“Saya punya tawaran untukmu,” lanjut Pak Raden. “Ada sebuah penerbit yang sedang mencari penulis muda berbakat untuk antologi cerpen. Apa kamu tertarik untuk mengirimkan karyamu?”
Mata Senja berbinar-binar. “Tentu saja, Pak! Saya sangat tertarik!”
“Bagus,” Pak Raden tersenyum. “Ini kesempatan bagus untukmu. Tapi ingat, persaingannya akan ketat. Kamu harus memberikan yang terbaik.”
Senja mengangguk penuh semangat. “Saya akan berusaha sekuat tenaga, Pak. Terima kasih atas kesempatannya.”
Sore itu, Senja pulang dengan perasaan campur aduk, gembira, gugup, dan bersemangat. Ia tahu ini bisa jadi langkah awal yang penting dalam karirnya sebagai penulis. Dengan tekad bulat, ia mulai menulis, mencurahkan seluruh kreativitas dan perasaannya ke dalam cerita yang akan ia kirimkan.
Selama berminggu-minggu, Senja bekerja keras menyelesaikan cerpennya untuk antologi tersebut. Ia menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk menulis, merevisi, dan menyempurnakan karyanya. Kadang ia merasa puas, kadang merasa frustasi, tapi ia terus berusaha.
Senja juga meminta pendapat dari teman-teman sekelasnya dan mengirimkan draft awalnya ke Pak Raden untuk mendapatkan masukan. Kritik dan saran yang ia terima membuatnya semakin bersemangat untuk memperbaiki tulisannya.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, Senja merasa puas dengan hasil karyanya. Dengan jantung berdebar, ia mengirimkan cerpennya ke penerbit yang dimaksud Pak Raden.
Waktu berlalu, dan Senja kembali fokus pada kuliahnya sembari menunggu kabar. Ia berusaha untuk tidak terlalu berharap, tapi tidak bisa menghentikan dirinya untuk sesekali mengecek email, berharap ada kabar baik.
Suatu pagi, saat Senja baru saja selesai sarapan dan bersiap ke kampus, ponselnya berbunyi. Ada email masuk. Dengan tangan gemetar, ia membuka email tersebut.
“Kepada Senja,