Kami dengan senang hati memberitahukan bahwa cerpen Anda telah terpilih untuk dimuat dalam antologi ‘Jendela Mimpi Muda’. Selamat atas pencapaian Anda”
Senja hampir tidak percaya dengan apa yang ia baca. Ia membaca ulang email itu berkali-kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Air mata kebahagiaan mulai menggenang di matanya.
“Ibu! Ayah!” teriaknya sambil berlari ke ruang keluarga. “Cerpenku terpilih! Cerpenku akan diterbitkan!”
Orang tuanya yang sedang sarapan terlihat kaget sekaligus gembira. Mereka langsung berdiri dan memeluk Senja erat.
“Selamat, nak!” ucap ibunya, matanya berkaca-kaca. “Kami bangga padamu.”
Ayahnya menepuk pundak Senja. “Ini baru langkah pertama, Senja. Tapi kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa. Teruslah berjuang.”
Senja mengangguk, terlalu bahagia untuk berkata-kata. Ia tahu ini memang baru awal, tapi pencapaian ini memberikannya keyakinan baru.
Hari itu, Senja pergi ke kampus dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya. Ia tidak sabar untuk berbagi kabar gembira ini dengan teman-teman dan dosennya, terutama Pak Raden yang telah memberinya kesempatan ini.
Beberapa bulan kemudian, antologi cerpen “Jendela Mimpi Muda” akhirnya diterbitkan. Senja menerima salinan bukunya dengan perasaan antusias. Melihat namanya tercetak di halaman buku itu terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
Keberhasilan ini memberi Senja dorongan baru. Ia semakin giat menulis dan mengikuti berbagai lomba menulis. Beberapa karyanya mulai dimuat di majalah sastra lokal. Namanya perlahan-lahan mulai dikenal di kalangan penulis.
Suatu hari, Senja mendapat undangan untuk menjadi pembicara di sebuah acara literasi di SMA-nya dulu. Ia merasa gugup namun juga bersemangat untuk berbagi pengalamannya dengan adik-adik kelasnya.