan aku tinggal di sana lebih lama ?"
"Kau tinggalkan aku sendirian di rumah ?"
"Terpaksa iya mbok. Â Siapa yang akan aku minta menemani simbok di rumah ? Â Dulu simbok juga sendirian."
"tentu Mbok. Â Aku akan kembali kesini. Â Dan tinggal disini menemai simbok."
"Baiklah. Pangestuku untukmu. Â Semoga kau selamat di jalan."
Esok harinya Sembada berangkat pagi-pagi sekali. Â Ketika matahari belum muncul, rumah-rumah pendudukpun masih tertutup rapat karena penghuninya masih tidur nyenyak Sembada telah melarikan kudanya menerobos pagi buta. Â Sebagaimana dulu ia datang hanya membawa kain untuk mewadahi segala keperluannya di jalan, sekarangpun kain itu menyelempang di dadanya. Â Hanya tongkat bambu tak lagi ia bawa. Â Sekarang ia lebih percaya dengan cambuk yang melingkar di pinggangnya.
Ketika masih di tengah perkampungan penduduk, kudanya tidak ia larikan dengan cepat. Â Namun setelah keluar pedesaan dan masuk jalan berbulak panjang kuda itu ia dera agar cepat berlari. Â Seperti bayangan hitam kuda itu melezat membelah pagi yang masih dingin. Â Dengan beraninya Sembada memasuki jalan yang membelah desa Sambirame. Â Namun pagi itu tak ada penjagaan yang ketat di desa itu. Â Sehingga ia bisa melaluinya dengan tenang.
Di dusun Suwaluh ia kurangi kecepatan lari kudanya. Â Beberapa puluh langkah dari sebuah rumah yang penghuninya juga masih tidur itu ia berhenti. Â Segera ia meloncat dari punggung kuda, dan menambatkan hewan itu pada sebuah pohon perdu di pinggir jalan. Dengan berjalan kaki ia berjalan mendekati rumah beratap ilalang yang dulu pernah disinggahinya. Â Ia ambil beberapa keping uang dari kantong yang terikat dipinggangnya. Â Meletakkan kepingan-kepingan uang itu di depan pintu rumah itu. Â Kemudian ia balik berjalan kearah kudanya ditambatkannya.