Ruangan menjadi hening sejenak. Ayah Senja mengerutkan dahi, sementara ibunya terlihat terkejut.
"Tapi Senja," ayahnya akhirnya bersuara, "menjadi dokter itu profesi yang mulia. Kamu bisa membantu banyak orang, dan masa depanmu akan terjamin."
Senja mengangguk, “Aku tahu, Yah. Tapi aku merasa minatku ada di dunia menulis. Aku ingin memberi inspirasi dan perubahan dengan tulisanku.”
"Tapi nak," ibunya menyela, "menulis itu kan bisa jadi hobi saja. Kamu tetap bisa menulis sambil jadi dokter."
"Bu," Senja menatap ibunya tegas, "menulis bukan sekadar hobi bagiku. Ini adalah passion, ini adalah apa yang ingin aku tekuni sepenuh hati."
"Kamu pikir hidup ini semudah itu? Bisa dihapus dan diulang seperti tulisan di kertasmu?" ucap Ayahnya dengan nada keras.
Senja mengepalkan tangan, menahan emosi.
"Justru karena aku tahu hidup tidak mudah, aku ingin menjalaninya dengan sesuatu yang aku cintai." balas Senja.
“Cinta tidak akan memberimu kehidupan yang layak, Senja!” ucap Ibunya dengan nada tegas. “Lihat sepupumu Keira, sudah jadi dokter sekarang.”
“Aku bukan Keira, Bu. Aku Senja. Dan aku punya mimpiku sendiri,” suaranya bergetar.
"Mimpi? Kamu masih terlalu naif," ucap Ayahnya sambil menatap dirinya dengan tegas. "Nanti kalau sudah dewasa, kamu akan mengerti kenapa kami menentangmu."