PENDAHULUAN
Meskipun pembangunan Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat, namun di sisi lain juga telah melahirkan ketimpangan antardaerah. Ketimpangan ini terjadi karena pembangunan pada zaman orde baru lebih memfokuskan kepada upaya untuk menciptakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan. Â Kondisi di beberapa daerah teringgal menunjukkan adanya ketimpangan yang tajam dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut:
Kondisi InfrastrukturÂ
Kondisi infrastruktur (sarana dan prasarana) di daerah tertinggal dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, dapat digambarkan melalui kondisi jalan, keberadaan pasar permanen dan bank, jumlah fasilitas kesehatan, dokter, jumlah sekolah, akses masyarakat terhadap sarana komunikasi, air minum, energi listrik, dan sanitasi.
Kondisi jalan dengan kualitas baik dan sedang (mantap) di daerah tertinggal pada tahun 2017 secara rata-rata baru mencapai 45,7 persen, jauh di bawah daerah kabupaten bukan tertinggal yang sebesar 58,4 persen dan kota yang mencapai 78,5 persen. Keberadaan pasar permanen dan bank di daerah tertinggal juga masih jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan di daerah yang bukan tertinggal.
Daerah tertinggal juga masih memiliki rata-rata persentase penduduk yang masih rendah terkait dengan penggunaan alat komunikasi seluler (HP), air bersih/air minum, listrik dan sanitasi yang layak. Pada tahun 2014, rumah tangga pengguna alat komunikasi seluler (HP) di daerah tertinggal sebesar 36,7 persen, pengguna air bersih mencapai 55,4 persen dan pengguna listrik mencapai 75,8 persen. Pada tahun 2016, secara rata-rata, rumah tangga di daerah tertinggal yang memiliki akses air minum yang layak baru mencapai 54,8 persen dan untuk akses sanitasi yang layak persentasenya lebih rendah lagi, yatu baru mencapai 42,5 persen.
Terkait dengan rata-rata jumlah fasilitas kesehatan, dokter dan jumlah SD/SMP per 1000 penduduk, daerah tertinggal memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan tertinggal. Hal ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa kondisi di daerah tertinggal lebih baik dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Hal tersebut lebih dikarenakan jumlah penduduk di daerah tertinggal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa data terkait dengan rata-rata jumlah fasilitas kesehatan, dokter dan jumlah SD/SMP per 1000 penduduk kurang mencerminkan kondisi dari ketertinggalan suatu daerah.
Kondisi Aksesibilitas
  Kondisi aksesibilitas, sesuai dengan indikator penentuan daerah tertinggal, setidaknya dicerminkan dari indikator rata-rata jarak ke Ibukota Kabupaten, jarak desa ke pelayanan kesehatan dan rata-rata jarak ke pelayanan pendidikan dasar. Untuk daerah tertinggal, ketiga indikator tersebut menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal, yang menunjukan bahwa kondisi aksesibilitas daerah tertinggal lebih buruk dibandingkan dengan daerah bukan tertinggal.
Kondisi aksesibilitas dapat juga dicerminkan melalui Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), yang merupakan indeks harga yang menggambarkan kemahalan konstruksi suatu kabupaten/kota terhadap suatu daerah yang menjadi acuan (DKI Jakarta). Bila nilai IKK suatu kabupaten/kota tinggi, daerah kabupaten/kota tersebut secara umum memiliki kondisi aksesibilitas yang lebih sulit, sehingga mengakibatkan harga kontruksi menjadi lebih mahal dibandingkan dengan daerah yang lain. Pada tahun 2017, rata-rata nilai IKK daerah (kabupaten) yang tertinggal mencapai 137,1, sedangkan untuk kabupaten bukan tertinggal hanya sebesar 99,6 dan kota sebesar 100. Hal tersebut menunjukan bahwa harga-harga kontruksi di daerah tertinggal lebih mahal 37,5 persen dibandingkan dengan kabupaten bukan tertinggal dan lebih mahal 37,1 persen dibandingkan dengan di daerah kota.
Kondisi Ekonomi