Senja duduk termenung di halaman rumahnya, memandang langit malam yang bertabur bintang. Suara takbir sayup-sayup terdengar dari kejauhan, menandakan malam takbiran menjelang Idul Fitri. Namun, hatinya terasa hampa, seolah ada jurang tak terlihat yang memisahkannya dari kegembiraan di sekelilingnya.
Di usianya yang ke-17, Senja merasa terjebak antara harapan keluarga dan mimpi pribadinya. Orang tuanya, seperti kebanyakan orang tua lain, menginginkannya untuk mengejar karir yang stabil dan terhormat, seperti menjadi dokter atau insinyur. Tapi hati Senja berkata lain. Ia ingin menjadi penulis, menjelajahi dunia, dan membagikan cerita-cerita yang ia temukan.
Senja merasakan dirinya berada di antara dua pilihan yang kontras. Di satu sisi, terbentang jalan setapak yang aman namun terjal, mewakili harapan orang tuanya dan jalan hidup yang konvensional. Jalan ini menjanjikan stabilitas dan kepastian, namun terasa membatasi dan kurang menantang baginya.
Di sisi lain, terbentang lembah luas yang penuh ketidakpastian, melambangkan impiannya untuk menjadi penulis dan menjelajahi dunia. Lembah ini menawarkan kebebasan dan petualangan, namun juga mengandung risiko dan ketidakpastian yang cukup besar.
Dilema ini terus bergejolak dalam benaknya, menciptakan konflik internal yang sulit untuk diselesaikan. Senja merasa seolah-olah ia berdiri di tepi jurang, harus memilih antara melangkah ke jalan yang sudah dikenal atau terjun ke dalam ketidakpastian yang menggoda. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya sendiri, dan keputusan yang ia ambil akan membentuk masa depannya.
Senja menutup mata, berusaha menjernihkan pikirannya. Suara takbir yang terus bergema seolah menjadi pengingat akan waktu yang terus berjalan. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan.
Lamunannya terhenti oleh suara langkah kaki yang mendekat. Senja membuka mata dan menoleh, melihat Rania, sahabatnya sejak kecil, berjalan menghampirinya di halaman.
“Hei, Jen! Kok sendirian di sini? Udah siap buat Sholat Ied besok?” tanya Rania sambil duduk di sebelah Senja.
Senja tersenyum lemah, “Entahlah, Ran. Rasanya tahun ini berbeda.”
Rania menatap sahabatnya dengan khawatir. “Ada apa, Jen?”
Senja menghela nafas panjang sebelum mulai bercerita tentang dilema yang ia hadapi. Rania mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk penuh pengertian.
Tak terasa, mereka sudah berbincang cukup lama, dan malam semakin larut. Akhirnya, Rania pamit pulang. Sebelum pergi, ia memeluk Senja erat, memberikan dukungan tanpa kata.
Setelah Rania pulang, Senja kembali memandang langit malam. Bintang-bintang tampak lebih terang sekarang, seolah memberi isyarat bahwa selalu ada harapan di tengah kegelapan.
Dengan tekad baru, Senja memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya esok hari, setelah melaksanakan Sholat Ied. Ia akan membuka hatinya, membagikan impiannya, dan berharap mereka akan mengerti.
Senja memasuki rumah dengan langkah yang lebih ringan. Meski masa depan masih terasa tidak pasti, setidaknya ia telah memutuskan untuk mengambil langkah pertama, yaitu berbicara jujur pada orang tuanya.
Malam itu, sebelum tidur, Senja menulis di buku hariannya:
“Di persimpangan ini, aku memilih untuk jujur pada diriku dan orang-orang yang ku cintai. Jalan ini mungkin penuh tantangan, tetapi aku yakin inilah yang harus kutempuh. Semoga keberanian dan kebijaksanaan selalu menyertai langkahku.”
Dengan itu, Senja menutup buku hariannya dan memejamkan mata, bersiap menyambut hari esok dengan harapan baru. Dalam hatinya, ia merasa lebih tenang, yakin bahwa apapun yang terjadi, ia telah memilih untuk menghadapinya dengan kejujuran dan ketulusan.
Keesokan harinya, Senja terbangun dengan perasaan campur aduk. Aroma khas makanan lebaran mulai menguar dari dapur, mengingatkannya akan tradisi yang selalu ia nantikan setiap tahun. Namun kali ini, ada sedikit kegelisahan yang menyelimuti hatinya.
Setelah bersiap-siap, Senja bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Suasana hangat dan ceria khas lebaran terasa di meja makan, dengan obrolan ringan dan tawa yang sesekali terdengar. Senja berusaha untuk ikut dalam suasana ini, meski pikirannya masih dipenuhi dengan rencana untuk berbicara dengan orang tuanya.
“Senja, nanti setelah Sholat Ied kita berkunjung ke rumah paman dan bibi ya,” ucap ibunya sambil menuangkan teh.
Senja mengangguk pelan, “Iya, Bu. Tapi… bolehkah aku berbicara dengan Ibu dan Ayah sebentar sebelum kita pergi?”
Kedua orang tuanya saling berpandangan sejenak, lalu ayahnya menjawab, “Tentu, Nak. Ada apa?”
“Nanti saja ya, setelah kita pulang dari masjid,” Senja tersenyum, berusaha menenangkan diri.
Seusai sarapan, keluarga Senja bersiap untuk berangkat ke masjid. Sepanjang perjalanan, Senja merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia tahu, sebentar lagi ia harus menghadapi momen yang mungkin akan mengubah banyak hal dalam hidupnya.
Di masjid, suasana Idul Fitri terasa begitu khidmat. Senja berusaha fokus pada ibadah, memohon kekuatan dan ketenangan untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah ini.
Selesai Sholat Ied, keluarga Senja kembali ke rumah. Inilah saatnya. Dengan nafas dalam, Senja mengajak kedua orang tuanya untuk duduk di ruang keluarga.
"Ayah, Ibu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan..." Senja memulai, suaranya sedikit bergetar.
Senja menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ayah, Ibu, aku tahu kalian punya harapan besar untukku. Tapi… ada sesuatu yang sudah lama ingin kusampaikan."
Kedua orang tuanya menatap Senja dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutan kata-katanya.
"Aku… aku ingin mengejar mimpi yang berbeda dari yang kalian harapkan," Senja akhirnya berkata, suaranya pelan tapi tegas.
"Aku ingin menjadi seorang penulis, bukan seorang dokter seperti yang kalian inginkan."
Ruangan menjadi hening sejenak. Ayah Senja mengerutkan dahi, sementara ibunya terlihat terkejut.
"Tapi Senja," ayahnya akhirnya bersuara, "menjadi dokter itu profesi yang mulia. Kamu bisa membantu banyak orang, dan masa depanmu akan terjamin."
Senja mengangguk, “Aku tahu, Yah. Tapi aku merasa minatku ada di dunia menulis. Aku ingin memberi inspirasi dan perubahan dengan tulisanku.”
"Tapi nak," ibunya menyela, "menulis itu kan bisa jadi hobi saja. Kamu tetap bisa menulis sambil jadi dokter."
"Bu," Senja menatap ibunya tegas, "menulis bukan sekadar hobi bagiku. Ini adalah passion, ini adalah apa yang ingin aku tekuni sepenuh hati."
"Kamu pikir hidup ini semudah itu? Bisa dihapus dan diulang seperti tulisan di kertasmu?" ucap Ayahnya dengan nada keras.
Senja mengepalkan tangan, menahan emosi.
"Justru karena aku tahu hidup tidak mudah, aku ingin menjalaninya dengan sesuatu yang aku cintai." balas Senja.
“Cinta tidak akan memberimu kehidupan yang layak, Senja!” ucap Ibunya dengan nada tegas. “Lihat sepupumu Keira, sudah jadi dokter sekarang.”
“Aku bukan Keira, Bu. Aku Senja. Dan aku punya mimpiku sendiri,” suaranya bergetar.
"Mimpi? Kamu masih terlalu naif," ucap Ayahnya sambil menatap dirinya dengan tegas. "Nanti kalau sudah dewasa, kamu akan mengerti kenapa kami menentangmu."
"Ayah salah. Justru karena aku sudah dewasa, aku berani mengambil keputusan ini. Aku siap menanggung segala risikonya." balasnya.
Ruangan kembali hening sejenak. Kedua orang tuanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Yasudah, kalau kamu gagal, jangan salahkan kami," tegas Ayahnya, suaranya penuh kekhawatiran.
"Ya, ini pilihanku sendiri dan aku siap menanggung risikonya," ucap Senja tenang.
"Kalaupun aku gagal, itu jadi pelajaran untukku. Lebih baik aku menyesal karena gagal daripada menyesal karena tak pernah berani mencoba," tambah Senja.
"Dan kalau aku berhasil," lanjut Senja sambil menatap Ayahnya dengan tatapan penuh keyakinan, "itu karena aku berani memilih jalanku sendiri."
Ayahnya terdiam, kata-kata Senja membuatnya tertegun. Ibunya menghela nafas, tampak bingung antara mendukung anak atau tetap berpegang pada harapan mereka.
"Kami hanya ingin kamu bahagia, Senja," ucap Ibunya akhirnya pelan.
"Aku tahu, Bu. Dan aku percaya, kebahagiaanku ada di tanganku sendiri," jawab Senja dengan tegas, meski hatinya bergetar.
Senja menunduk, merasakan beratnya kata-kata yang belum terucap.
"Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, Yah, Bu. Aku tahu itu sulit untuk kalian terima," ucapnya pelan namun penuh keyakinan.
Ayahnya menghela nafas, wajahnya terlihat lelah. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Senja. Kadang, yang terbaik itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita."
"Iya, aku mengerti. Tapi hidupku adalah milikku," Senja menatap Ayah dan Ibunya dengan penuh harap.
"Aku cuma mau hidup tanpa bertanya-tanya 'bagaimana kalau waktu itu aku berani?' Gagal atau berhasil, minimal aku sudah mencoba," lanjutnya.
Ibunya menggenggam tangan Senja, matanya lembut.
"Kami paham kamu ingin mencoba, Senja. Tapi kami juga tidak ingin kamu terluka nanti. Kami hanya ingin kamu bahagia," ucap Ibunya.
"Aku tahu, Bu. Dan aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin. Tapi aku perlu dukungan kalian, bukan hanya harapan yang ada di atas pundakku," Senja berkata, suaranya tenang namun tegas.
Kedua orang tuanya bertukar pandang. Ayahnya menghela nafas panjang, lalu tersenyum hangat.
"Maafkan kami ya, Senja. Kadang kami lupa kalau kamu sudah besar, sudah bisa menentukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri." ucap Ayahnya.
Mata Senja berkaca-kaca, perasaannya meluap dalam diam.
"Kamu akan selalu jadi anak kecil kami," Ibunya mengusap pipi Senja lembut. "Tapi mungkin memang sudah waktunya kami belajar melepasmu tumbuh dengan jalanmu sendiri."
Senja terdiam sejenak, merasakan hangatnya kasih sayang yang mengalir dari kedua orang tuanya.
Ia kemudian memeluk kedua orang tuanya erat. "Terima kasih sudah mau mengerti. Aku sayang kalian," ucapnya.
Pelukan itu terasa hangat dan melegakan. Meski Senja tahu perjalanannya masih panjang, ia merasa lega telah mengambil langkah pertama yang penting ini.
Setelah momen penuh emosi itu, keluarga Senja memutuskan untuk melanjutkan tradisi Lebaran mereka dengan mengunjungi kerabat. Sepanjang perjalanan, Senja merasa seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Meski ia tahu orang tuanya masih memiliki keraguan, dukungan mereka memberinya kekuatan baru.
Di rumah paman dan bibinya, suasana Lebaran terasa hangat dan meriah. Aroma lezat opor ayam dan rendang memenuhi ruangan, sementara tawa dan obrolan keluarga besar mewarnai suasana lebaran. Senja berusaha menikmati momen ini, meski pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan tadi.
“Senja, bagaimana persiapanmu untuk kuliah?” tanya pamannya di sela-sela obrolan.
Senja melirik orang tuanya sekilas sebelum menjawab, “Sebenarnya, Paman… ada perubahan rencana. Aku memutuskan untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia.”
Ruangan itu mendadak hening. Semua mata tertuju pada Senja.
“Loh, bukannya kamu diterima di Kedokteran?” tanya bibinya, terlihat bingung.
Sebelum Senja sempat menjawab, ayahnya menyela, “Iya, tapi Senja punya mimpi lain. Dia ingin menjadi penulis.”
Senja bisa melihat berbagai ekspresi di wajah keluarganya, ada yang terkejut, bingung, bahkan ada yang terlihat tidak setuju. Namun, ia tetap teguh dengan keputusannya.
“Aku tahu ini mungkin mengejutkan,” Senja berkata dengan tenang. “Tapi aku yakin ini adalah jalan terbaikku. Aku ingin mengejar passionku dalam menulis.”
Pamannya tersenyum lembut, “Yang penting kamu yakin dengan pilihanmu, Senja. Dan kamu punya dukungan dari orang tuamu. Itu yang terpenting.”
Senja merasa lega mendengar kata-kata pamannya. Ia menyadari bahwa meski jalan yang Ia pilih mungkin tidak mudah, dukungan keluarga akan menjadi kekuatan besar baginya.
Sisa hari itu dihabiskan dengan obrolan hangat dan candaan khas keluarga. Senja merasa lebih ringan, lebih bebas untuk berbagi tentang mimpi-mimpinya. Ia mulai membayangkan masa depan yang penuh dengan kata-kata, cerita, dan kemungkinan tak terbatas yang bisa ia ciptakan melalui tulisannya.
Malam itu, ketika Senja berbaring di tempat tidurnya, ia merasa damai. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi langkah pertama telah ia ambil. Dengan tekad kuat dan dukungan keluarga, Senja siap menghadapi tantangan yang akan datang dalam mengejar mimpinya menjadi seorang penulis.
Beberapa bulan kemudian, Senja memulai perkuliahannya di jurusan Sastra Indonesia. Awal-awal kuliah terasa menantang namun menyenangkan baginya. Lingkungan baru yang dipenuhi oleh orang-orang dengan passion yang sama dalam dunia penulisan membuatnya semakin bersemangat untuk berkarya.
Senja mulai aktif di berbagai kegiatan kampus yang berkaitan dengan penulisan. Ia bergabung dengan klub menulis, mengikuti lomba-lomba karya tulis, dan bahkan mulai menulis untuk majalah kampus. Setiap malam, ia menyempatkan diri untuk menulis, mengasah kemampuannya dan mengeksplorasi berbagai genre penulisan.
Meski begitu, kadang-kadang keraguan masih menyelinap dalam pikiran Senja. Terutama saat ia mendengar teman-temannya dari jurusan lain berbicara tentang prospek kerja yang lebih "pasti" dan menggiurkan.
Namun, setiap kali perasaan itu muncul, ia berusaha mengingat kembali janji yang telah ia buat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya. Janji untuk membuktikan bahwa kesuksesan bisa diraih di jalur yang ia pilih, meskipun penuh tantangan.
Suatu hari, setelah kelas berakhir, Pak Raden memanggil Senja ke ruangannya. Senja merasa cemas, karena ia khawatir tugas cerpen yang baru saja ia kumpulkan tidak memenuhi harapan.
“Senja, saya sudah membaca beberapa tulisanmu,” tutur Pak Raden. “Saya melihat potensi besar dalam karyamu.”
Jantung Senja berdebar kencang mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak,” jawabnya malu-malu.
“Saya punya tawaran untukmu,” lanjut Pak Raden. “Ada sebuah penerbit yang sedang mencari penulis muda berbakat untuk antologi cerpen. Apa kamu tertarik untuk mengirimkan karyamu?”
Mata Senja berbinar-binar. “Tentu saja, Pak! Saya sangat tertarik!”
“Bagus,” Pak Raden tersenyum. “Ini kesempatan bagus untukmu. Tapi ingat, persaingannya akan ketat. Kamu harus memberikan yang terbaik.”
Senja mengangguk penuh semangat. “Saya akan berusaha sekuat tenaga, Pak. Terima kasih atas kesempatannya.”
Sore itu, Senja pulang dengan perasaan campur aduk, gembira, gugup, dan bersemangat. Ia tahu ini bisa jadi langkah awal yang penting dalam karirnya sebagai penulis. Dengan tekad bulat, ia mulai menulis, mencurahkan seluruh kreativitas dan perasaannya ke dalam cerita yang akan ia kirimkan.
Selama berminggu-minggu, Senja bekerja keras menyelesaikan cerpennya untuk antologi tersebut. Ia menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk menulis, merevisi, dan menyempurnakan karyanya. Kadang ia merasa puas, kadang merasa frustasi, tapi ia terus berusaha.
Senja juga meminta pendapat dari teman-teman sekelasnya dan mengirimkan draft awalnya ke Pak Raden untuk mendapatkan masukan. Kritik dan saran yang ia terima membuatnya semakin bersemangat untuk memperbaiki tulisannya.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, Senja merasa puas dengan hasil karyanya. Dengan jantung berdebar, ia mengirimkan cerpennya ke penerbit yang dimaksud Pak Raden.
Waktu berlalu, dan Senja kembali fokus pada kuliahnya sembari menunggu kabar. Ia berusaha untuk tidak terlalu berharap, tapi tidak bisa menghentikan dirinya untuk sesekali mengecek email, berharap ada kabar baik.
Suatu pagi, saat Senja baru saja selesai sarapan dan bersiap ke kampus, ponselnya berbunyi. Ada email masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka email tersebut.
“Kepada Senja,
Kami dengan senang hati memberitahukan bahwa cerpen Anda telah terpilih untuk dimuat dalam antologi ‘Jendela Mimpi Muda’. Selamat atas pencapaian Anda”
Senja hampir tidak percaya dengan apa yang ia baca. Ia membaca ulang email itu berkali-kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Air mata kebahagiaan mulai menggenang di matanya.
“Ibu! Ayah!” teriaknya sambil berlari ke ruang keluarga. “Cerpenku terpilih! Cerpenku akan diterbitkan!”
Orang tuanya yang sedang sarapan terlihat kaget sekaligus gembira. Mereka langsung berdiri dan memeluk Senja erat.
“Selamat, nak!” ucap ibunya, matanya berkaca-kaca. “Kami bangga padamu.”
Ayahnya menepuk pundak Senja. “Ini baru langkah pertama, Senja. Tapi kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa. Teruslah berjuang.”
Senja mengangguk, terlalu bahagia untuk berkata-kata. Ia tahu ini memang baru awal, tapi pencapaian ini memberikannya keyakinan baru.
Hari itu, Senja pergi ke kampus dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya. Ia tidak sabar untuk berbagi kabar gembira ini dengan teman-teman dan dosennya, terutama Pak Raden yang telah memberinya kesempatan ini.
Beberapa bulan kemudian, antologi cerpen “Jendela Mimpi Muda” akhirnya diterbitkan. Senja menerima salinan bukunya dengan perasaan antusias. Melihat namanya tercetak di halaman buku itu terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Keberhasilan ini memberi Senja dorongan baru. Ia semakin giat menulis dan mengikuti berbagai lomba menulis. Beberapa karyanya mulai dimuat di majalah sastra lokal. Namanya perlahan-lahan mulai dikenal di kalangan penulis.
Suatu hari, Senja mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah acara literasi di SMA-nya dulu. Ia merasa gugup namun juga bersemangat untuk berbagi pengalamannya dengan adik-adik kelasnya.
Di acara tersebut, Senja menceritakan perjalanannya, dari keraguan awalnya memilih jurusan Sastra Indonesia hingga pencapaiannya saat ini. Ia menekankan pentingnya mengejar passion dan berani mengambil risiko.
“Jangan pernah takut untuk bermimpi,” tutur Senja kepada para siswa. “Tapi ingat, mimpi tanpa kerja keras hanyalah angan-angan. Teruslah belajar, mencoba, dan jangan pernah menyerah.”
Setelah acara selesai, seorang siswa menghampiri Senja.
“Kak, saya juga ingin jadi penulis,” tutur siswa itu malu-malu. “Tapi orang tua saya ingin saya jadi dokter. Apa yang harus saya lakukan?”
Senja tersenyum, teringat akan dirinya dulu. “Bicaralah dengan orang tuamu. Tunjukkan kesungguhan dan komitmenmu. Tapi yang terpenting, buktikan dengan tindakan. Mulailah menulis, ikuti lomba-lomba. Tunjukkan pada mereka bahwa ini bukan sekadar keinginan sesaat.”
Siswa itu mengangguk penuh semangat. “Terima kasih, Kak. Cerita Kakak memberi saya keberanian.”
Senja pulang dari acara itu dengan perasaan hangat di hatinya. Ia merasa telah memberi dampak positif, sekecil apapun itu.
Malam harinya, Senja duduk di meja tulisnya, memandang ke luar jendela. Ia teringat akan perjalanannya selama ini yang penuh keraguan, ketakutan, dan akhirnya keberanian untuk mengejar mimpinya. Senja tahu perjalanannya masih panjang, tapi ia merasa siap menghadapi apapun yang akan datang.
Dengan senyum di wajahnya, Senja membuka laptop dan mulai mengetik. Ide untuk novel pertamanya sudah mulai terbentuk di benaknya. Ia tidak sabar untuk menuangkannya dalam kata-kata, berharap suatu hari nanti ceritanya bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi.
Beberapa tahun berlalu, dan Senja kini telah lulus dengan predikat cumlaude dari jurusan Sastra Indonesia. Selama masa kuliahnya, ia telah menerbitkan beberapa cerpen dan puisi di berbagai media, serta menyelesaikan draft pertama novelnya.
Setelah lulus, Senja mendapat tawaran bekerja sebagai editor di sebuah penerbit buku ternama di Jakarta. Meskipun ini bukan impian utamanya, Senja melihat ini sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang industri penerbitan dan memperluas jaringannya.
Di sela-sela pekerjaannya sebagai editor, Senja terus menyempurnakan novelnya. Ia menghabiskan malam-malamnya untuk menulis dan merevisi, berharap suatu hari nanti karyanya bisa diterbitkan.
Suatu hari, saat sedang makan siang di kantor, Senja menerima telepon dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo, apakah benar ini dengan Senja?” tanya suara di seberang telepon.
“Ya, benar. Ini siapa ya?” jawab Senja.
“Saya Bambang dari Penerbit Cakrawala. Kami telah membaca naskah novel Anda dan kami sangat terkesan. Kami ingin menawarkan kontrak penerbitan untuk novel Anda.”
Senja hampir menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Ia tidak menyangka bahwa naskah yang ia kirimkan beberapa bulan lalu akhirnya mendapat tanggapan positif.
“Benarkah? Oh, terima kasih banyak!” Senja berusaha mengendalikan suaranya yang bergetar karena gembira.
Setelah panggilan itu berakhir, Senja segera menghubungi orang tuanya untuk membagikan kabar baik tersebut. Mendengar pencapaian putrinya, mereka pun merasa sangat bangga dan bahagia.
Dalam beberapa bulan ke depan, Senja sibuk mempersiapkan novelnya untuk diterbitkan. Ia bekerja sama dengan tim editor dari penerbit untuk menyempurnakan naskahnya. Proses ini memang melelahkan, tapi Senja menikmati setiap momennya.
Akhirnya, setelah penantian yang panjang, novel pertama Senja, “Tinta di Atas Kertas Kosong”, resmi diluncurkan. Acara peluncuran bukunya dihadiri oleh keluarga, teman-teman, dan beberapa tokoh sastra Indonesia.
Saat Senja berdiri di podium untuk memberikan sambutan, ia tidak bisa menahan air matanya. Ia teringat akan perjalanan panjangnya, dari seorang gadis yang penuh keraguan hingga menjadi penulis novel yang karyanya diterbitkan.
“Terima kasih kepada semua yang telah mendukung saya,” Senja berkata dengan suara bergetar. “Terutama untuk orang tua saya yang telah percaya pada mimpi saya.”
“Dan untuk semua yang masih ragu mengejar passion, ingatlah bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita berani bermimpi dan bekerja keras untuk mewujudkannya.”
Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Senja tersenyum lebar, merasa bahwa ini adalah awal dari petualangan barunya dalam dunia sastra Indonesia.
Setelah peluncuran novelnya, karier Senja sebagai penulis semakin berkembang. “Tinta di Atas Kertas Kosong” mendapat sambutan hangat dari para pembaca dan kritikus sastra. Dan dalam waktu singkat, novelnya masuk dalam daftar best seller nasional.
Senja mulai diundang ke berbagai acara literasi, talkshow, dan festival buku di seluruh Indonesia. Ia juga mulai menulis artikel di sebuah majalah sastra terkemuka. Namanya kini dikenal luas sebagai salah satu penulis muda berbakat di Indonesia.
Meski sibuk, Senja tidak pernah melupakan tempat ia berasal. Ia sering mengadakan workshop menulis gratis untuk siswa-siswa SMA dan mahasiswa, terutama di daerah-daerah yang kurang terjangkau. Ia ingin membagikan pengetahuan dan pengalamannya, serta menginspirasi generasi muda untuk berani mengejar mimpi mereka.
Lima tahun setelah novel pertamanya terbit, Senja telah menerbitkan tiga novel lainnya, yang semuanya mendapat sambutan baik. Ia juga mulai dikenal di kancah internasional setelah salah satu novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di beberapa negara.
Suatu hari, Senja menerima sebuah undangan istimewa. Ia diminta untuk menjadi pembicara utama dalam sebuah konferensi sastra internasional di London. Dengan penuh semangat, Senja menerima undangan tersebut.
Di hari konferensi, Senja berdiri di podium, memandang ratusan wajah dari berbagai negara yang hadir untuk mendengarkannya. Ia teringat kembali akan perjalanannya dari seorang gadis yang ragu-ragu memilih jurusan Sastra Indonesia, hingga menjadi penulis yang karyanya dibaca di berbagai penjuru dunia.
“Sastra bukan hanya tentang kata-kata,” Senja memulai pidatonya.
“Sastra adalah jembatan yang menghubungkan jiwa-jiwa, melampaui batas bahasa dan budaya. Melalui sastra, kita bisa melihat dunia melalui ribuan mata yang berbeda.”
Setelah berbincang lama dengan para pendengarnya, Senja merasakan energi positif yang mengalir di antara mereka. Dengan percaya diri, ia mengakhiri pidatonya dengan sebuah pesan:
“Kepada semua yang memiliki mimpi, jangan pernah takut untuk mengejarnya. Perjalanan mungkin tidak selalu mudah, tapi setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat ke tujuan. Percayalah pada diri sendiri, bekerja keras, dan jangan pernah berhenti belajar. Karena setiap usaha, sekecil apapun, akan membuahkan hasil di waktu yang tepat.”
Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Senja tersenyum lebar, merasa bersyukur atas perjalanan hidupnya. Ia tahu bahwa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya. Dan Senja siap untuk menulis lebih banyak lagi, berbagi lebih banyak cerita, dan menginspirasi lebih banyak orang melalui kata-katanya.
Malam itu, setelah konferensi, Senja duduk di balkon hotel, memandangi gemerlap kota London. Ia membuka buku catatan kecilnya dan mulai menulis:
“Dulu, aku hanya seorang gadis yang takut bermimpi. Kini, aku telah menjelajahi dunia melalui kata-kata. Perjalanan ini mengajarkanku bahwa hidup adalah rangkaian pilihan dan keberanian. Karena pada akhirnya, hidup kita adalah cerita yang kita tulis sendiri. Setiap halaman baru adalah kesempatan untuk menulis ulang kisah kita. Dan aku? Aku akan terus menulis, karena dalam setiap kata yang kutuliskan, aku menemukan diriku yang sesungguhnya.”
Senja menutup buku catatannya, tersenyum pada dirinya sendiri. Ia tahu, petualangannya baru saja dimulai, dan masih banyak cerita yang menunggu untuk ditulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H