Pada masa lalu sistem kualitas adalah penilaian (appraisal). Misalnya dipabrik TV, pada akhir proses dinyatakan apakah TV yang dihasilkan tergolong buruk atau bagus. Penilaian akhir ini hanya menyatakan bahwa apabila baik maka akan diserahkan kepada distributor, sedangkan bila buruk akan disingkirkan. Penilaian seperti ini tidak menyelesaiakan masalah, karena yang buruk akan selalu ada. Mengapa tidak dilakuak pencegahan sejak awal sehingga outputnya dijamin bagus serta hemat biaya dan waktu. Dalam hal ini dikenal the law of tens. Maksudnya, bila kita menemukan suatu kesalahan di awal proses kedua, maka biayanya menjdi 10 rupiah. Diketemukan di proses berikutnya lagi biayanya menjadi 100 rupiah. Jadi sistem kualitas menurut Crosby merupakan pencegahan.
Dalam suatu proses pasti ada input dan output. Di dalam proses kerja internal sendiri ada 4 kendali input dimana proses pencegahan dapat dilakukan, yaitu:
Fasilitas dan perlengkapan.
Pelatihan dan pengetahuan.
Prosedur, pedoman/ manual operasi standar, dan pedoman standar kualitas.
Standar kinerja/ prestasi.
Dalil ketiga: kerusakan nol (zero defect) merupakan standar kinerja yang harus digunakan.
Konsep yang berlaku di masa lalu, yaitu konsep yang mendekati (close enough), misalnya efisiensi mesin mendekati 95 persen. Tetapi coba dihitung  berapa besarnya inefisiensi 5 persen dikalikan penjualan. Bila diukur dalam rupiah maka baru disadari besar sekali nilainya. Orang sering terjebak dengan nilai presentase, sehingga Crosby mengajukan konsep kerusakan nol yang menurutnya dapat tercapai bila perusahaan melakukan sesuatu secara bener semenjak pertama kali dan setiap kali.
Dalil keempat: ukuran kualitas adalah price of non conformance
Kualitas harus merupakan sesuatu yang dapat diukur. Biaya untuk menghasilkan kualitas juga harus terukur. Menurut Crosby, biaya mutu merupakan penjumlahan antara Price of non Conformance dan price of Conformance.
Price of non Conformance(PONC) adalah biaya yang dikeluarkan bila tugas dilakukan karena melakukan kesalahan. Contohnya ketika terjadi salah kirim kertas ke Jakarta ke Jogjakarta. Pelanggan meminta kertas CD tetapi dikirim kertas HVS. Misalnya tidak ada yang mau menerima kertas HVS, maka biaya angkut Jakarta-Jogjakarta, sewa gudang, biaya administrasi, biaya lain serta kemungkinan kerugian penjualan ditanggung oleh produsen. Dengan konsep zero defect, diharapkan PONC ini tidak ada sehingga dapat menurunkan biaya kualitas.