Ayahnya menghela nafas, wajahnya terlihat lelah. "Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Senja. Kadang, yang terbaik itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita."
"Iya, aku mengerti. Tapi hidupku adalah milikku," Senja menatap Ayah dan Ibunya dengan penuh harap.
"Aku cuma mau hidup tanpa bertanya-tanya 'bagaimana kalau waktu itu aku berani?' Gagal atau berhasil, minimal aku sudah mencoba," lanjutnya.
Ibunya menggenggam tangan Senja, matanya lembut.
"Kami paham kamu ingin mencoba, Senja. Tapi kami juga tidak ingin kamu terluka nanti. Kami hanya ingin kamu bahagia," ucap Ibunya.
"Aku tahu, Bu. Dan aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin. Tapi aku perlu dukungan kalian, bukan hanya harapan yang ada di atas pundakku," Senja berkata, suaranya tenang namun tegas.
Kedua orang tuanya bertukar pandang. Ayahnya menghela nafas panjang, lalu tersenyum hangat.
"Maafkan kami ya, Senja. Kadang kami lupa kalau kamu sudah besar, sudah bisa menentukan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri." ucap Ayahnya.
Mata Senja berkaca-kaca, perasaannya meluap dalam diam.
"Kamu akan selalu jadi anak kecil kami," Ibunya mengusap pipi Senja lembut. "Tapi mungkin memang sudah waktunya kami belajar melepasmu tumbuh dengan jalanmu sendiri."
Senja terdiam sejenak, merasakan hangatnya kasih sayang yang mengalir dari kedua orang tuanya.